Thursday, September 6, 2012

The Last

“Aku gak pernah minta apa-apa sama kamu. Aku ngebebasin kamu. Toh aku juga sadar, mungkin emang cuma aku yang pengen kamu tetep sama aku, cuma aku yang pengen kita terus bareng. Bukannya dari awal cuma aku, kan, yang berusaha buat deketin kamu? Berusaha biar kita bisa balik kayak dulu?

“Tapi gak begini caranya. Aku cuma minta kamu selalu jujur sama aku. Kamu keluarin semua unek-unek kamu sama aku. Aku ingin kamu nyaman sama aku. Aku gak mau kamu terbebani sama status kita. Aku gak mau aku cuma dijadiin status tanpa pembuktian.

“kamu kenapa, sih? Kamu lagi ada masalah? Kamu udah bosen? Atau jangan-jangan dari awal kamu emang terpaksa balik sama aku? Karena kamu cuma kasihan sama aku, gitu? Aku gak mau kayak gini.”

Diluar, hujan dengan derasnya masih saja turun. Gemuruh petir ikut mengiringi, menambah suramnya malam ini. Shilla hanya dapat meringis, dada yang semakin sesak ini tak dapat berkurang himpitannya hanya dengan helaan nafas saja.

“Iya aku tau, mungkin kamu butuh privacy yang gak bisa kamu kasih tahu ke aku, tapi gak sampai kamu berubah 360 derajat gini, kan? Aku minta maaf sama kamu kalau emang aku ada salah. Kalau emang kamu udah gak mau sama aku. Maaf. Aku Cuma pengen kamu seneng deket aku. Maaf, a-“

Bahkan untuk sekedar menatap wajah Shilla saja, lelaki yang sudah memutuskan mau menjalin kembali hubungannya dengan Shilla yang sudah berjalan 7 bulan ini, sudah enggan. Masih terus saja meremas setir mobilnya. Itu jauh lebih baik dari sekedar menatap wajahku, begitu, kan? Batin Shilla sarkatis.

“Kka….please. kamu denger, kan?” dengan berani Shilla mulai mengulur tangannya, meraih sebelah tangan Cakka yang terkulai di pahanya. Meremasnya, menyadarkan alam sadarnya bahwa ia tidak sendiri disini. Di dalam mobil yang diparkir tepat di halaman rumah Shilla.

Cakka hanya menghela nafas, menarik tangannya lalu tersenyum mencemooh, “Keluar dari mobil gue!” serunya, tertahan. Sepertinya masih banyak emosi yang tersulut, dan dengan susah payah ia tahan. Tetapi tetap saja membuat dada Shilla semakin sesak bukan main.

“Gak denger apa kata gue?” Cakka menoleh sesaat ke arah Shilla, sebelum menatap kedepan lagi dengan kilatan amarah dimatanya, “Keluar!!!!!”

Dan saat itu juga, Shilla hanya bisa menuruti apa yang diucapkan Cakka. Membuka pintu, dan segera berlari menuju rumah, setelah sebelumnya membanting pintu dengan sekuat tenaga. Berharap air mata yang sedari tadi sudah Shilla tahan, segera menetes, agar bisa mengurangi degupan jantung yang tidak beraturan. Yang Shilla tahu, sebelum sempat memegang handle pintu, Shilla tidak melihat apa-apa lagi. Hanya hitam pekat yang ada dan rasa nyeri pada dada bagian kirinya yang tak tertahankan.

Bukan, bukan sakit karena bentakan Cakka tadi. Ini jauh lebih sakit.

###

Cakka hanya bisa memohon kepada Tuhan agar apa yang dilihatnya di dalam bukan benar-benar wanita yang rela melakukan apa saja demi dirinya. Yang tidak memperdulikan harga dirinya hanya demi menjadi pasangan hatinya. Penyesalan ini terlalu besar untuk sekedar diungkapkan.

