Sunday, November 20, 2011

Selalu begitu. Ia pikir, dengan bersembunyi dibalik topeng bahagianya semua akan baik-baik saja. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang ia harapkan. Semua akan berjalan dengan kebahagian yang terpancar. Ternyata ia salah.

Selama menjadi sesorang yang selalu menyembunyikan jati dirinya di balik topeng, perlahan ia mulai tidak mengenal dirinya sendiri. Perlahan rasa di hatinya sudah terlalu kebal, hingga ia mati rasa. Sampai terkadang ada satu waktu dimana ia hanya bisa memeluk lutut di balik pintu kamarnya. Diam diantara kegelapan yang ada. Diam dengan kesunyian yang menemani.

Bukan keinginannya. Entah sampai kapan ini akan terjadi, ia sendiri tidak tahu. Andai ini bisa ia lepas, ia rela melempar ini sampai ke antartika sekalipun. Ia ingin membuang segalanya sejauh mungkin. Bahkan terkadang ia berpikir, ingin hilang ingatan.

3 tahun bukan waktu yang sebentar. 3 tahun dalam jeruji penyesalan terlalu menyesakkan. Sehingga membuatnya sendiri merasa mempunyai batasan untuk bernafas bebas. Sebenarnya, setiap hari pun ia sudah bersikap seolah-olah tidak pernah ada apa-apa dalam hidupnya. Memancarkan kebahagiaan untuk para teman dekatnya. Tapi di balik itu semua, rasa kesepian menguasai hatinya. Rasa kehilangan menggerogoti batinnya.

Ia ingin seperti yang lain. Tanpa topeng. Tanpa senyum palsu. Ingin tertawa dengan lepas, tanpa sesudahnya ada air mata yang terurai. Tapi ternyata sejauh ini, itu semua belum terwujud. Dia masih terjebak dan terus mengandalkan topengnya. Entah sampai kapan.

Ketika rasa kesepian itu muncul, bukan hanya masa lalu yang langsung hadir dalam ingatannya. Entah mengapa, rasa kesepian, membutuhkan seorang sahabat pun sangat membuat semuanya terasa semakin sepi.

Ia bersikap judes dan selalu asal-asalan sesungguhnya sangat berbanding terbalik dengan sikapnya yang sesungguhnya. Ia terlalu mengandalkan topeng itu. Mengira ia akan terus kuat dengan ini semua.

Perlahan tapi pasti, rasa lelah itu menyeruak. Menginginkan udara segar. Membuncah untuk keluar dari hatinya. Ia muak. Jengah. Malas. Lelah terus menanti kapan semua akan berkahir. Lelah, sampai kapan ia terus seperti ini?

Entah ia atau memang sebenarnya seperti ini. Ia selalu merasa tidak dibutuhkan. Merasa, semua akan baik-baik saja ada atau tanpa dia sekalipun. Merasa, dirinya hanyalah penyempit dunia ini. Merasa, jika ia menghilang pun tak akan ada yang menyadarinya.

Semua teman terdekat yang selalu berpikir mereka berlabelkan sahabat itu bohong. Entah ia yang tidak mau mengakui, tidak mau menyadari, atau semua yang ia rasakan itu benar. Ia merasa, teman terdekatnya belum berhak berbendrolkan sahabat. Mereka belum pantas untuk menjadi sahabatnya. Padahal, ia sendiri yang menginginkan sosok sahabat di sisinya. Sosok yang selalu mau menopang kepalanya di bahunya. Sosok yang rela meluangka waktunya untuk mendengar apapun keluh kisahnya. Sosok yang menerima segala kekurangannya.

Sebenarnya itu semua sudah ia dapati dari semua teman dekatnya. Tapi itu hanya terkadang. Terkadang tema dekatnya mau menopang bahunya, mau mendengar keluh kisahnya. Apa ia yang tak sadar, itu bukan terkadang, tetapi, karena ia yang selalu bersembunyi di balik topeng. Toh, bukankah teman dekatnya pun tak tahu itu, kan?

Ia merasa mempunyai 2 jiwa yang berbeda. Yang terkadang dalam waktu bersamaan bisa sebegitu berbanding terbalik. Ia ingin membuat segalanya berjalan normal, melepas topengnya. Pernah ia mencoba itu sekali. Tapi ternyata itu malah membuatnya menjadi cewek manja dan lemah. Dan ia benci itu. Padahal sesungguhnya, itulah yang ada dalam dirinya.

