Tuesday, October 16, 2012

Remorse


“Aku gak pernah minta apa-apa sama kamu. Aku ngebebasin kamu. Toh aku juga sadar, mungkin emang cuma aku yang pengen kamu tetep sama aku, cuma aku yang pengen kita terus bareng. Bukannya dari awal cuma aku, kan, yang berusaha buat deketin kamu? Berusaha biar kita bisa balik kayak dulu?

“Tapi gak begini caranya. Aku cuma minta kamu selalu jujur sama aku. Kamu keluarin semua unek-unek kamu sama aku. Aku ingin kamu nyaman sama aku. Aku gak mau kamu terbebani sama status kita. Aku gak mau aku cuma di jadiin status tanpa pembuktian.

Kamu kenapa, sih? Kamu lagi ada masalah? Kamu udah bosen? Atau jangan-jangan dari awal kamu emang terpaksa balik sama aku? Karena kamu cuma kasihan sama aku, gitu? Aku gak mau kayak gini.

Di luar, hujan dengan derasnya masih saja turun. Gemuruh petir ikut mengiringi, menambah suramnya malam ini. Shilla hanya dapat meringis, dada yang semakin sesak ini tak dapat berkurang himpitannya hanya dengan helaan nafas saja.

“Iya aku tau, mungkin kamu butuh privacy yang gak bisa kamu kasih tahu ke aku, tapi gak sampai kamu berubah 360 derajat gini, kan? Aku minta maaf sama kamu kalau emang aku ada salah. Kalau emang kamu udah gak mau sama aku. Maaf. Aku cuma pengen kamu seneng deket aku. Maaf, a-“

Bahkan untuk sekedar menatap wajah Shilla saja, lelaki yang sudah memutuskan mau menjalin kembali hubungannya dengan Shilla yang sudah berjalan 7 bulan ini,  enggan. Masih terus saja meremas setir mobilnya. Itu jauh lebih baik dari sekedar menatap wajahku, begitu, kan? Batin Shilla sarkatis.

“Kka….please. Kamu denger, kan?” dengan berani, Shilla mulai mengulur tangannya, meraih sebelah tangan Cakka yang terkulai di paha pemiliknya. Meremasnya, menyadarkan alam sadarnya bahwa ia tidak sendiri disini. Di dalam mobil yang diparkir tepat di halaman rumah  Shilla.

Cakka hanya menghela nafas, menarik tangannya lalu tersenyum mencemooh, “Keluar dari mobil gue!” serunya tertahan. Sepertinya masih banyak emosi yang tersulut, dan dengan susah payah ia tahan. Tetapi tetap saja membuat dada Shilla semakin sesak bukan main.

“Gak denger apa kata gue?” Cakka menoleh sesaat ke arah Shilla, sebelum menatap kedepan lagi dengan kilatan amarah dimatanya, “Keluar!!!!!”

Dan saat itu juga, Shilla hanya bisa menuruti apa yang di ucapkan Cakka. Membuka pintu, dan segera berlari menuju rumah, setelah sebelumnya membanting pintu mobil dengan sekuat tenaga. Berharap air mata yang sedari tadi sudah Shilla tahan, segera menetes, agar bisa mengurangi degupan jantung yang tidak beraturan. Yang ada di otaknya saat ini, hanya menumui bundanya dan menganulir jawabannya siang tadi.

###

Kehampaan mengiringi langkah Cakka sampai tiba berada di teras rumah Sivia. Sahabat karibnya dan juga Shilla. Cakka tidak tahu lagi harus bertanya kepada siapa. Karena semua tanya yang sudah dia ajukan hanya mendapatkan nihil.

Cakka memencet bel pelan sambil menunggu tidak sabar. Berharap langkah terakhir yang ia tempuh ini, mendapatkan jawab yang memuaskan.

Sivia nampak sedikit terkejut melihat kehadiran Cakka di depan rumahnya. Ia sedikit tersenyum, tetapi mencemooh. Seperti meledek Cakka, bahwa Cakka adalah lelaki paling bodoh yang pernah ia temui. Sambil berjalan menuju bangku di terasnya, Sivia bertanya, “Ngapain kesini?” lalu menghempaskan tubuhnya disana.

Cakka mengikuti gerakan Sivia lambat dan ikut duduk di bangku sebelah Sivia, “Gue udah gak tau lagi harus nanya ke siapa, dimana Shilla sekarang. Cuma elo yang gue harapkan saat ini, Vi,” ujarnya pelan sebelum membuang pandangan ke teras rumah Sivia yang dihiasi bunga-bunga cantik.

“Lo bahkan gak tau Shilla pindah ke Solo? Lo yakin, lo beneran pacar dari seorang Shilla?” Sivia terlihat mengernyitkan dahinya lalu berdecak pelan. Ia memperhatikan raut wajah Cakka yang tiba-tiba penuh tanya. “Shilla pindah ke Solo ngikutin permintaan bunda sama ayahnya. Ayahnya pindah tugas kesana, sebenernya udah dari minggu lalu. Kayaknya sih pas kemaren dia nemuin lo itu, dia mau cerita soal ini. Tapi gak tau deh gue kalau lo sampe belum tau gini.”

Ada jeda sejenak seusai Sivia menandaskan ucapannya. Cakka masih terlihat sangat kaget mendengar pernyataan yang dilontarkan Sivia. Entah apa yang harus ia lakukan. Dan ia merasa benar-benar bukan lelaki yang patut untuk dicintai seperti sebelum ini. “Makasih ya, Vi. Gue pamit,” ucap Cakka akhirnya. Ia tersenyum kecil kepada Sivia lalu berjalan menuju Juke Hitam nya.

“Kalo lo emang bener sayang sama dia, harusnya lo kejar dia. Atau setidaknya lo minta maaf. Jangan bikin diri lo nyesel nantinya, Kka. Gue gak tau ini karma atau bukan buat lo. Tapi gue rasa, Shilla memang terlalu baik buat cowok macem elo,” Ucapan Sivia seketika menghentikan langkah Cakka. Ia tidak berani membalikan tubuhnya. Hanya diam membeku dan membenarkan apa yang baru saja Sivia ucapkan. Tak lama, terdengar suara pintu ditutup. Dan Cakka kembali berjalan menuju mobilnya, sambil berpikir keras apa yang akan ia lakukan setelah ini semua terjadi. Ini terlalu tiba-tiba.

