Finished : December, 23rd 2010. 1:12 p.m
Sequel from : Aku Tak Pernah Tahu you could click this to go to link that story.
Sambil terus mengaduk hot chocolate caramel ku yang masih tersisa satu per tiga bagian, aku masih menunggu. Menopangkan daguku di atas tangan kiriku yang ditumpuk di atas meja cafe ini. Baru 30 menit, tapi terasa begitu lama. Apa karena aku terlalu menunggunya? Atau...aku terlalu bergemetar untuk menghadapinya?
Tepat saat itu, lonceng pertanda pintu cafe dibuka berbunyi. Aku mendongak, memperhatikan siapa yang datang. Akhirnya dia yang ku tunggu datang.
Aku melambaikan tangan ke arahnya, ketika ia memutar bola matanya ke seliling cafe. Tak lama, ia berjalan mendekat dan duduk di kursi di seberangku.
”Mau apa?” katanya dingin, nada suaranya seperti para pebisnis yang tidak mempunyai banyak waktu.
Aku tersenyum mencemooh. ”Santai. Aku bukan penjahat. Aku tidak akan menyakitimu.” kataku lalu terkekeh. Dia berdecak.
”Aku tidak punya banyak waktu, Shilla.” katanya masih dingin.
Aku terkejut dengan reaksinya. Sebegitu dingin kah dia kepadaku? Atau.... aku menegakkan dudukku. Mencoba untuk serius. ”Oke, kalian sudah berapa lama?” Kulihat dia tampak mengerutkan kening. ”Hei, kamu pikir untuk apa kita bertemu selain untuk membicaran orang itu?” lanjutku.
”Oh, 18 bulan.” jawabnya.
Aku berdeham pelan. ”Aku mau ngomong ini, dari hati ke hati. Dari pandangan sesama wanita.” kataku mencoba sepelan mungkin. Harus begitu, jika semua ingin berjalan seperti rencanaku. ”Kamu cewek, kan? Kayak aku? Kita sama-sama wanita, kan?” tanyaku parau.
”Iya.” jawabnya lemah.
Aku kembali menyenderkan punggungku di kursi, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Mencoba menguatkan lidah ini, meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja, jika aku mengucapkan ini semua. ”Kalau kamu juga perempuan kayak aku, aku harap kamu ngerti perasaan aku. Gimana seandainya kamu ada di posisiaku. Gimana capeknya aku dengan semua ini.”
Dia memandangku dengan tidak percaya. Aku kembali tersenyum. ”Aku Shilla. Aku hanya sebagian kisah masa lalu Riko, Nad. Bukan mantan atau temannya. Cukup aku dan Riko yang tahu. Jangan tanya, kenapa aku tahu semua tentang kamu dan Riko, padahal aku sudah tidak pernah berhubungan dengan Riko selama 5 tahun.” lanjutku. Kembali membiarkan Nadya terus mendengarkan kata-kata yang perlahan terlontar dengan sendirinya dari bibirku.
”Kedatangan aku, permintaan aku untuk ketemu sama kamu. Bukan untuk ngerebut Riko. Percaya, aku gak sejahat itu.” aku tersenyum perih di ujung kalimatku. Berdoa, agar hatiku lebih kuat lagi.
”Lalu untuk apa?” tanya Nadya akhirnya. Dapat kulihat bola matanya menyiratkan berjuta pertanyaan yang akan kubeberkan tanpa dia minta.
”Aku cuma wanita biasa. Wanita yang takdirnya hanya bisa untuk menjadi penunggu. Yang gak bisa bertindak ke lawan jenis sesuka hati kita. Aku cukup bahagia kalau dia bahagia, walau bukan sama atau karena aku.”
Aku mulai merasakan dadaku terhimpit. Membuatku sulit untuk mengambil nafas. ”Aku sadar, mungkin dia gak akan sebahagia saat sama kamu, kalau dia sama aku.”
Aku mengangkat cangkir berisi hot chocolate caramelku yang sudah dingin. Menyesap aromanya yang perlahan dapat mengurangi sesak di dadaku. “Aku tahu aku salah, selama 5 tahun aku masih menunggunya. Tanpa pernah bisa untuk melupakannya. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kali dia tidak hadir dalam setiap mimpiku, kapan dia tidak aku ucapkan dalam untaian doaku.” tepat saat itu, dentingan cangkir beradu dengan tatakannya berbunyi. Nadya memandangku tidak percaya.