Bagaimanapun, dengan berjalannya waktu, ia menjadi dewasa. Harus menentukan mana yang terbaik dan ana yang buruk. Ia berusaha meyakinkan dirinya, semua akan baik-baik saja. Karena semua, sudah ada jalannya.

Ia tidak pernah lagi berharap. Mimpi yang dulu berkobar dalam dadanya sudah padam. Yang ada tinggal abu kenangan masa lalu. Tak bisa dibanguun lagi. Karena ia sendiri sudah tidak ingin untuk itu. ”Toh, mau berharap ataupun tidak, semua sudah ada jalannya, bukan?”

Hidup memang keras. Terlalu keras malah. Tapi apa salahnya untuk membangun puing puing harapan. Untuk sekedar membangkitkan asa yang runtuh dalam hati. Bukankah harapan berguna untuk membangkitkan segalanya, untuk berpikir optimis?

Saturday, November 12, 2011

Buat semua yang nunggu tulisan aku, yang setia mantengin blog aku yang kusam ini, message atau wall atau mention bahkan bbm aku cma buat nanya kapan aku nulis lagi, aku gak bisa mastiin itu kapan. Aku sendiri kangen ngerangkai kata dan membuat alur cerita sesuai dengan imajinasi aku. Aku kangen dapet kritik atau komentar dari kalian para pembaca aku. Tapi entah kenapa belakangan ini ide aku rasanya mentok. Aku bingung kenapa, padahal dulu, nulis cerita bagian dari jiwa aku. Cuma disana aku bisa ngungkapin semua yang aku rasa. Bukan karena sibuk udah SMA aku gak nulis2 lagi. Kalau emang ada ide dan kepengen nulis, aku pasti nulis. Semepet2nya waktu yang aku punya. Kalau sekarang rasanya Cuma keinginan aku aja buat muasin kalian, biar kalian gak kecewa sama aku. Bukan dari hati aku, kalau aku pengen nulis lagi. Aku gak mau nulis yang bukan dari hati aku. Aku udah sering nyoba nulis, maksain. Tp aku gak suka. Aku ngerasa aneh dan maksa.

Buat semuanya, makasih atas dukungan kalian. Makasih buat pembaca setia aku. Aku ini orangnya pesimistic. Aku takut enggak ada yang bakal baca cerita aku. Aku takut gagal ngeluarin sebuah cerita untuk kalian baca. Makanya kadang aku Cuma nyimpen cerita2 aku di draft laptopku, tanpa berani aku tulis. Aku memang butuh dukungan kalian buat semangatin aku nulis dan aku makasih buat yg selama ini nanya kapan aku nulis dan minta buat aku nulis, tapi maaf, aku belum bisa. Jiwa penulis aku hilang. Aku paling sekarang lebih suka bermain kata, bukan merangkai kata.

Aku usahain secepatnya aku kembaliin jiwa penulis aku. Makasih buat semuanya.
Ternyata berdiam terus dalam kubangan sendirian itu tidak baik ya.


Entah gue yang cuek, atau gue yang masih berpura-pura.