###


Dan potongan serta kepingan masa lalu seperti film yang sengaja diputar. Sengaja untuk mencemooh Cakka untuk terus merenungkan perbuatannya di masa lalu. Membuat rasa sesal dalam hati Cakka benar-benar tidak ada ampun.

***

"Kamu dimana?" Tanya Cakka tidak sabar. Shilla yang sedari tadi hanya memotong acak choco truffle di hadapannya, menghela napas panjang.

"Kenapa emang?" Jawabnya ketus, masih untung dia mau mengangkat panggilan dari lelaki yang berlabel kekasihnya itu.
           
"Ujan besar Shil di luar. Kamu dimana?" Ujar Cakka dengan kesabaran yang dimilikinya. Setengah hatinya resah dan menyesal tidak menahan gadis itu untuk tetap di mobilnya.

Ada jeda sejenak yang menghampiri mereka berdua. Sesaat, Shilla tak juga menjawab. Hanya diam. Membuat Cakka semakin tidak sabar.

"Apa peduli kamu,” Shilla mulai terisak pelan. Dadanya semakin terhimpit. Lelah yang menerjang dadanya sudah tidak dapat ditahannya.

"Kamu dimana, sayang?" Sesungguhnya Cakka mengkhawatirkan wanita yang entah berada dimana.

            "Kamu sendiri dimana?" Shilla melahap choco truffle-nya yang sudah tidak terbentuk. Suasana cafe yang sedang dia kunjungi ini untungnya tidak terlalu ramai. Dia yang memilih duduk di pojok utara cafe merasa beruntung. Tak ada yang melihatnya mengurai air mata di tempat umum.

            "Aku di rumah kamu. Sama Ibu kamu,” Cakka masih bisa menahan kesabarannya. Dia memandang keluar halaman. Hujan dengan derasnya turun membasahi bumi. Sudah hampir 2 jam. Sama seperti ketika Shilla turun dari mobilnya.

            "Pulang ya, aku sama ibu kamu bener-bener khawatir Shil,” Cakka sudah mulai putus asa. Rasa bersalah dan penyesalan tiba-tiba menggerogoti sukmanya. Ibu dari kekasihnya, yang sedari tadi duduk di sofa sebrangnya, tampak gusar.

            "Aku.....aku kan........gak bawa dompet. Tadi kan cuma nyisa uang 20 ribu di saku celana aku. Tas aku ketinggalan kan....”

            Dueng

            Cakka menghela nafas lega sekaligus geli. Dia sedikit kerkekeh kemudian bertanya, "Yaudah kamu dimana sekarang?"

            "Di rumah coklat,” Jawab Shilla. Merasa pipinya sudah merah merona. Inilah akibat dari kecerobohannya. Niatnya mau menghilang seharian, eh tas nya malah tertinggal di Juke Hitam Cakka.

            "Yaudah tunggu ya. Aku kesana.

            Dan sambungan telepon pun terputus. Hanya 30 menit, Cakka sudah tiba di depan Rumah Coklat. Dia memarkirkan mobilnya ke tempat yang sebisa mungkin tidak terkena hujan. Dengan cekatan, ia mengeluarkan payung dan berjalan menuju teras Rumah Coklat. Dan Shilla sudah ada disana, menunduk malu sambil memandangnya. Cakka tidak tahan untuk tidak mencubit cuping hidung gadis itu.

            "Kalo mau kabur, jangan ceroboh,” Ujar Cakka geli. Shilla cemberut dan diam saja ketika akhirnya Cakka menggandeng tangannya. Membimbingnya menuju kursi penumpang.

            Harum maskulin Cakka bercampur air hujan memenuhi oksigen di mobil. Shilla sempat terpana ketika Cakka menggoyang-goyangkan kepalanya yang terkena sedikit tetesan air hujan. Lelaki itu memiliki kharisma tersendiri. Kharisma yang mampu mengikat hati Shilla dan membuatnya mencintai Cakka setengah mati.

            "Kamu tuh unik banget sih,” Ujar Cakka, seraya menyeringai kearahnya. Lalu mulai men-stater mobil yang dia kendarai dan melajukannya memasuki jalan raya. Menuju komplek perumahan Shilla.

            "Tau ah. Kamu diem ih, ngeselin. Ledekin aja terus,” Shilla merengut kesal. Sekaligus malu. Dia memalingkan wajah ke jendela. Memerhatikan air hujan yang mengalir disana.

            "Iya iya, maaf deh. Aku tau aku salah. Sampai kamu tadi keluar gitu aja dari mobil, yang bukan kamu banget. Pasti kesalahan yang aku bikin emang parah banget. Terus tadi juga aku bukannya nyegah kamu. Maaf ya,” Shilla menoleh dan saat itu, Cakka juga sedang memandangnya. Lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Cakka meraih kepala Shilla dan mengelusnya pelan. "Kamu tau gak? Aku khawatir banget. Belum pernah aku khawatir kaya tadi tau,” Cakka melepas tangannya, mengoper porsneling. Lalu mulai melajukan kembali mobilnya karena saat itu, lampu lalu lintas sudah berubah warna.

            Shilla sempat terpana sesaat, tetapi kemudian kembali kesal. Kesal kepada dirinya yang mudah luluh oleh buaian kalimat lelaki berkulit putih yang sedang duduk di belakang kemudi.

            "Kamu tau gak? Aku cape banget loh nungguin kamu tadi. Hampir 3 jam. Tapi kamu udah sering sih kayak gitu, biasa aja ya, Kka,” Shilla tersenyum sinis kearah Cakka yang menyebabkan wajahnya mendadak kaku. Cakka menghela nafas berat. Terus memandang lurus ke depan. Berusaha berkonsentrasi pada jalanan Jakarta yang macet itu.

            "Aku cape Kka, cape.........,” Shilla menghela nafas letih. Percakapan serupa. Percakapan yang ia benci. Percakapan yang membuat ia memaksa turun di tengah jalan seperti tadi.

            "Aku kan udah minta maaf Shil,” Cakka terdengar agak emosi. Tidak ada alasan yang bertele-tela mengapa ia telat 3 jam menemui Shilla untuk memenuhi janjinya menonton film terbaru yang sangat booming itu. Ia benar-benar lupa.

            "Yaudah lah, lupain aja,” Sambil membuang wajah ke jendela di sisi kirinya. Berusaha menahan segala amarah yang sudah membuncah di hatinya. Bukankah dia, yang dari awal sudah meminta bahwa Cakka bersedia untuk menemani harinya saja, seharusnya ia sudah bersyukur? Tapi tidak seperti ini juga.....tambah Shilla dalam hati. Semakin tidak mengerti dengan drama yang Tuhan beri kepadanya.