“Memang terdengar terlalu aneh, konyol. Tapi percaya, deh, ini memang kenyataan. Dan ini semua aku yang mengalami. Dengan segala rasa lelah yang menimpa aku.” lanjutku, seolah membiarkan Nadya terjebak dalam kebingungannya.
”Aku selalu berharap, aku bisa mengendalikan perasaan ini. Mulai menghapus nama dan segala tentangnya dari ingatanku, dari hati aku.” aku menatap dalam mata Nadya, memaksa Nadya mengerti apa yang aku bicarakan. ”Tapi ternyata gak bisa.”
Aku diam sejenak. Kulihat tangan kiri Nadya terkepal. Apa mungkin dia kesal denganku?
”Kita berdua punya rasa yang sama buat Riko. Menyayanginya. Mencintainya. Entah siapa yang perasaannya lebih besar. Toh, tetap kamu yang Tuhan pilih untuk mendampingi Riko. Dan Riko pun milih kamu, aku terima.” tuturku lagi.
”Mau aku sekangen, sesayang, secinta apapun sama Riko, kamu bakalan tetap nomor satu di hati Riko.” aku kembali tersenyum. Mencoba menguatkan hatiku kembali. Menahan air mata itu agar tidak menyeruak dari sudut mataku.
”Kenapa kamu harus ngomog ini sama aku? Kenapa kamu menceritakan semuanya ke aku?” tanya Nadya, yang aku yakini dengan susah payah ia mengeluarkan suaranya yang tetap saja terdengar serak. Entah mengapa.
”Aku sudah terlalu lemah untuk membagi kisah ini ke siapapun. Bahkan mungkin sahabat-sahabat aku pun udah malas mendengar cerita aku. Dari pada aku cerita ke sahabat aku dengan berjuta air mata, lebih baik langsung aku sampaikan ke kamu. Bukannya lebih bagus?” aku kembali tersenyum, mencoba selembut mungkin.
”Cukup perasaan ini aku simpan dalam hati aku. Aku titip dia, dia cukup baik untuk seorang lelaki di jaman seperti ini. Dia yang masih dan mungkin akan selalu menjadi pengisi hati aku. Disini, aku mendoakan untuk kalian. Agar kalian bahagia. Anggap aku gak pernah ada.”
”Apa kamu benar-benar ikhlas? Kamu sendiri, lho, yang bilang, kita sama-sama wanita. Kalau aku ada di posisi kamu mungkin aku gak akan sesabar kamu. Memang terkesan egois.” kata Nadya pelan seraya membuang pandangannya ke luar cafe melalui jkaca yang ada di sisi kanan kami. Memperhatikan perubahan warna langit menjadi oranye.
”Aku gak mau egois, karena cinta bukan untuk keegoisan. Dan aku percaya, semua harus didasari dengan keikhlasan.” aku tersenyum. Ikut memandang keluar jendela. Merasakan kedamaian yang terpancar dari semburat langit jingga.
”Mau sedalam apapun perasaan aku jika tidak ada keikhlasan di dalamnya, semua akan terasa sia-sia.” lanjutku, kembali menoleh ke arahnya. Tepat saat itu, ia juga menoleh ke arahku. Aku kembali tersenyum. Meminta perhatian kepadanya.
Aku merogoh tasku, mengambil selembar amplop berwarna biru laut. Menyodorkannya ke arah Nadya. Dengan dahi berkerut, Nadya menerima amplop itu. ”Buat Riko. Dari aku. Bukan apa-apa. Bahkan kamu berhak untuk membaca itu.” kataku tenang. Kerutan di dahi Nadya belum menghilang. Aku merasa bersalah. ”Maaf.”
Nadya akhirnya tersenyum maklum seraya menggelengkan kepala. ”Nope. Aku salut sama kamu. Masih ada cewek sesabar kamu di dunia ini. Surat ini akan berada di tangan Riko dengan mulus.”
”Bukan cuma aku, banyak cewek diluar sana yang senasib denganku. Hanya saja, mereka mungkin belum bisa mencoba untuk lebih ikhlas dan berani. Bytheway, thanks a bunch.”
Nadya mengangguk, memasukan surat itu ke dalam tasnya. “Oke, sudah selesai, kan? aku pamit. Terimakasih untuk hari ini. Hari yang gak pernah aku lupain. Goodbye, heroine.” kata Nadya, lalu berdiri. Dan setelah aku mengangguk seraya tersenyum, Nadya berbalik. Meninggalkan cafe ini. Meninggalkan aku yang masih duduk sendiri disini. Menahan setiap getir yang terasa di ulu hati.