"Aku terus meyakini diri sendiri bahwa semua memang baik-baik saja. Semua masih dalam alurnya. Alur yang Tuhan ciptakan se-detail mungkin untuk aku telusuri lika-likunya. Aku masih berusaha menerima semua, meyakini semua, menabahkan hati, bahwa ini, yang terbaik. Entah sampai kapan, bahkan sampai sumpah serapah aku telan kembali, ini masih saja menyakitkan. Tak menemukan ujung yang tak berduri, karena semua tepiannya berduri dan menggesek permukaan kulitku hingga ke tulang. Tetapi tetap saja, aku terus menelan semuanya bahwa ini memang yang terbaik. Sekalipun aku harus mati dalam rasa yang ada di hati. Hingga aku merasa aku sudah cukup gila untuk bisa merasakan sesuatu."
Aku berhenti bukan karena aku sudah tidak sanggup. Aku menyerah bukan berarti aku lelah. Aku melepas bukan berarti aku lemah.
Aku hanya tidak sanggup menunggu lagi, toh sampai kapanpun aku menunggu, aku tahu hasilnya akan seperti ini. Selama apapun aku bertahan, nihil yang akan kudapat pada hasil akhir.
Aku juga wanita yang bisa menangis ketika sesuatu mencabik hatiku. Aku hanya manusia biasa yang tak pandai meracik emosi dalam jangka panjang.
Aku sudah terlalu lama diam. Diam menunggu kamu yang tak juga datang memberi jawaban. Diam menunggu kamu memberi isyarat kepadaku apakah aku harus berhenti atau tidak.
Aku sudah terlalu lama diam. Diam sendiri menyembunyikan segala luka yang menyayat hati. Diam menangis di dalam hati.
Aku hanya butuh kepastian. Karena sampai kapanpun aku menunggu, bila seterusnya akan seperti ini, aku (juga) hanya akan mendapat nihil di penghujungnya.
Aku melepasmu bukan berarti aku sudah tidak sanggup memeluk bayangmu. Aku melepas karena aku tahu, ada wanita yang lebih kuasa memeluk ragamu, bukan hanya bayang seperti aku.
Aku berhenti menunggu bukan berarti aku sudah sanggup hidup tanpa kenangan masa lalu. Aku berhenti karena kau mempunyai kenangan yang lebih syahdu.
Aku diam. Aku diam. Aku diam.
Jangan tanya aku macam-macam.
Sesungguhnya aku masih menyayangmu, masih ingin memelukmu, ingin dibuai olehmu. Tapi aku sudah muak hidup dengan sejuta sandiwara setiap kali aku mengingatmu

Tuesday, February 15, 2011

(Aku Harap) Ini Akhir

Aku kira melupakanmu akan semudah ketika kau melupakanku. Oh, ternyata tidak.

===

Sinar matahari menelusup secara paksa lewat gorden kamarku, menimbulkan sedikit cahaya yang jatuh tepat diwajahku. Aku mengerjapkan mata, membuat pandangan yang semula tampak kabur agar menjadi lebih jelas.
Baru saja aku membuka buku untuk mengisi hariku di hari ini, tetap saja namamu yang tertulis secara tidak sengaja disana. Kira-kira, sampai kapan, ya?
Kisah kita memang sudah berakhir sejak lama. Oh, aku salah. Bahkan kisah kita diakhiri secara sepihak. Dan kenangan tentang kita, entah kenapa masih terasa segar di otakku. Selalu. Aku bahkan masih merasa, kau masih ada untukku. Masih akan membuaiku dengan kata-katamu yang malah akan membuatku menggeliat geli, bukan membuatku tersipu.
Mungkin memang karena aku, yang belum siap untuk menghilangkan kenangan kita. Kenangan yang sadar tidak sadar, membuat semangat hidupku selalu lebih berenergi. Kenangan yang tak akan pernah dirajut kembali, untuk menemukan akhir yang bahagia. Bukan akhir yang mengenaskan seperti apa yang terjadi.

===

Kisah ini sudah teronggok mati, yang seharusnya aku lempar jauh-jauh ke laut sana. Seharusnya. Mengerti, kan?

====

Ternyata yang orang bilang, ‘aku bahagia melihatmu bahagia’ itu kata-kata paling munafik yang pernah aku dengar. Saat ini, aku tidak bahagia ketika bertemu denganmu sedang duduk berdua seraya bersenda gurau. Aku tidak ikut tersenyum melihat senyummu yang bukan lagi untukku. Malah, air mata ini secara perlahan terus menetes. Padahal aku tahu, siapa aku, menangisi kamu?
Yang aku tangisi, bukan ragamu yang bukan lagi untukmu, bukan hatimu yang sudah terisi nama lain, bukan aku. Yang aku tangisi, mengapa tidak ada rongga setitik pun dalam ingatanmu, untuk sekedar mengenang kita, walau hanya 5 detik.
Semua orang bilang, ini hanya masalah waktu.
“Shil…..”bisikan lembut suara Nadya menyapa telingaku yang sudah tuli dengan keadaan ramai, dimana aku sekarang ini. “Udah jangan nangis. Mana Shilla yang kuat yang gue kenal?” ujarnya berusaha menghiburku.
Aku menyusut pelan air mataku, menegakkan kepalaku, dan baru sadar, GOR ini sangat ramai. Sivia, Gita dan Zahra pun hanya bisa menatapku dengan tatapn sendu, seolah mengerti apa yang aku rasakan.
“Rio masih ada?” kataku pelan, nyaris berbisik. Seolah menyebut namamu saja, bisa membuat tubuhku ini terbang bersama angin.
“Masih. Tapi udah pindah ke tempat supporter sekolahnya. Hari ini kan yang tanding sekolahnya.” Sivia menimpali. Aku mengangguk pelan. “Kita ke sana. Yuk. Hari ini sekolah kita kan tanding sama sekolah dia.”
Tanpa menunggu aba-aba, Sivia, Gita dan Zahra langsung menarikku. Nadya hanya mengusap pundakku. Aku tersenyum, terimakasih kepadanya. Hanya dia yang tak pernah bosan mendengar segala tentangmu, walau aku sudah mengulang kata-kata yang sama hingga ratusan kali.