            Laju mobil Cakka berhenti. Ternyata sudah tiba di depan rumah Shilla. Tanpa basa basi Shilla langsung keluar dan membanting pintu mobil sekuat tenaga, lalu berlari menuju gerbang kayu kokoh yang berada di depan rumahnya. Tak peduli dengan derasnya hujan yang sudah mengguyur tubuhnya. Di saat yang sama, terdengar pintu mobil terbuka, dan seketika, Cakka sudah memeluknya dari belakang. Shilla diam. Tidak mengerti -lagi-lagi- racauan dari hati dan otaknya. Tuhan.....kuatkan aku..... ujarnya dalam hati.

            "Maaf Shil, maaf.....,” Dan Shilla dapat merasakan Cakka mengecup puncak kepalanya. Lalu meninggalkannya dengan kehampaan. Shilla meneteskan air matanya yang terkamuflase air hujan yang sudah ada disana sebelumnya.

            Shilla benci dengan wangi maskulin lelaki itu. Shilla benci tatapan mematikan lelaki yang setengah mati ia puja. Shilla benci mencintai lelaki yang menempati ruang hatinya.

            Shilla berlari. Tidak menghiraukan ucapan Bundanya yang sudah menunggunya sedari tadi. Yang masih duduk khawatir menanti dirinya kembali. Yang ingin ia lakukan sekarang hanya tidur.

***

From : Cakka
Km mungkin gaakan percaya kl aku blg aku nyesel dan ngerasa bersalah. Km mungkin gaakan percaya lg sm aku. Tp aku bener2 nyesel. Aku minta maaf. Aku bener2 minta maaf. Aku gajanji aku gabakal ngulangin itu lg. Aku gaberani janji apa2 sama km Shil, aku bahkan gaberani janji bakalan ada selalu buat km. Maaf. Aku cm takut gabisa nepatinnya. Maaf.............Tp km bisa  dtg ke cafe tempat aku manggung biasa? Jam 7 nanti? Aku sayang kamu Shil.

***

            Setelah mengalami pergolakan batin sebelumnya, Shilla akhirnya memutuskan untuk datang memenuhi permintaan Cakka. Setidaknya, dia tidak sejahat Cakka yang bisa saja mengacuhkan permintaannya. Dan sekali lagi, entah untuk berapa kali di hari ini, ia tersenyum getir.

            Shilla duduk di salah satu sudut cafe. Tidak begitu yakin Cakka akan menemukan keberadaannya. Suasana lampu cafe yang agak remang-remang, dan juga banyaknya pengunjung yang ternyata sengaja datang untuk melihat penampilan band Cakka, menambah tersudutnya keberadaan Shilla untuk dilihat.

            Shilla mengaduk-aduk Choco Crumble nya dan menghirupnya pelan. Merasa sedikit bodoh mengapa akhirnya dia memutuskan untuk datang kesini. Memenuhi permintaan Cakka. Dan tak lama, Shilla dapat melihat Cakka bersama gitar di tangannya dan juga rekan satu bandnya, berada di atas panggung.

            Shilla hanya memandang ke panggung secara acuk tak acuh. Ternyata dari posisi duduknya saat ini, sangat jelas untuk memandang ke arah Cakka berdiri. Dan di sana, dengan auranya tersendiri, Cakka dan band nya mulai memasuk intro sebuah lagu secara akustik, dan Shilla tidak bisa menampik, bahwa lelakinya tampak begitu menawan di balik kemeja berwarna hitam yang lengannya ia gulung hingga siku. Ditambah penerangan yang redup di Cafe ini, seperti... Cakka memiliki aura sendiri sehingga, Shilla bahkan bisa melihat dengan jelas bagaimana Cakka membawakan lagunya. Dan Shilla tahu, lagu Apologize dari Timbaland yang Cakka bersama bandnya bawakan itu, cukup menyentuh hatinya.

            Tak lama, lagu usai dibawakan. Dan ternyata Cakka langsung turun dari panggung dan menghampirinya. Sebetulnya, ada suatu harapan, bahwa Cakka akan meminta maaf kepadanya dari panggung sana. Dan ternyata mengingat harapan itu, membuatnya menggeleng-geleng kepada sendiri. Merasa norak dengan pikirannya barusan.

            Cakka menarik pelan kursi di hadapan Shilla dan menghempaskan pelan tubuhnya disana. Sempat beberapa lirikan dari sekitar yang mengikuti gerak geriknya. Tapi hanya ada Shilla yang kini masih berkecamuk dalam otaknya.

            "Kamu........masih marah?" Tanya Cakka pelan. Dia dapat melihat jelas kilatan kesedihan terpancar dari bola bening wanita pemilik hatinya.

            Shilla menyesap pelan Choco Crumble-nya, lalu mengaduknya lagi, sebelum akhirnya menjawab, "Menurut kamu?"

            "A......aku gatau lagi harus gimana Shil.. Tadi itu...gak cukup ya?" Sahut Cakka masih tampak berusaha. Karena dia tahu diri, bahwa luka yang dia goreskan di hati wanitanya, bukan sembarang luka. Dan dia menyadari, dia sangat sering melukai hati wanita itu.

            "Udah lah Kka,  aku udah gak mau bahas itu. Seperti biasa dan akan selalu Kka, Pintu maaf aku terbuka lebar buat kamu. Separah apapun luka yang udah kamu toreh disana,” Shilla memandang dalam mata Cakka, meminta perhatian dan pengertian, bahwa ucapannya tidak main-main.

            Dan Cakka merasa semakin bersalah. Wanita ini, terlalu mulia untuk ia sakiti. Cakka bergerak meraih jemari Shilla dan menggenggamnya lembut. Walau di tempat dengan pencahayaan kurang, Cakka masih bisa melihat ada senyum di  bibir Shilla. Dan selanjutnya, hanya ada percakapan ringan yang sesungguhnya berarti diantara mereka.

***

            "Kamu tuh kenapa sih Kka? Aku kurang apa sih buat kamu? Aku turutin apa yang kamu mau. Sebisa mungkin aku berusaha biar gak bikin salah, aku gak ngecewaim kamu. Tapi kenapa sih Kka.......,” Tanpa sadar, intonasi Shilla semakin meninggi. Merasa beruntung dengan keadaan perumahan Cakka ini selalu sepi.