Dari kejauhan, tedengar suara langkah kaki seseorang diiringi orang lain dibelakangnya. Cakka mengangkat wajah ketika seseorang mengguncang-guncang tubuhnya yang terkulai lemas di bangku.

“Shilla kenapa Kka? Lo apain Shilla, Kka?!” teriakan dari mulut Sivia serta merta membuat semua orang yang ada di koridor UGD menoleh.

“Jawab Kka jawab!” Sivia semain mengguncangkan-guncang bahu Cakka setelah Cakka berdiri di hadapannya.

“Gue gak tau Vi, gue gak tau.......” Cakka meminta ampun kepada Sivia. Memohon agar tidak memojokkannya seperti ini. Agar tidak menyalahkannya atas apa yang telah terjadi kepada Shilla.

Cakka kembali duduk di bangkunya, meremas rambutnya lalu menangkupkan kedua wajahnya. Membiarkan tetes tetes air mata keluar dari tempatnya. Air yang sangat sungkan untuk keluar bagi kaum adam.

“Maaf Vi.... Maaf..... harus berapa kali gue bilang maaf biar semua orang maafin gue?” Cakka berteriak prustasi. Memohon Sivia agar sedikit mengerti. “Gue nyesel Vi nyesel.... Gue nyesel udah ngebentak Shilla..... gue nyesel udah kasar sama dia.... Maafin gue Vi!” benteng air mata pertahanan yang sudah dibangun Cakka dengan susah payah, dalam sedetik hancur seketika. Merembeskan ribuan mili liter air mata melalui celah kelopak matanya.

“Kka..... lo tuh harusnya jadi orang yang paling tau kalau Shilla gak boleh dibentak.” Sivia duduk terkulai dibangku disambping Cakka. Tidak mengerti dengan jalan yang sedang Tuhan berikan kepadanya. Tentang ujian yang Tuhan berikan untuk sahabat terbaiknya.

“Demi Tuhan, Vi! Gue gak tau apa-apa!”

“Shilla........sakit, Kka.”
Cakka menatap Sivia yang sedang terisak kencang, dengan tajam. “Sakit? Maksud lo?”

“Lemah jantung. Jantungnya gak bisa dikasih tindakan yang spontan atau yang bikin dia kaget. Ya begini lah.” Sivia berkata lemah. Tidak berani menatap Cakka yang sedang menatapnya tajam. Dengan tatapan ingin memangsa.

“Separah apa?” Ya Tuhan, apa lagi yang sedang engkau berikan kepada kami? Batin Cakka, putus asa.

“Sangat parah Kka. Dia butuh transplantasi jantung secepatnya.”

Dan detik itu juga. Cakka merasa menjadi pria paling tidak berguna di dunia ini. Pria tak berhati yang bahkan tidak mengetahui hal sepenting ini. Sesaat, Cakka hanya bisa diam. Menikmati perasaan kagetnya, dan tak lama, ia berlari menuju halaman belakang rumah sakit. Hujan masih terus mengguyur kota ini, menemaninya. Membantunya menghapus air mata yang juga terus mengalir di pipinya. Apa yang harus ia perbuat untuk menebus penyesalannya ini?

###

Cinta bukan sesuatu yang bisa dipaksakan bukan? Tetapi, apa benar cinta akan tumbuh karena terbiasa?

###

Dan potongan serta kepingan masa lalu seperti film yang sengaja diputar. Sengaja untuk mencemooh Cakka untuk terus merenungkan perbuatannya dimasa lalu. Membuat rasa sesal dalam hati Cakka benar-benar tidak ada ampun.

===

"Kamu dimana?" Tanya Cakka tidak sabar. Shilla yang sedari tadi hanya memotong acak choco truffle dihadapannya, menghela nafas panjang.

"Kenapa emang?" Jawabnya ketus, masih untung dia mau mengangkat panggilan dari lelaki yang berlabel kekasihnya itu.

"Ujan besar Shil diluar. Kamu dimana?" Ujar Cakka dengan kesabaran yang dimilikinya. Setengah hatinya resah dan menyesal tidak menahan gadis itu untuk tetap dimobilnya.