===

Ini bukan salahmu. Ini juga bukan salahku. Bukan salah siapa-siapa. Ini sudah takdir alam yang tak bisa di ganggu gugat. Hukumnya sudah telak.

===

Kita seperti dalam dimensi yang berbeda. Kau tak dapat melihatku, tetapi aku dapat. Dan aku, tak bisa menyentuhmu.
“Shil, Ify tuh.” Aku langsung mendongakkan kepala ketika sedang menekuni Chees burger ku, mendengar bisikan Gita yang seolah membuat buku kudukku berjingkat.
“Cantik ya…pantes Rio mau.” Sahutku, nyaris berbisik. Memperhatikan wanitamu yang tengah duduk di sudut café ini. Memesan makanan kepada pelayan, lalu menyerahkan menu makanan seraya tersenyum. Aku diam.
Gita tersenyum. “Rio sayang sama dia, bukan karena dia cantik, kok. Lo juga cantik.” Sahut Gita, yang entah mengapa malah membuat dadaku semakin sesak. “Eh….” Gita sepertinya sadar, ada beberapa kata yang salah ia ucapkan, walau begitu kenyataannya. Aku mengangguk paham.
“Udah, lah. Gak usah dibahas. Gue udah males.” Aku berusaha menutup pembicaraan. Mau dibawa sampai manapun ini pembicaraan, tak ada satu kata pun yang akan membuat hatiku –setidaknya- lega. Semua pasti akan semakin menyesakkan.
Gita menatapku sendu, seolah mengatakan bahwa aku kuat. Bahwa aku bisa. Ah, aku lelah harus berpura-pura terus.
Aku kembali menekuni cheese burger ku, sedangkan temanku yang satu itu asik memakan kebab-nya. Dengan perasaan lunglai, aku mengunyah perlahan daging yang bercampur dengan mayonise dan keju –aku tidak suka sayur-. Ini makanan kesukaanku, tapi tetap saja, jika keadaan seperti ini, rasanya sangat pahit. Bahkan menelannya saja, seperti menelan kerikil jalanan. Sakit.
“Gita!” terdengar suara bersemangat memanggil Gita. Suara lembut yang bahkan sampai kapanpun tak akan aku miliki. Suara Ify. Ah…kenapa sih, dia harus sadar bahwa ada Gita disini. “Yaampun, apa kabar lo Git?” Tanya Ify histeris, Gita menyambutnya dengan pelukan hangat. Bagaimanapun, mereka berteman dekat.
“Gue baik Fy, lo gimana? Gak ada kabar deh.” Sahut Gita tak kalah semangat. Ify menarik satu kursi di sebelah Gita lalu mendudukinya. Seolah tidak sadar, masih ada orang di meja ini. Gita menoleh perlahan ke arahku, tersenyum, mencoba memaklumi.
Aku diam, mencoba mengerti. Toh mereka sudah tidak bertemu sekitar 6 bulan. Aku mengerti.
“Ih iya, nih. Gue sibuk sekarang kelas 11.” Jawab Ify.
“Oh iya, denger-denger lo wakil osis ya? Cie.”
“Ah biasa aja, kali. Lo juga anak MPK, kan?”
“Eh ngapain lo kesini? Sendirian lagi.”
“Itu, gue nungguin Rio, dari jam 2 janjiannya, eh dia baru datang sekarang. Tapi malah nunggu di toko buku sebrang jalan.” Dan untuk yang satu ini, aku harap percakapan itu segera di akhiri. Sekuat apapun aku, aku akan seperti disiram air keras. Langsung pecah tak terbentuk. Dan, aku bisa berusaha tersenyum, tetap saja, aku tak kuat untuk tersenyum lebih lama untuk hal ini. Tentang kamu.
“Oh…Rio yang waktu itu lo pernah sms?” dan kali ini, tak ada nada semangat dari ucapan Gita. Aku mendengarnya, ini benar-benar sebuah basa-asi yang ingin cepat-cepat ia akhiri. “Eh kenalin ini temen gue.” Dan Gita akhirnya menoleh ke arahku yang sedari tadi hanya mengaduk lemon tea ku menggunakan sedotan.