            Di bawah derasnya hujan yang mengguyur.  Shilla menarik nafas berat. Air matanya mengalir dan terkamuflase dengan hujan yang sudah membasahi seluruh tubuhnya.  Cakka hanya mampu diam melihat Shilla mengeluarkan segala emosi yang membebani batinnya. "Aku bahkan benci Kka....kenapa sih aku gak pernah bisa marah sama kamu Kka........?"

            Cakka menarik Shilla kedalam pelukannya. Tidak sanggup lagi melihat gadis yang selalu ada untuk dirinya terisak begitu hebat. Bahkan dalam pelukannya pun, tubuh Shilla masih bergetar.

            "Maaf Shil.....Maaf.....,” Cakka mengelus pelan rambut Shilla, yang membuat isakan Shilla semakin hebat.

            "Aku cape Kka.............. Cape...... Aku kangen kamu yang dulu....,” Rintih Shilla dalam dada Cakka.

            Cakka tidak bisa berkata apa-apa. Hanya mampu diam membisu. Karena seribu kata maaf pun tak akan menghilangkan luka yang terpatri di hati wanitanya.  Hanya keheningan yang cukup lama yang tercipta diantara mereka berdua. Ditemani dengan guyuran air hujan yang sangat deras. Shilla menikmati hangatnya pelukan dari lelakinya. Takut, bahwa ini adalah pelukan terakhir yang Cakka beri untuknya.

            "Hm....Shil... Ngerasa kita kayak di ftv gak, sih?" Kata Cakka yang membuat kepala Shilla mengangkat dan menggelembungkan mulutnya.

            "Kamu tuh, ih,” Sahut Shilla kesal.

            Cakka hanya terkekeh kecil lalu mengelus pelan rambut Shilla. "Masuk, yuk. Ga lucu tau ujan-ujanan kayak gini. Nanti aku kayak cowok-cowok di ftv itu yg menye-menye,” Ujar Cakka lalu meraih tangan Shilla untuk menuju rumahnya.

            "Kamu tuh, ih. Bukannya minta maaf malah ngalihin pembicaraan. Emang aku udah maafin kamu, gitu?" Kata Shilla kesal. Sedikit tersaruk-saruk mengimbangi langkah Cakka di depannya.

            Cakka menoleh, setelah mereka memasuki teras rumah Cakka. "Emang kamu bisa lama-lama marah sama aku?" Shilla menunduk kesal sambil memajukan bibirnya, membuat Cakka tidak tahan untuk sekedar menjawil pipinya.

            "Haha, yaudah yuk masuk. Badan kamu basah gitu. Ganti baju dulu aja pake bajunya Nadya. Baru aku anter pulang, ya?" Shilla hanya dapat menuruti apa kata Cakka. Dan Shilla sedikit beruntung karena orang tua Cakka sedang tidak ada di rumah. Karena diam-diam Shilla pun membenarkan apa kata Cakka. Tentang betapa noraknya mereka berdua di bawah hujan.

+++

            Tak lama setelah Shilla mengganti bajunya, dengan hasil meminjam baju Nadya, adik Cakka yang hanya berjarak satu tahun di bawah Cakka, mereka berdua kembali duduk di ruang TV rumah Cakka. Dengan secangkir coklat panas di kedua tangan mereka.

            Mereka berdua masih membisu, menikmati minuman yang membuat tubuh mereka menghangat.  Cakka menyenderkan tubuhnya ke belakang sofa, lalu mengelus puncak kepala Shilla dari belakang pelan, "Aku bener-bener selalu ngecewain kamu, ya?" Tanya Cakka lirih.

            Shilla menoleh dan mendapati Cakka sesungguhnya tidak menatap dirinya. Menatap ke satu titik dengan kehampaan. "Emang kamu tau, salah kamu apa?" Ujar Shilla yang langsung menyadarkan alam bawah sadar Cakka.

            Cakka menarik tangannya dari kepala Shilla, dan kembali menggenggam cangkir hangatnya, "Kayaknya sih aku tau, gara-gara aku tadi bohong, ya? Bilangnya diem dirumah taunya aku malah pergi ke mall sama Rio Gabriel Sivia. Terus kemarin aku malah balik ngerokok dan gak ngakuin ke kamu,” Kata Cakka dengan penuh penyesalan. "Bener?" Lanjutnya, pelan.

            Shilla mengubah posisi duduknya, agar dengan mudah bisa memandangi lekuk paras lelaki yang ia puja, "Itu tau, tau aku gak suka kenapa masih dilakuin? Masalah kamu ke mall, aku bukan gak suka. Aku gak suka cara kamu aja yang sampai bohong ke aku. Kamu jujur pun aku gak larang. Mereka kan temen-temen kamu. Kalau masalah rokok, aku kan udah sering bilang ke kamu, Kka, rokok bener-bener bahaya Kka buat kamu. Kamu itu punya penyakit Astma. Masih aja bandel. Kamu juga kan udah janji gak bakalan ngerokok. Bukan buat aku kok, tapi buat kesehatan kamu sendiri, Kka,” Ujar Shilla panjang lebar. Ia kemudian tersenyum dan memandang lembut Cakka. "Tuh, kan. Aku tuh kesel. Kenapa gak bisa marah sama kamu,” Lanjut Shilla sedikit manyun.

            Cakka tersenyum lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Shilla yang sedang menunduk, "Karena kamu, sayang sama aku,” Lalu mendaratkan kecupan manis di pipi Shilla.

            "Tapi jangan gini mulu dong....... Kamu emang gak sayang sama aku?" Kata Shilla setelah berhasil menghilangkan rona merah di pipinya.

            "Perlu waktu bertahun-tahun buat ngungkapin betapa aku sayang sama kamu,” Jawab Cakka sambil tersenyum miring.

            "Gombal terussss,” Shilla lalu menyeruput pelan coklat panas yang sudah mendingin itu. Lalu menaruhnya di meja depan sofa.

            "Suka juga?" Goda Cakka, lalu ikut menaruh cangkirnya. Cakka mencubit cuping hidung Shilla sekilas sebelum menghempaskan punggungnya ke senderan sofa yang empuk itu.

            "Kesel ah aku. Kenapa jadi aku yang di godain, sih? Aturan sekarang aku lagi marah-marah, tau!" Shilla kembali mencak-mencak kepada Cakka. Memasang tampang seserius mungkin.