Aku tesenyum. Kali ini, tak ada lagi pertahanan, semua air mata itu tumpah di sela senyum kepedihanku. Aku harap, semua yang aku katakan pada Nadya, dapat kulaksanakan dengan baik.
~
Dear Riko.
Lelaki yang masih dan akan selalu menempati ruang khusus di hati aku. Lelaki yang namanya selalu terselip dalam untaian doa yang aku panjatkan. Lelaki yang wajahnya selalu hadir dalam mimpi malamku. Lelaki yang mampu membuat bulu kudukku meremang dan darahku berdesir hebat, juga jantungku yang berpacu tannpa aturan. Lelaki yang menjadi bagian dari kenangan hidupku. Lelaki yang senyumnya selalu aku rindukan. Lelaki yang cintanya masih aku nantikan.
Memang konyol. Aku memang bodoh. Tapi apakah kau tahu? Aku sediri muak dengan semuanya. Aku hanya dapat membiarkan ini semua mengalir apa adanya. Entah kepada siapa aku mengadu, toh semua tak akan berubah. Tuhan sudah memilih jalan takdir untukku seperti ini. Kali ini, aku tinggal ikhlas menjalaninya, dan percaya, bahwa semua memang yang terbaik.
Jangan anggap aku gak ada. Eh...bukankah begitu? Terserah. Aku disini selalu berdoa untuk kamu. Agar siapapun yang sekarang sedang mendampingi kamu, dapat membahagiakan kamu. Agar kamu selalu bahagia disana. Bukan seperti aku. Aku sadar, sebanyak apapun air mata yang keluar, itu takkan merubah semuanya. Jadi, aku lebih mencoba untuk ikhlas. Menoca untuk menerima semuanya.
Sekali lagi, maaf. Aku seperti wanita yang tidak punya harga diri. Bukan itu maksudku, aku hanya ingin mengungkapkan segalanya. Berharap, jalan yang kupilih ini memang yang terbaik. Karena aku sadar, sebanyak apapun air mata yang tumpah, toh ini semua sudah terjadi. Menjadi kepingan kisah masa laluku. Dan kini, aku harus menjunjung masa depanku.
Pernah baca buku Love, Stargirl karangan Jerry Spinelli tidak? Ada kata-kata dari percakapan Betty Lou bersama Stargirl yang sangat aku sukai, ”Ya, nikmati hari ini. Cukup hari ini. Bukan hari kemarin atau hari esok. Jalani setiap momennya. Jangan sia-siakan untuk besok. Tahukah kau apa yang terjadi kalau kau menghabiskan satu momen dengan bertanya-tanya apa yang akan terjadi kelak antara kau dan dia? Kau akan kehilangan hari ini. Hari ini memanggil-manggilmu, mencoba mendapatkan perhatianmu, tapi kau terpaku pada hari esok dan hari ini pun berlalu tetes demi tetes seperti air dalam talang. Besok paginya kau bangun dan hari ini yang kau buang percuma sudah berlalu selamanya. Sudah menjadi hari kemarin. Beberapa momen yang mungkin menyimpan hal-hal menakjubkan untukmu, namun sekarang kau takkan pernah tahu itu.”
Jadi, setelah membaca kalimat itu. Aku memutuskan untuk menjalani segalanya dengan senyuman. Mencoba menikmati setiap hari yang sedang aku jalani. Seberapa berat cobaan yang ada. Aku harus ikhlas.
Setelah ku baca ulang, mengapa menjadi begitu konyol dan mungkin akan membuang-buang waktumu. Tapi, entahlah. Terimakasih telah menyempatkan untuk membaca suartku ini. Sebenarnya aku mengharapkan balasannya. Tapi aku tidak memaksa. Kau mau membacanya pun aku sudah sangat senang dan beribu-ribu terimakasih akan kupanjatkan.
Ashilla.
Wanita bodoh yang masih menyayangimu.
~
Dear Shilla,
Terimakasih engkau masih menyayangiku dengan sepenuh hatimu. Terimakasih masih terus menunggu aku. Terimakasih masih terus menanti aku. Terimakasih masih selalu mendoakan aku.
Aku bangga pernah mengenalmu. Rasa kecewa kepadamu seakan terhapus dengan segala ketulusan yang kau berikan. Aku telah membaca suratmu. Aku sangat tersentuh. Aku tidak menyangka, masih ada wanita sepertimu.