Ada jeda sejenak yang menghampiri mereka berdua. Sesaat, Shilla tak juga menjawab. Hanya diam. Membuat Cakka semakin tidak sabar.

"Apa peduli kamu." Shilla mulai terisak pelan. Dadanya semakin terhimpit. Lelah yang menerjang dadanya sudah tidak dapat ditahannya.

"Kamu dimana, sayang?" Sesunggugnya Cakka mengkhawatirkan wanita yang entah berada dimana.

"Kamu sendiri dimana?" Shilla melahap choco truffle-nya yang sudah tidak terbentuk. Suasana cafe yang sedang dia kunjungi ini untungnya sedang tidak terlalu ramai. Dia yang memilih duduk di pojok utara afe merasa beruntung. Tak ada yang melihatnya mengurai air mata ditempat umum.

"Aku dirumah kamu. Sama Ibu kamu." Cakka masih bisa menahan kesabarannya. Dia memandang keluar halaman. Hujan dengan derasnya turun membasahi bumi. Sudah hampir 2 jam. Sama seperti ketika Shilla turun dari mobilnya.

"Pulang ya, aku sama ibu kamu bener-bener khawatir Shil." Cakka sudah mulai putus asa. Rasa bersalah dan penyesalan tiba-tiba menggerohoti sukmanya. Ibu dari kekasihnya, yang sedari tadi duduk di sofa sebrangnya, tampak gusar.

"Aku.....aku kan........gak bawa dompet. Tadi kan cuma nyisa uang 20 ribu di saku celana aku. Tas aku ketinggalan kan....."

Dueng

Cakka menghela nafas lega sekaligus geli. Dia sedikit kerkekeh kemudian bertanya, "Yaudah kamu dimana sekarang?"

"Di rumah coklat." Jawab Shilla. Merasa pipinya sudah merah merona. Inilah akibat dari kecerobohannya. Niatnya mau menghilang seharian, eh tas nya malah tertinggal di Juke Merah Cakka.

"Yaudah tunggu ya. Aku kesana."

Dan sambungan telefon pun terputus. Hanya 30 menit, Cakka sudah tiba di depan Rumah Coklat. Dia memarkirkan mobilnya ke tempat yang sebisa mungkin tidak terkena hujan. Dengan cekatan dia mengeluarkan payung dan berjalan menuju teras Rumah Coklat. Dan Shilla sudah ada disana. Menunduk malu sambil memandangnya. Cakka tidak tahan untuk tidak mencubit cuping hidungnya.

"Kalo mau kabur, jangan cerohoh." Ujar Cakka geli. Shilla cemberut dan diam saja ketika akhirnya Cakka menggandeng tangannya. Membimbingnya menuju kursi penumpang.

Harum maskulin Cakka bercampur air hujan memenuhi oksigen di mobil. Shilla sempat terpana ketika Cakka menggoyang-goyangkan kepalanya yang terkena sedikit tetesan air hujan. Lelaki itu memiliki kharisma tersendiri. Kharisma yang mampu mengikat hati Shilla dan membuatnya mencinta Cakka setengah mati.

Shilla tersadar dan merogoh tas nya, mencari sesuatu dan dengan sesegera mungkin menelannya. Dengan bantuan air mineral yang selalu tersedia di mobil Cakka.

"Kamu tuh unik banget sih." Ujar Cakka, seraya menyeringai kearahnya. Lalu mulai men-stater mobil yang dia kendarai. Dan melajukannya memasuki jalan raya. Menuju komplek perumahan Shilla.

"Tau ah. Kamu diem ih, ngeselin. Ledekin aja terus." Shilla merengut kesal. Sekaligus malu. Dia memalingkan wajah ke jendela. Memperhatikan air hujan yang mengalir disana.