            "Aku gak bisa janji apa-apa sama kamu, Shil. Aku gak mau nyakitin kamu dengan janji-janji aku. Tapi yang pasti, aku selalu butuh kamu,” Kata Cakka lembut sambil mengelus pipi Shilla pelan.

            "Tapi jangan diulangi. Jangan pake bohong-bohong segala!" Ujar Shilla kembali tegas. Membuat Cakka tidak kuat untuk sekedar menjawil pipi gadis itu.

***

            “Ck,” Shilla berdecak sambil mengembalikan posel Blackberry teranyar milik Cakka kepada pamiliknya. Di rumah Shilla hanya ada Shilla dan Bi Ijah. Bunda dan Ayahnya sedang mengunjungi neneknya di Bogor sana.

            “Kenapa, sih?” tanya Cakka heran seraya merubah-rubah acara TV di hadapannya.

            “Chat dari Ify bahkan kamu bales lebih dulu ya dari pada Chat aku,” ujar Shilla sedikit kesal. Mendekap bantal kursi ke dada. Berharap sesak yang memenuhi rongga paru-parunya berkurang hanya dengan helaan nafas aja.

            “Gitu aja diributin. Masih pagi ini tuh, Shil. Baru juga jam 10 kurang. Kayak anak kecil banget sih,” sahut Cakka santai. Tidak menoleh sedikit pun ke arah Shilla. Malah asik menonton tayangan film kartun yang tersaji di layar di hadapannya.

            “Iya iya.... aku kayak anak kecil ya gak kayak Ify yang bisa ngertiin kamu banget. yang selalu kamu duluin apa-apanya dibanding pacar kamu sendiri. Kenapa enggak balikan aja sama dia?” sindir Shilla setengah mati kesal lalu menundukkan wajahnya setelah tersadar ucapannya malah merembet kemana-mana.

            “Kamu, tuh, kenapa sih, Shil? Biasanya juga enggak gini. Kenapa sekarang ngomongnya jadi ngaco gini, sih?” Cakka menatap Shilla bingung. Kerutan di keningnya menandakan seperti ia sedang dililit masalah besar.

            “Kalau baru sekali dua kali kamu bales chat dari dia atau temen-temen sekelas kamu yang lain duluan, dari pada chat dari aku, aku bisa terima Kka, tapi kok aku ngerasa sekarang kamu malah ngegampangin komunikasi sama aku, sih?” Shilla menatap wajah Cakka tajam. Ingin menunjukkan pada lelaki itu, bahwa dirinya pun sama seperti wanita lainnya.

            “Aku gak ngelarang kamu selama ini bukan berarti aku gak marah atau cemburu Kka. Demi seluruh jiwa raga aku, aku cemburu setengah mati dan ngerasa kesel. Tapi aku berusaha maklum. Toh aku pun kenal sebagian besar dari mereka. Tapi kamu bahkan gak juga ngerti ya kode-kode yang aku tunjukin kalau aku gak suka sama itu semua?” tutur Shilla panjang lebar. Air mata yang sudah ditahannya merembes begitu saja. Mengaliri pipinya membentuk aliran sungai kecil disana. Dia masih berharap, tangan Cakka yang kini terkepal kuat mau menghapus air mata itu. Kesakitan yang Shilla alami di  hatinya bahkan sudah tidak bisa dsembuhkan hanya dengan mengingat bahwa Cakka adalah lelaki yang ia puja setengah mati.

            “Diem aja, kan? Aku salah, Kka? Bagian mana dari aku yang salah? Aku gak pernah bisa marah sama kamu bukan berarti kamu bisa seenaknya gini sama aku, Kka,” Shilla sudah tidak kuat lagi berada disana, melihat wajah lelakinya menatap kebawah dengan tangan terkepal cukup kuat. Shilla berlari meniti tangga, menuju kamarnya. Meninggalkan kehampaan di ruang TV rumahnya. Yang ingin ia lakukan sekarang hanya menangis sejadi-jadinya. Perubahan-perubahan kecil dari sosok laki-laki itu semakin lama semakin membuatnya meragu, bahwa laki-laki itu balas mencintainya.

            Sedikit di hati Shilla berharap, Cakka akan meniti tangga dan mengetuk pintu kamarnya. Memaksanya keluar dengan sejuta kata maaf yang akan membuatnya leleh. Tetapi yang Shilla dengar malah suara deru mobil Cakka yang semakin lama semakin mengecil lantas hilang. Dan Shilla semakin benci mengapa perubahan itu harus terjadi. Benci dan takut bahwa kesalahannya di masa lalu malah akan dilakukan Cakka. Dan seperti yang orang bilang, ini adalah karma. Tuhan, mengapa Shilla tidak pernah berpikir bahwa karma pasti akan menghampirinya. Dan betapa menyedihkan hidupnya, karma datang padanya disaat ia benar-benar tidak mengira itu akan datang.

            Shilla mematut wajah di depan cermin. Matanya sudah cukup bengkak akibat menangis selama 2 jam. Dan Shilla semakin merasa sendiri ketika menyadari Cakka tidak ada di sisinya untuk menghibur luka yang ia tanam sendiri. Cakka malah menghilang dan tak ada kabar sama sekali.

***

To : Cakka
Aku gak tau apa yg bikin km berubah sebegitu signifikan. Gatau aku emg lebay apa gmn, tp aku mmg ngerasa km berubah. Ada apa kka? Aku salah? Dimana salah aku? Maaf kl aku byk nuntut apa gmn. Aku cuma tkt kehilangan km.


***

            Sambil berlari-lari kecil menuruni tangga, Shilla menjepit setengah rambutnya menggunakan pita berwarna merah, lalu menuju pintu depan rumahnya. Terdengar suara bell untuk ketiga kalinya, yang mengganggu waktu santai Shilla yang sebenarnya, sangat jarang ia dapatkan di minggu ini. Bi Ijah yang sedang berada di kamar mandi, membuatnya terpaksa meninggalkan novel yang tinggal akhirnya saja ia baca.

            Shilla sempat ternganga sesaat, lalu kembali mengatupkan mulutnya saat membuka pintu rumah. Seperti ada godaman palu besar di dadanya disertai kepakan sayap dari kupu-kupu yang memenuhi perutnya. Cakka berdiri disana sambil mengacungkan mawar biru dan memeluk boneka beruang berwarna putih yang tingginya hampir mencapai bahu Shilla, dengan tangannya yang lain. Bukan apa yang dibawa cakka yang membuat Shilla menganga hingga tidak bisa bernafas seperti ini, tetapi kehadiran Cakka  rumahnya inilah yang membuatnya semakin tidak mengerti. Mengapa lelaki ini bisa menjadi sangat manis dan kemudian berubah menjadi penyiksa hatinya.