Aku hanya ingin mengatakan, aku tidak sebaik itu. Aku bukan lelaki yang pantas untuk terus kau sayangi. Aku bahkan telah terlalu sering manyakiti hatimu, walau diluar kesadaranku karena aku tak pernah tahu perasaanmu kepadaku sampai saat ini.
Diluar sana, masih banyak lelaki yang lebih baik. Lelaki yang lebih pantas untuk menempati ruang spesial di hatimu. Bukan aku. Kau tahu, kan? Aku dan Nadya sudah bertunangan. Dan dia, akan menjadi pendamping hidupku. Dia yang sepenuhnya menempati ruang hatiku. Tak ada sedikit pun celah yang bisa untuk kau singgahi.
Dan sepertinya, itu sangat tidak setimpal dengan apa yang kau rasakan kepadaku. Buka matamu lebar-lebar. Kau cantik. Baik. Menarik. Tulus. Pintar. Kau wanita karier yang sukses. Apa lagi yang kurang darimu? Mungkin seluruh lelaki -yang belum berpasangan, kecuali dia kurang ajar- akan tertarik padamu. Tolong, lupakan aku.
Bukan aku tak menghargai apa yang kau rasakan kepadaku. Aku sangat berterimakasih. Jalan hidupmu masih panjang. Kau tak mungkin terus termangu menungguku, kan? Hidupmu indah, Shil. Aku tahu itu. Tuhan punya berbagai rencana indah untuk wanita yang mempunyai hati selembut kamu.
Aku tidak memaksa untuk secepatnya. Aku tidak masalah sampai kapan kau akan terus menyayangiku seperti saat ini. Tapi aku harap, akan segera berakhir. Seperti yang aku bilang tadi. Hidup masih panjang.
Kenangan kita. Semua yang kita rajut bersama, cukup kita simpan dalam hati. Dikotak rahasia di sudut hati terdalam. Tanpa boleh dibuka sedikitpun. Mungkin cerita kita bisa kita jadikan dongeng untuk cucu-cucu kita kelak. Kita hanya masa lalu. Dan tak mungkin kembali terjadi. Aku harap kamu mengerti. Aku harap kata-kataku tidak ada yang menyinggung perasaanmu.
Riko
Lelaki di masa lalumu.
~
Aku sesungguhnya tahu apa yang Riko katakan dalam surat itu seratus persen benar. Tapi ternyata tidak semudah itu. Bahkan kata-kata yang aku katakan pada Nadya beberapa bulan lalu harus memerlukan tenaga ekstra untuk benar-benar ikhlas menjalaninya.
Sambil memegang gelas berisi jus jeruk dingin, aku terus menatap kedua mempelai di atas sana. Terus bersalaman dengan para tamu yang datang. Pesta pernikahan Riko dan Nadya berlangsung meriah. Aku menyenderkan punggungku di tembok sudut ruangan gedung. Berusaha menarik nafas dengan segala kendala yang ada. Sambil memejamkan mata, aku berdoa pada Tuhan, agar aku kuat. Agar tak ada air mata kesedihan yang tumpah disaat hari bahagianya. Hari yang menjadi sejarah kisah cintanya. Yang harus aku lakukan hanya satu, ikhlas dan lebih tulus.
”Kepada Mba Ashilla zahrantiara, dimohon untuk melakukan sesi foto bersama kedua mempelai.” suara MC itu bergaung, menyadarkan lamunanku. Seraya mengelap sudut mata, aku berjalan menuju kedua pengantin itu. Setelah sebelumnya menaruh asal gelas yang tadi kupegang. Berusaha dalam hati agar senyum ini benar-benar tulus. Nadya dan Riko menyambutku dengan senyum sumringah. Kami berfoto dengan aku di tengah mereka. Cukup menyenangkan. Seperti yang aku bilang, aku cukup bahagia jika dia bahagia, walau bukan dengan aku. Karena dia belum tentu sebahagia dengannya, jika bersama aku.
*
Galau oh galau. Hidup galau---_____-” kalau ada yang follow twitter aku, pasti taudeh. Kata-katanya yang selasa sore aku tweets. Sebenarnya itu bukan buat cerpen. Cuma selingan. Tapi ya ternyata ide galaunya muncul. Haha. Lagian gak pernah ada niat buat ngelanjutin cerpen Aku Tak Pernah Tahu. Karena kelanjutan kisah ’shilla’ pun belum jelas hihi. Makasih yah udah mau baca. Komentar dan kritik dan saran dan segalanya selalu aku tunggu.
Peaceloveandgaul
@dhitals