"Iya iya, maaf deh. Aku tau aku salah. Sampai kamu tadi keluar gitu aja dari mobil, yang bukan kamu banget. Pasti kesalahan yang aku bikin emang parah banget. Terus tadi juga aku bukannya nyegah kamu. Maaf ya." Shilla menoleh dan saat itu, Cakka juga sedang memandangnya. Lampi lalu lintas sedang berwarna merah. Cakka meraih kepala Shilla dan mengelusnya pelan. "Kamu tau gak? Aku khawatir banget. Belum pernah aku khawatir kaya tadi tau." Cakka melepas tangannya, mengoper porsneling. Lalu mulai melajukan kembali mobilnya.

Shilla sempat terpana sesaat, tetapi kemudian kembali kesal. Kesal kepada dirinya. Mudah luluh oleh buaian kalimat lelaki berkulit putihyang sedang duduk dibelakang kemudi.

"Kamu tau gak? Aku cape banget loh nungguin kamu tadi. Hampir 3 jam. Tapi kamu udah sering sih kayak gitu, biasa aja ya, Kka." Shilla tersenyum sinis kearah Cakka yang menyebabkan wajahnya mendadak kaku. Cakka menghela nafas berat. Terus memandang lurus ke depan. Berusaha berkonsentrasi pada jalanan Jakarta yang macet itu.

"Aku cape Kka, cape.........." Shilla menghela nafas letih. Percakapan serupa. Percakapan yang ia benci. Percakapan yang membuat ia memaksa turun ditengah jalan seperti tadi.

"Aku kan udah minta maaf Shil." Cakka terdengar agak emosi. Tidak ada alasan yang bertele-tela mengapa ia telat 3 jam menemui Shilla untuk memenuhi janjinya menonton film terbaru yang sangat booming itu. Ia benar-benar lupa.

"Yaudah lah, lupain aja." Sambil membuang wajah ke jendela di sisi kirinya. Berusaha menahan segala amarah yang sudah membuncah dihatinya. Bukankah dia, yang dari awal sudah meminta bahwa Cakka bersedia untuk menemani harinya saja, seharusnya ia sudah bersyukur? Tapi tidak seperti ini juga.....tambah Shilla dalam hati. Semakin tidak mengerti dengan drama yang Tuhan beri kepadanya.

Laju mobil Cakka berhenti. Ternyata sudah tiba di depan rumah Shilla. Tanpa basa basi Shilla langsung keluar dan membanting pintu mobil sekuat tenaga. Lalu berlari menuju gerbang kayu kokoh yang berada di depan rumahnya. Tak peduli dengan derasnya hujan yang sudah mengguyur tubuhnya. Disaat yang sama, terdengar pintu mobil terbuka, dan seketika, Cakka sudah memeluknya dari belakang. Shilla diam. Tidak mengerti -lagi-lagi- racauan dari hati dan otaknya. Tuhan.....kuatkan aku..... ujarnya dalam hati.

"Maaf Shil, maaf......" Dan Shilla dapat merasakan Cakka mengecup puncak kepalanya. Lalu meninggalkannya dengan kehampaan.

Shilla benci dengan wangi maskulin lelaki itu. Shilla benci tatapan mematikan lelaki yang setengah mati ia puja. Shilla benci mencintai lelaki yang menempati ruang hatinya.

Shilla berlari. Tidak menghiraukan ucapan Bundanya yang sudah menunggunya sedari tadi. Yang masih duduk khawatir menanti dirinya kembali. Yang ingin ia lakukan sekarang hanya tidur.

+++

From : Cakka
Km mungkin gaakan percaya kl aku blg aku nyesel dan ngerasa bersalah. Km mungkin gaakan percaya lg sm aku. Tp aku bener2 nyesel. Aku minta maaf. Aku bener2 minta maaf. Aku gajanji aku gabakal ngulangin itu lg. Aku gaberani janji apa2 sama km Shil, aku bahkan gaberani janji bakalan ada selalu buat km. Maaf. Aku cm takut gabisa nepatinnya. Maaf.............Tp km bisa dtg ke cafe tempat aku manggung biasa? Jam 7 nanti? Aku sayang kamu Shil.