            Lelaki di hadapannya ini sudah menghilang hampir 1 mingggu. Tidak mengiriminya kabar apalagi menampakan batang hidungnya di hadapan Shilla. Sebenarnya, Shilla sangat ingin untuk segera memeluk Cakka dan menghirup dalam-dalam aroma maskulin Cakka yang sangat ia sukai. Menyenderkan kepalanya di bahu kokoh itu adalah salah satu hobinya akhir-akhir ini. Tapi masih ada pilu yang amat mendalam di hatinya dan membuat ia masih mematung sambil berusaha menormalkan helaan nafasnya.

            “Aku mau minta maaf buat semuanya,” Ujar Cakka, lalu menyodorkan mawar biru yang digenggamnya kepada Shilla. Ada ketakutan yang sengaja ia endapkan untuk melakukan ini semua. Karena ia tahu diri, dirinya bukanlah lelaki yang baik-baik saja terhadap Shilla.

            Shilla diam. Dalam hatinya mengumpat, mengapa lelaki ini selalu bisa meluluhkan hatinya walau hanya dengan setangkai mawar berwarna biru. Ia bahkan tidak memberi respon apapun.  Apa lagi mengambil mawar itu. “Semuanya? Apa aja emang?” ujarnya sinis. Memberi tatapan se-mematikan mungkin kepada Cakka. Walau dalam hati sebenarnya ia sedang merapal mantra agar air matanya tidak tumpah. Lelaki ini tidak boleh melihat kerapuhan hatinya. Lagi pula, seharusnya, tidak boleh ada lagi air mata yang tumpah untuk laki-laki macam Cakka. Pria seperti Cakka benar- benar tidak layak untuk ditangisi.

            “Shil..,” dan Cakka kembali diam. Ia menatap dalam mata Shilla yang menatapnya penuh marah. Di balik kemarahan itu, ada selaput bening penghalang air mata wanita itu. Dan itu membuat diri Cakka semakin merasa bersalah. Walau sangat menyadari terlalu banyak kesalahan yang sudah ia perbuat, Cakka sudah menyerah apa yang harus ia lakukan. Dan ia sepenuhnya sadar, boneka dan bunga tidak bisa menyembuhkan luka yang dirinya buat.

            “Kenapa? Bingung mau ngomong apa? Terlalu banyak salah yang kamu bikin ke aku? Kamu bahkan kayaknya gak sadar ya? Terus ngapain pake bawa mawar sama boneka ini segala? Ceritanya mau nyogok aku? Biar aku maafin kamu?” tanpa dapat Shilla kontrol, ucapan itu terlontar begitu saja dari mulutnya. Ia terlalu bingung racauan dari mana yang harus ia utarakan. Hatinya atau otaknya. “Seminggu ini kamu kemana aja? Sibuk nyiapin ini mawar sama boneka? Aku sengaja gak sms atau telfon kamu duluan, pengen tau sejauh mana kamu tahan ga komunikasi sama aku. Malah kayaknya pengennya kamu kayak gitu ya? Biar gak keganggu kamu bbm an sama cewek lain? Aku bahkan bingung kenapa juga aku masih tahan sama kamu. Padahal aku bisa ko dapetin cowok yang lebih baik dari kamu,” Shilla sempat sedikit terisak sebelum akhirnya menandaskan ucapannya. Dan ia masih merapal mantra. Tolong....jangan keluar sekarang........batinnya.

            “Shil, aku mohon, udah............................,” Cakka menatap dalam mata Shilla saat menemukan butiran bening menetes dari sudut mata Shilla. Cakka hendak mengulurkan tangan untuk mengusap air mata itu, tapi tangan Shilla sudah lebih dulu mendarat disana, membuat rasa bersalahnya semakin membengkak. “Aku gak pernah tau caranya minta maaf sama kamu. Aku emang bukan cowok yang baik buat kamu.”

            “Aku gak pernah gak maafin kamu Kka, sebelum kamu minta maaf pun aku udah maafin kamu. Tapi bisa gak, kamu hargain kehadiran aku disini? Aku cuma pengen kamu kasih pengertian aja. Bukan cuma aku yang harus selalu susah payah ngertiin kamu,” Shilla semakin terisak dan air mata yang ia keluarkan perlahan membentuk aliran sungai kecil di pipinya. Cakka meninggalkan mawar dan boneka yang sedang ia genggam, lalu memeluk Shilla.  Tuhan, mengapa ia bisa setega ini membuat wanita yang memiliki senyum seperti malaikat ini menangis? Tanya Cakka dalam hati.

            Cakka mengelus pelan rambut Shilla, menenggelamkan wajah Shilla di dadanya. Walau ia tahu, tangan Shilla masih terkepal kuat di sisi tubuhnya, “Aku minta maaf, Shil. Aku udah gak ngerti lagi harus ngomong apa lagi.............,” dan air mata Cakka jatuh disana. Menetes ke bahu Shilla. Dan Shilla dapat merasakannya. Cakka merasa, ini adalah titik final dari kerapuhannya.

            Shilla mengangkat wajahnya yang sudah lembab penuh air mata dan melihat wajah Cakka yang sedikit merah menahan air mata. “Aku udah gak mau bahas ini lagi, Kka. Aku selalu sakit setiap kali bahas ini. Aku cuma minta kamu bisa janji, kalau kamu gak akan pernah kayak gini lagi. Dan aku pengen kamu janji, buat nepatin janji-janji kamu ke aku,” ujar Shilla sambil menatap dalam mata Cakka. Membuktikan bahwa ucapan tadi benar-benar ucapan dari hatinya. Memohon agar Cakka tidak lagi-lagi mempermainkan hatinya.

            “Aku janji Shil, sepenuh hati aku,” Dan Shilla kembali luluh dengan senyum memabukan milik Cakka. Ia tersenyum lalu menunduk malu. Malu kepada dirinya yang mudah terbuai oleh mata bening Cakka, dan juga malu karena apa yang tadi ia ucapkan terlalu seperti apa yang ada di televisi-televisi sana.

***

            “Terus, kemana aja kamu seminggu ini?” tanya Shilla saat menyerahkan segelas orange juice kepada Cakka. Di hadapan mereka kini terhampar berbagai macam camilan yang Cakka sendiri bingung mana yang harus ia makan duluan. Ruang TV rumah Shilla ini memang selalu membuatnya nyaman.