Ify tersenyum ramah ke arahku, memamerkan deretan giginya yang dihiasi behel, seraya menyodorkan tangannya, mengajakku berjabat, “Eh sorry, gue Ify.” Katanya.
Aku berusaha tersenyum semanis mungkin. Menguatkan dalam hati, wanita di depanku ini wanita yang di cintai oleh lelaki yang aku cintai. Dan ia tidak bersalah. “Shilla. Santa aja, Fy.” Sahutku, menjabat tangannya.
“Eh gue cabut, ya. Kasian Rio nunggu lama-lama. Duluan yah Git, Shil.” Dan Ify pun meninggalkan meja ini. Yang tersisa hanya derap langkahnya yang menggema di café yang sepi ini.
Aku masih memperhatikannya. Ia berjalan dengan angggun. Dari belakang saja sudah terlihat ia wanita yang manis. Rambutnya yang di kuncir kuda bergoyang seiring dengan langkahnya menyebrang di zebra cross. Dan disana, mau tidak mau aku melihatmu keluar dari toko buku. Tersenyum, menyambut wanitamu. Dan Ify, sedikit berlari untuk segera mendekat.
Aku menunduk. Aku tidak kuat untuk lebih lama melihat semuanya. Hal yang paling aku takutkan itu kembali terjadi, melihatmu bersama wanita lain.
Gita mengelus tanganku yang terkulai lemas di meja. Dia sempat melihat ketika tadi dirimu keluar dari toko buku dan segera menyambut Ify. Walau begitu, tetap saja ia takkan tahu, bagaimana sesak yang aku rasakan.
“Lo udah milih jalan inikan, Shil? Gue udah ngasih lo 2 solusi, 2 pilihan. Dan lo tetap memilih yang ini. Yang diam-diam gue harap, lo gak akan memilih jalan ini. Karena gue tahu, lo tersiksa.”
“Tapi gue gak ngeluh kan, Git? Enggak, kan? Gue baik-baik aja Git…..” dan seiring dengan itu, air mata ini tumpah. Aku harap, segera mengurangi luka yang terasa telak di hati ini.
“Shil, udah……ini bukan Shilla yang gue kenal.”
“Gue rela Git gue rela kehilangan raga dia, gue rela gue terima di hati dia udah gak ada lagi nama gue. Gue rela dia udah ngelupain semua kenangan antara gue sama dia…. Tapi harus ya, Git, dia pura-pura gak kenal sama gue? Seolah kita gak pernah ketemu sebelumnya? Harus, ya, dia buang muka setiap ketemu gue?” dan aku semakin histeris. Walau nada ini perlahan semakin memelan, tapi aku yakin Gita tau. Sakit di dada ini semakin perih.
“Gue tahan Git selama ini. Toh gue sendiri udah cape nangisin dia setiap malem. Gue cape terus diam-diam ngeharepin dia bakalan inget nama gue. Selama gue tahu dia jadian sama Ify, gue gak nangis. Gak ada air mata buat dia. Gue ikut seneng dan sampai kemarin ketemu di GOR, waktu lagi-lagi dia ngebuang muka saat ngeliat gue, gue masih bisa tahan air mata gue. Gak ada air mata yang keluar, air mata gue udah beku buat dia.”
Aku menegadah. Memperlihatkan pipiku yang kering. Tak ada air mata disana. Aku sudah bilang, kan. Menangis tak lagi cukup untuk melampiaskan segalanya. Hanya 3 tetes air mata yang menetes.
“Pulang, yuk? Gue tahu lo butuh waktu.” Dan akupun mengiyakan. Bangkit dari sana. Dari sudut mataku, aku perlahan mengintip ke toko buku sebrang. Aku menghembuskan nafas lega, mereka sudah tidak ada.

===

Hidup itu terlalu rumit. Terlalu banyak pilihan yang begitu menjebak. Tenang saja, mata hati akan selalu tepat.