+++

Setelah mengalami pergolakan batin sebelumnya, Shilla akhirnya memutuskan untuk datang memenuhi permintaan Cakka. Setidaknya, dia tidak sejahat Cakka yang bisa saja mengacuhkan permintaannya. Dan sekali lagi, entah untuk berapa kali dihari ini, ia tersenyum getir.
Shilla duduk disalah satu sudut cafe. Tidak begitu yakin Cakka akan menemukan keberadaannya. Suasana lampu cafe yang agak remang-remang, dan juga banyaknya pengunjung yang ternyata sengaja datang untuk melihat penampilan band Cakka, menambah tersudutnya keberadaan Shilla untuk dilihat.

Shilla mengaduk-aduk Choco Crumble nya dan menghirupnya pelan. Merasa sedikit bodoh mengapa akhirnya dia memutuskan untuk datang kesini. Memenuhi permintaan Cakka. Dan tak lama Shilla dapat melihat Cakka bersama gitar dan juga rekan satu bandnya, berada diatas panggung.

Shilla hanya memandang ke panggung secara acuk tak acuh. Ternyata dari posisi duduknya saat ini, sangat jelas untuk memandang ke arah Cakka berdiri. Dan disana, dengan auranya tersendiri, Cakka dan band nya mulai memasuk intro sebuah lagu secara akustik, dan Shilla tidak bisa menampik, bahwa lelakinya tampak begitu menawan dibalik kemeja berwarna hitam yang lengannya ia gulung hingga siku. Ditambah penerangan yang redup di Cafe ini, seperti... Cakka memiliki aura sendiri sehingga, Shilla bahkan bisa melihat dengan jelas bagaimana Cakka membawakan lagunya. Dan Shilla tahu, lagu Maaf dari Jikustik yang Cakka bersama bandnya bawakan itu, cukup menyentuh hatinya. Membuatnya tersentuh. Dan cukup, untuk membuatnya meneteskan air mata haru.

Tak lama, lagu usai dibawakan. Dan ternyata Cakka langsung turun dari panggung dan menghampirinya. Sebetulnya, ada suatu harapan, bahwa Cakka akan meminta maaf kepadanya dari panggung sana. Dan ternyata mengingat harapan itu, membuatnya menggeleng-geleng kepada sendiri. merasa norak dengan pikirannya barusan.

Cakka menarik pelan kursi dihadapan Shilla dan menghempaskan pelan tubuhnya disana. Sempat beberapa lirikan dari sekitar yang mengikuti gerak geriknya. Tapi hanya ada Shilla yang kini masih berkecamuk dalam otaknya.

"Kamu........masih marah?" Tanya Cakka pelan. Dia dapat melihat jelas kilatan kesedihan terpancar dari bola bening wanita pemilik hatinya.

Shilla menyesap pelan Choco Crumble-nya, lalu mengaduknya lagi, sebelum akhirnya menjawab, "Menurut kamu?"

"A......aku gatau lagi harus gimana Shil.. Tadi itu...gak cukup ya?" Sahut Cakka masih tampak berusaha. Karena dia tahu diri, bahwa luka yang dia goreskan di hati wanitanya, bukan sembarang luka. Dan dia menyadari, dia sangat sering melukai hati wanita itu.

"Udah lah Kka, aku udah gak mau bahas itu. Seperti biasa dan akan selalu Kka, Pintu maaf aku selalu terbuka lebar buat kamu. Separah apapun luka yang udah kamu toreh disana." Shilla memandang dalam mata Cakka, meminta perhatian dan pengertian, bahwa ucapannya benarr-benar tidak main main.

Dan Cakka merasa semakin bersalah. Wanita ini, terlalu mulia untuk ia sakiti. Cakka bergerak meraih jemari Shilla dan menggenggamnya lembut. Walau ditempat dengan pencahayaan kurang, Cakka masih bisa melihat ada senyum di bibir Shilla. Dan selanjutnya, hanya ada percakapan tingan yang sesungguhnya berarti, diantara mereka.