            “Ga kemana-mana. Diem. Jalan. Kaya orang yang gak punya nyawa,” jawab Cakka lalu meraih toples berisikan kacang-kacangan dan mulai melahapnya. Ia menatap Shilla sejenak yang nampak tidak percaya dengan ucapannya barusan, “Kenapa? Gak percaya, kan? Pasti deh,”

Shilla tersenyum lalu merebut toples kacang itu dari Cakka. Menyenderkan tubuhnya ke sofa di belakangnya. Karpet berwarna maroon yang berbulu tebal yang sedang ia duduki itu membuatnya nyaman, “Udah ah, gak usah dibahas.”
           
            “Yang pasti, seminggu ini, aku kayak kehilangan separuh nyawa aku,” kata Cakka lalu tersenyum kepada Shilla. Menjawil pipi Shilla pelan lalu meraih puncak kepala Shilla. Mengelusnya penuh rasa sayang, “Aku sendiri bingung dan ngerasa bodoh banget kalau inget semua yang pernah aku lakuin ke kamu. Kamu emang terlalu baik buat aku. Dan aku beruntung banget punya kamu yang baik ini,” lanjutnya lalu mengusap pipi Shilla pelan.

            Shilla meraih tangan Cakka dan menggenggamnya erat, “Aku udah gak mau bahas itu, Kka. Semua kesalahan kamu gak usah diungkit lagi. Asal kamu mau berubah.”

            “Bantu aku berubah buat kamu, Shil,” Ucap Cakka lalu tersenyum kepada Shilla. Kepada wanita pemilik senyum seindah malaikat itu. Saat seperti inilah, yang selalu membuat hati Cakka dipenuhi rasa sesal mengapa ia masih saja menyakiti hati gadis itu.

***

            Shilla benar-benar tidak habis pikir, apa yang sebenarnya ada di dalam otak Cakka. Dan Shilla semakin tidak mengerti mengapa dulu ia rela mengorbankan segalanya untuk lelaki itu. Agar dapat memiliki lelaki itu kembali. Dengan segala upaya yang dapat ia lakukan. Seandainya ia tahu, bahwa lelaki yang ia perjuangkan dengan sepenuh hati itu akan melukai hatinya hingga seperih hingga saat ini, mungkin dari sebelumnya, sudah saatnya, Shilla membuang jauh-jauh nama Cakka dari hidupnya. Apa pula yang ia puja dari lelaki macam Cakka sebenarnya?

            Shilla tidak begitu mempercayai apa yang sedang ia lihat. Cakka tampak asik di dalam cafe itu bersama seorang gadis yang duduk di hadapannya, sambil memegang puntung rokok di tangan kirinya.

            Shilla hampir merasa melayang ketika akhirnya Cakka menggandeng tangan wanita itu sambil berjalan keluar dari cafe, lalu menghirup rokoknya dan membuangnya sembarangan. Ia mencengkram kuat botol minumannya setelah melihat Cakka dan gadis itu menaiki Juke Hitam Cakka dan lantas menghilang.

            Shilla merogoh tas nya dan mencari ponselnya. Mencari kontak Cakka dan langsung memanggil nomor itu. Ia menunggu nada panggilan dengan tidak sabar. Kakinya terhentak mengikuti irama jantungnya. Setelah beberapa kali terdengar nada sambung, Shilla langsung bertanya, “Dimana?”

            “Di rumah, kenapa?” terdengar jawaban santai Cakka dari sebrang sana.

            Shilla mengehela nafas sebelum akhirnya berujar, “Yaudah, sekarang aku jalan ke rumah kamu. Ketemu disana,” kemudian memutuskan sambungan telefon dan mencengkram erat ponselnya. Ia benar-benar sudah menyerah dan tidak tahu lagi apa yang harus ia perbuat untuk membuat luka di hatinya, setidaknya, terobati.

            Tujuan awal dari kepergiannya memang untuk ke rumah Cakka. Tetapi ia berniat untuk membeli kue kesukaan Cakka di  toko yang letaknya persis di sebelah cafe tempat dimana ia memergoki Cakka ‘mendua’. Dan seketika, niat awalnya ia urungkan.

***

            “Aku sekarang udah duduk di sofa ruang tamu rumah kamu dan Mamah kamu bilang kalau kamu udah pergi dari jam 10 tadi. Maksud kamu apa sih, Kka?” ujar Shilla yang masih tersulut emosi. Mama Cakka sendiri memohon ijin karena tidak dapat menemani Shilla duduk di ruang tamu. Masih ada pekerjaan yang harus beliau selesaikan, katanya. Dan Shilla hanya bisa mengangguk sambil tersenyum, ketika Mama dari kekasihnya bilang, “Maafin Cakka ya, Shil.”

            “Kamu beneran ke rumah?” terdengar Cakka yang benar-benar kaget dengan ucapan pembuka Shilla di telepon. Di ujung sana, Cakka menghela nafasnya keras-keras, bingung apa yang harus ia lakukan sekarang.

            “Kenapa? Kayaknya ini bukan pertama kalinya, deh, Kka aku kerumah kamu. Tapi iya, ini pertama kalinya kamu bohongin aku,” Ucap Shilla final. Tidak mengerti harus menggunakan bahasa apalagi kepada Cakka agar lelaki itu mau mengerti sedikit saja tentang rasa yang ada di hatinya.

            “Aku kesana sekarang. Aku mohon, jangan kemana-mana,” Dan kali ini, Cakka memutuskan sambungan telepon.

            Shilla hanya bisa diam. Membiarkan air mata jatuh perlahan membasahi pipinya. Berharap Cakka akan segera datang dan mengusap air mata itu. Ia mendekap bantal kursi sambil menggigit bibir bawahnya keras-keras. Berusaha mengurangi himpitan di dadanya yang terasa begitu menyesakkan.

            Selang 20 menit menunggu, akhirnya terdengar deruman mobil Cakka disusul suara langkah kaki yang mendekat dan munculah sosok lelaki yang memiliki gaya rambut seperti artis Justin Bieber, berdiri di sebelah sofa yang tengah Shilla duduki.

            "Shil.....,"

            Dan Shilla langsung berdiri. Menatap Cakka dengan mata merah dan masih basah oleh air mata, "Kenapa sih, Kka? Aku ada salah sama kamu? Bilang Kka, bilang..... Jangan malah kamu sama cewek lain berduaan di luar sana. Kamu malu jalan sama aku?" Shilla benar-benar kehilangan kesabarannya. Sudah terlalu lama ia berada di lubang menyesakkan yang bahkan,  Cakka tak ingin mengetahui itu.