===

Dan kini, bayang-bayang yang selama ini aku hindari terus menyelubungi hati ini. Membuat segala kepastian dan pilihan perlahan meragu. Entah hanya karena emosi saja, atau aku memang tidak terlalu yakin dengan segalnya. Dari awal, ketika aku memilih jalan ini.
Aku memang memaksa untuk menempuh jalan ini. Karena aku masih takut, masih belum siap dengan apapun yang terjadi nanti, jika aku harus hidup dalam proses melupakannya. Aku tidak tahu bagaimana aku nanti, ketika hariku, tak ada lagi namanya yang menjadi alasan aku tersenyum sendiri.
Ini memang alasan yang tidak masuk akal, tapi setidaknya aku nyaman. Walau menyakitkan. Tapi tetap saja, ini ada titik jenuhnya. Ketika aku meminta, agar semua bisa diulang kembali.
Dan aku tahu itu semua tak akan pernah terjadi. Aku tahu, diam disini sama saja terus berjalan di tempat. Aku menolak untuk menerima hari baru yang telah menyambutku.
Dia telah mempunyai dunianya sendiri. Dan aku tak akan bisa menyentuhnya.
Dia telah berubah, tapi tempat di hatiku sedari dulu tak pernah bergeser satu melimeter pun.
Aku memang payah.

===

“Valentine dia 3 bulanan Shil…” kata Gita, nyaris berbisik. Ketika aku sedang duduk di kelas, menyenderkan kepala pada tembok disisi kananku.
“Tau kok, Git.” Kataku lalu tersenyum.
“Lo gak apa-apa kan, Shil?” Tanya Zahra yang duduk di meja depanku.
Aku menegakkan dudukku. Ini bukan aku. Aku, Shilla, yang selalu membuat mereka tertawa, bukan Shilla yang membuat mereka khawatir. “Santai, gue baik-baik aja, kok.” Dan aku lagi-lagi menyembunyikan segalanya di balik topeng yang sudah mendarah daging denganku.
“Oh iya, Ify cewek baik-baik kan, Git? Dia baik, kan? Gue baca twitter nya kayaknya dia sayang banget sama Rio. Kayaknya 3 bulanan ini dia mau ngasih surprise gitu ke Rio.” tanyaku pada Gita semangat, yang duduk di sampingku.
“Ify baik kok Shil. Tapi, lo bener gak apa-apa, kan?”
“Enggak. Gak percaya banget ih sama gue.” sahutku lalu setengah tertawa. Yang lain masih memperhatikanku dengan tatapan nanar. Dan aku benci ini.
“Shil, lo jangan terlalu masuk ke dalam lubang ini terlalu lama. Gue, kita, tau disana sangat menyesakkan. Gimana pun caranya, elo harus keluar dari lubang itu. Lo gak mungkin selamanya disana, kan?” kali ini Zahra ikut angkat bicara, dengan kedewasaan yang ia miliki.
“Dan kalaupun lo mau lupain dia, kita bisa Bantu. Semua butuh proses kok. Kita tau, lo gak bakalan seratus persen lupa sama Rio. Orang operasi aja masih ada kumatnya, gak menutup kemungkinan elo pun gitu. Tapi, kalau minum obat, senggaknya kumat itu jarang datang.” Timpal Nadya lalu tersenyum seraya mengelus jemariku lembut.
“Kenangan itu kayak album foto, dibuka kalau lagi mau aja. Tutup lagi kalau udah cukup. Toh album pun ada lembaran baru, kan setiap tahun? Hidup pun seperti itu, Shil.” Tambah Gita.
Dan kali ini, air mata yang menetes air mata haru. Mereka menyemangatiku untuk maju, tapi aku tetap pada pedirianku untuk terus berada di garis yang sama. Dan kali ini, aku akan mencoba segalanya. Mencoba memanjat lubang itu dan perlahan akan menutup album lamaku.
Aku yakin, kisah ini akan berakhir. Kapanpun itu. Dan segalanya, memang yang terbaik.
Aku memang masih akan menyimpan dia di lubuk hati terdalam, tapi bukan untuk selalu diingat, hanya untuk menjadi penghias hati ini. Sebagai yang terindah.

===

RANDOM!!!!!!!!!!! Curcol kaliyak? Oke leave comment on this site or my facebook Dhita liawaty saputri. And my tweets @dhitals.