+++

"Kamu tuh kenapa sih Kka? Aku kurang apa sih buat kamu? Aku turutin apa yang kamu mau. Sebisa mungkin aku berusaha biat gak bikin salah, aku gak ngecewaim kamu. Tapi kenapa sih Kka........" Tanpa sadar, intonasi Shilla semakin meninggi. Tidak menghiraukan pandangan orang-orang yang lewat di jalanan depan rumah Cakka ini.

Dibawah derasnya hujan yang mengguyur. Shilla menarik nafas berat. Air matanya mengalir dan menyatu dengan hujan yang sudah membasahi seluruh tubuhnya. Dan Cakka, hanya mampu diam melihat Shilla mengeluarkan segala emosi yang membebani batinnya. "Aku bahkan benci Kka....kenapa sih aku gak pernah bisa marah sama kamu Kka........?"

Cakka menarik Shilla kedalam pelukannya. Tidak sanggup lagi melihat gadis yang selalu ada untuk dirinya terisak begitu hebat. Bahkan dalam pelukannya pun, tubuh Shilla masih bergetar.

"Maaf Shil.....Maaf......" Cakka mengelus pelan rambut Shilla, yang membuat isakan Shilla semakin hebat.

"Aku cape Kka.............. Cape...... Aku kangen kamu yang dulu....." Rintih Shilla dalam dada Cakka.

Cakka tidak bisa berkata apa-apa. Hanya mampu diam membisu. Karena seribu kata maaf pun tak akan menghilangkan luka yang terpatri di hati wanitanya. Hanya keheninganyang cukup lama yang tercipta diantara mereka berdua. Ditemani dengan guyuran air hujan yang sangat deras. Shilla menikmati hangatnya pelukan dari lelakinya. Takut, bahwa ini adalah pelukan terakhir yang Cakka beri untuknya.

"Hm....Shil... Ngerasa kita kayak di ftv gak, sih?" Kata Cakka yang membuat kepala Shilla mengangkat dan menggelembungkan mulutnya.

"Kamu tuh, ih." Sahut Shilla kesal.

Cakka hanya terkekeh kecil lalu mengelus pelan rambut Shilla. "Masuk, yuk. Ga lucu tau ujan-ujanan kayak gini. Nanti aku kayak cowok-cowok di ftv itu yg menye-menye." Ujar Cakka lalu mearih tangan Shilla untuk menuju rumahnya.

"Kamu tuh, ih. Bukannya minta maaf malah ngalihin pembicaraan. Emang aku udah maafin kamu, gitu?" Kata Shilla kesal. Sedikit tersaruk-saruk mengimbangi langkah Cakka didepannya.

Cakka menoleh, setelah mereka memasuki teras rumah Cakka. "Emang kamu bisa lama-lama marah sama aku?" Shilla menunduk kesal sambil memajukan bibirnya, membuat Cakka tidak tahan untuk sekedar menjawil pipinya.

"Haha, yaudah yuk masuk. Badan kamu basah gitu. Ganti baju dulu aja pake bajunya Nadya. Baru aku anter pulang, ya?" Shilla hanya dapat menuruti apa kata Cakka. Dan Shilla sedikit beruntung karena orang tua Cakka sedang tidak ada dirumah. Karena diam-diam Shilla pun membenarkan apa kata Cakka. Tentang betapa noraknya mereka berdua dibawah hujan.

+++
Tak lama setelah Shilla mengganti bajunya, dengan hasil meminjam baju Nadya, adik Cakka yang hanya berjarak satu tahun dibawah Cakka, mereka berdua kembali duduk di ruang TV rumah Cakka. Dengan secangkir coklat panas dikedua tangan mereka.

Mereka berdua masih membisu, menikmati minuman yang membuat tubuh mereka menghangat. Cakka menyenderkan tubuhnya ke belakang sofa, lalu mengelus puncak kepala Shilla dari belakang pelan, "Aku bener-bener selalu ngecewain kamu, ya?" Tanya Cakka lirih.