            "Shil......," Dan Cakka mengerti apa yang membuat Shilla semarah ini. Dan kecemasannya sedari tadi terbukti. Cakka diam dan berjanji tidak akan mengeluarkan sepatah katapun untuk membantah ucapan Shilla nanti. Karena ia sadar, kesalahannya kali ini benar-benar fatal.

            "Dari dulu aku ngebebasin kamu buat main sama cewek manapun. Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya jalan berdua sama cewek lain kayak gitu," Shilla sadar, ucapannya semakin lama semakin memelan. Tidak ada lagi tenaga yang dapat ia keluarkan untuk sekedar mengomeli Cakka. Lagipula ia tahu, Cakka bukan lagi anak kecil yang akan menurut hanya dengan omelan saja.

            "Udahlah, gak ada gunanya juga aku ngomong terus. Yang dulu-dulu aja ga kamu dengerin. Mending aku pulang," Shilla membenahi letak tas selempang di bahunya, lalu berjalan menubruk bahu Cakka yang sesungguhnya berdiri menghalangi pintu masuk.

            Cakka menarik lengan Shilla dan menahannya disana, "Biar aku anter aku ke rumah. Di luar udah mendung. Aku gak mungkin tega ngebiarin kamu keujanan di jalan," Tanpa menunggu aba-aba, Cakka menarik tangan Shilla menuju mobilnya. Membukakan pintu penumpang dan memohon kepada Shilla, sekali lagi saja, memenuhi permintaannya.

###

            Denting-denting suara piano yang dimainkan di cafe ini masih bergema hingga sudut ruangan, tempat Cakka duduk sendiri sambil ditemani secangkir latte yang sudah mendingin karena sudah satu jam hanya didiamkan begitu saja oleh pemiliknya. Cakka kembali memerhatikan jalanan melalui kaca pengganti dinding di sisi kirinya. 5 bulan lalu, ia masih duduk disini sambil berceloteh bersama wanita yang selalu sabar menghadapi apa yang sudah ia lakukan. Tetapi semenjak 2 bulan terakhir, hanya ada kehampaan dan ketidak pedulian yang menemaninya.

            Cakka mendesah lalu menyenderkan punggungnya ke sofa, menutup matanya lalu memijat pelan pelipisnya. 2 bulan dibebani oleh penyesalah bukanlah hal yang mudah. Dan Cakka sadar, inilah ganjaran yang harus ia terima setelah apa yang telah ia perbuat. Tetapi, tetap saja, bayangan Shilla saat pertemuan terakhir mereka di mobilnya, dikala hujan menemani kesenyapan diantara mereka berdua, membuat Cakka semakin mengiris hati. Dan Cakka kembali teringat saat Shilla akhirnya mau mengangkat panggilannya sebulan yang lalu.

***

            "Aku bukannya gak mau ngabarin kamu, Kka. Niat aku kerumah kamu waktu itu mau ngabarin hal ini. Tapi ternyata ada 'kecelakaan'. Sebenernya bisa aja aku pindah ke solo bulan juli nanti saat pergantian semester. Sekalian aku memang mau pindah kuliah. Tapi aku udah gak kuat, Kka. Aku minta ke Bunda mau nyusulin ayah aja disana dan biar Bunda tetep di Jakarta nemenin adeku juga. Aku mau konsen sama kuliah, Kka. Mumpung aku masih semsester awal jadi aku ulangi kuliah aku. Aku mau banggain orang tua aku dulu. Kamu ngerti, kan? Aku harap kamu gak kecewa sama keputusan aku yang tiba-tiba ini. Dan aku mohon, kamu disana, kuliah yang bener. Jangan pernah lagi pulang malem apalagi keluyuran gak jelas dan ngerokok. Urusan hubungan kita, kamu ngerti kan, bahkan gak usah aku jelasin, cukup sampai sini aja. Tapi kamu gak usah khawatir aku bakalan ngehindarin kamu apa gimana, kamu bebas kapan aja sms atau telfon aku. Kemarin ini aku cuma belum siap Kka. Tapi sekarang, aku bisa terima semuanya dan maafin semua dan segalanya. Kita tetep sahabatan kaya dulu bisa kan, Kka?" Ucapan panjang Shilla yang diiringi oleh isakan air mata di sebrang sana, mau tak mau, membuat Cakka ikut menitikkan air mata. Ia sudah tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Dan untuk terakhir kalinya, Cakka hanya bisa memenuhi permintaan Shilla dan berharap dirinya bisa setegar Shilla.

            "Kamu ganteng, Kka. Gak ada cewek yang gak mau jadi pacar kamu. Cari cewek yang lebih baik dari aku. Tapi aku mohon, jangan sakitin mereka kaya kamu nyakitin aku, cukup aku."

            Dan setelah itu, sambungan telepon terputus. Tanpa diketahui siapapun, mereka berdua menangis hingga tersedu. Memohon kepada Tuhan agar waktu bisa diputar. Berharap bahwa semua ini tidak perlu terjadi saja sekalian. Karena sakitnya, bukan sembarang sakit. Hanya saja, jarak yang begitu jauh memisahkan mereka.

###

            Ada seseorang di depan sana yang bahkan tak dapat ia kenali. Lingkaran matanya selalu bertambah hitam, dan tubuhnya semakin mengecil seiring waktu. Shilla melihat bayangan dirinya di cermin. Ia bahkan terlalu pilu untuk mengakui bahwa gadis mengenaskan di hadapannya itu, adalah refleksi dirinya saat ini.

            2 bulan ini ia habiskan dengan kepura-puraan. Berusaha mengobati luka dan menenggelamkan memori. Berharap semua ingatan menghilang lantas segalanya bisa berubah menjadi baik-baik saja. Walau nyatanya, semua tak semudah seperti yang ia bayangkan.

            Shilla bergerak menuju kamar mandi dan membasahi tubuhnya. Bertekad mulai detik ini, tak perlu lagi ada tangis pengantar tidur. Tidak ada lagi senyum sendu ketika mengingat masa lalu. Ini keputusannya. Ia hanya harus melangkah lebih mantap dari sebelumnya. Bukankah jika memang ia berjodoh dengan Cakka, takdir akan mempertemukan mereka kembali, iya, kan?

***