Shilla menoleh dan mendapati Cakka sesungguhnya tidak menatap dirinya. Menatap ke satu titik dengan kehampaan. "Emang kamu tau, salah kamu apa?" Ujar Shilla yang langsung menyadarkan alam bawah sadar Cakka.

Cakka menarik tangannya dari kepala Shilla, dan kembali menggenggam cangkir hangatnya, "Kayaknya sih aku tau, gara-gara aku tadi bohong, ya? Bilangnya diem dirumah taunya aku malah pergi ke mall sama Rio Gabriel Sivia. Terus kemarin aku malah balik ngerokok dan gak ngakuin ke kamu." Kata Cakka dengan penuh penyesalan. "Bener?" Lanjutnya, pelan.

Shilla mengubah posisi duduknya, agar dengan mudah bisa memandangi lekuk paras lelaki yang ia puja, "Itu tau, tau aku gak suka kenapa masih dilakuin? Masalah kamu ke mall, aku bukan gak suka. Aku gak suka cara kamu aja yang sampai bohong ke aku. Kamu jujur pun aku gak larang. Mereka kan temen-temen kamu. Kalau masalah rokok, aku kan udah sering bilang ke kamu, Kka, rokok bener-bener bahaya Kka buat kamu. Kamu itu punya penyakit Astma. Masih aja bandel. Kamu juga kan udah janji gak bakalan ngerokok. Bukan buat aku kok, tapi buat kesehatan kamu sendiri, Kka." Ujar Shilla panjang lebar. Ia kemudian tersenyum dan memandang lembut Cakka. "Tuh, kan. Aku tuh kesel. Kenapa gak bisa marah sama kamu." Ujar Shilla sedikit manyun.

Cakka tersenyum lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Shilla yang sedang menunduk, "Karena kamu, sayang sama aku." Lalu mendaratkan kecupan manis di pipi Shilla.

"Tapi jangan gini mulu dong....... Kamu emang gak sayang sama aku?" Kata Shilla setelah berhasil menghilangkan rona merah di pipinya.

"Perlu waktu bertahun-tahun buat ngungkapin betapa aku sayang sama kamu." Jawab Cakka sambil tersenyum miring.

"Gombal terussss." Shilla lalu menyeruput pelan coklat panas yang sudah mendingin itu. Lalu menaruhnya di meja depan sofa itu.

"Suka juga?" Goda Cakka, lalu ikut menaruh cangkirnya. Cakka mencubit cuping hidung Shilla sekilas sebelum menghempaskan punggungnya ke senderan sofa yang empuk itu.

"Kesel ah aku. Kenapa jadi aku yang di godain, sih? Aturan sekarang aku lagi marah-marah, tau!" Shilla kembali mencak-mencak kepada Cakka. Memasang tampang seserius mungkin.

"Aku gak bisa janji apa-apa sama kamu, Shil. Aku gak mau nyakitin kamu dengan jjanji-janji aku. Tapi yang pasti, aku selalu butuh kamu." Kata Cakka lembut sambil mengelus pipi Shilla pelan.

"Tapi jangan diulangi. Jangan pake bohong-bohong segala!" Ujar Shilla kembali tegas. Membuat Cakka tidak kuat untuk sekedar menjawil pipi gadis itu.

***

HAAAAAIIIIII SUDAH BERAPA LAMA AKU GAK BUKA SITE INIIIII ????????????? Semuanya gak lain dan gak bukan karena aku emang udah lamaaaaa banget gak bikin fanfict. And this is it!!!!! Ini ada 2 apa 3 bagian yang bakal aku post pisah2 hihihihih. Lanjutannya pun aku gak mau janji kapan2nya;p;p;p;p Enjoy yah! Oh iya, kenapa masih fanfict icil aja???? Simple kok, aku belum sepinter itu buat nyiptain seorang tokoh:)