“Aku gak
pernah minta apa-apa sama kamu. Aku ngebebasin kamu. Toh aku juga sadar,
mungkin emang cuma aku yang pengen kamu tetep
sama aku, cuma aku yang pengen kita terus bareng. Bukannya dari awal cuma aku, kan, yang berusaha buat
deketin kamu? Berusaha biar kita bisa balik kayak dulu?
“Tapi gak
begini caranya. Aku cuma minta kamu selalu jujur sama
aku. Kamu keluarin semua unek-unek kamu sama aku. Aku ingin kamu nyaman sama
aku. Aku gak mau kamu terbebani sama status kita. Aku gak mau aku cuma di jadiin status tanpa
pembuktian.
“Kamu kenapa, sih? Kamu lagi ada masalah? Kamu udah bosen? Atau
jangan-jangan dari awal kamu emang terpaksa balik sama aku? Karena kamu cuma kasihan sama aku, gitu? Aku gak mau kayak gini.”
Di luar,
hujan dengan derasnya masih saja turun. Gemuruh petir ikut mengiringi, menambah suramnya malam ini. Shilla hanya dapat meringis, dada yang semakin sesak ini tak dapat
berkurang himpitannya hanya dengan helaan nafas saja.
“Iya aku tau,
mungkin kamu butuh privacy yang gak
bisa kamu kasih tahu ke aku, tapi gak sampai kamu berubah 360 derajat gini,
kan? Aku minta maaf sama kamu kalau emang aku ada salah. Kalau emang kamu udah
gak mau sama aku. Maaf. Aku cuma pengen kamu seneng deket aku.
Maaf, a-“
Bahkan untuk
sekedar menatap wajah Shilla saja, lelaki
yang sudah memutuskan mau menjalin kembali hubungannya dengan Shilla yang
sudah berjalan 7 bulan ini, enggan.
Masih terus saja meremas setir mobilnya. Itu jauh lebih baik dari sekedar
menatap wajahku, begitu, kan? Batin Shilla sarkatis.
“Kka….please.
Kamu denger, kan?” dengan berani, Shilla mulai mengulur tangannya, meraih sebelah tangan Cakka yang terkulai di paha pemiliknya. Meremasnya, menyadarkan alam
sadarnya bahwa ia tidak sendiri disini. Di dalam mobil yang diparkir tepat di
halaman rumah Shilla.
Cakka hanya menghela nafas, menarik tangannya lalu tersenyum mencemooh, “Keluar dari mobil gue!” serunya tertahan. Sepertinya masih banyak emosi yang tersulut, dan dengan
susah payah ia tahan. Tetapi tetap saja membuat dada Shilla semakin sesak bukan main.
“Gak denger
apa kata gue?” Cakka menoleh
sesaat ke arah Shilla, sebelum
menatap kedepan lagi dengan kilatan amarah dimatanya,
“Keluar!!!!!”
Dan saat itu
juga, Shilla hanya bisa menuruti apa yang di ucapkan Cakka. Membuka
pintu, dan segera berlari menuju rumah, setelah sebelumnya membanting pintu mobil dengan sekuat tenaga. Berharap air mata yang sedari tadi sudah Shilla tahan, segera menetes, agar bisa mengurangi degupan jantung yang tidak beraturan. Yang ada di otaknya saat ini, hanya menumui bundanya dan menganulir jawabannya
siang tadi.
###
Kehampaan mengiringi langkah Cakka sampai tiba berada di teras rumah Sivia.
Sahabat karibnya dan juga Shilla. Cakka tidak tahu lagi harus bertanya kepada
siapa. Karena semua tanya yang sudah dia ajukan hanya mendapatkan nihil.
Cakka memencet bel pelan sambil menunggu tidak sabar. Berharap langkah
terakhir yang ia tempuh ini, mendapatkan jawab yang memuaskan.
Sivia nampak sedikit terkejut melihat kehadiran Cakka di depan rumahnya. Ia
sedikit tersenyum, tetapi mencemooh. Seperti meledek Cakka, bahwa Cakka adalah lelaki paling bodoh yang pernah ia temui. Sambil
berjalan menuju bangku di terasnya, Sivia bertanya, “Ngapain kesini?”
lalu menghempaskan tubuhnya disana.
Cakka mengikuti gerakan Sivia lambat dan ikut duduk di bangku sebelah
Sivia, “Gue udah gak tau lagi harus nanya ke siapa, dimana Shilla sekarang.
Cuma elo yang gue harapkan saat ini, Vi,” ujarnya pelan sebelum membuang pandangan ke teras rumah Sivia yang
dihiasi bunga-bunga cantik.
“Lo bahkan gak tau Shilla pindah ke Solo? Lo yakin, lo beneran pacar dari
seorang Shilla?” Sivia terlihat mengernyitkan dahinya lalu berdecak pelan. Ia
memperhatikan raut wajah Cakka yang tiba-tiba penuh tanya. “Shilla pindah ke
Solo ngikutin permintaan bunda sama ayahnya. Ayahnya pindah tugas kesana, sebenernya
udah dari minggu lalu. Kayaknya sih pas kemaren dia nemuin lo itu,
dia mau cerita soal ini. Tapi gak tau deh gue kalau lo sampe belum tau gini.”
Ada jeda sejenak seusai Sivia menandaskan ucapannya. Cakka masih terlihat
sangat kaget mendengar pernyataan yang dilontarkan Sivia. Entah apa yang harus
ia lakukan. Dan ia merasa benar-benar bukan lelaki yang patut untuk dicintai
seperti sebelum ini. “Makasih ya, Vi. Gue pamit,” ucap Cakka akhirnya. Ia
tersenyum kecil kepada Sivia lalu berjalan menuju Juke Hitam nya.
“Kalo lo emang bener sayang sama dia, harusnya lo kejar dia. Atau
setidaknya lo minta maaf. Jangan bikin diri lo nyesel nantinya, Kka. Gue gak
tau ini karma atau bukan buat lo. Tapi gue rasa, Shilla memang terlalu baik
buat cowok macem elo,” Ucapan Sivia seketika menghentikan langkah Cakka. Ia
tidak berani membalikan tubuhnya. Hanya diam membeku dan membenarkan apa yang
baru saja Sivia ucapkan. Tak lama, terdengar suara pintu ditutup. Dan Cakka kembali
berjalan menuju mobilnya, sambil berpikir keras apa yang akan ia lakukan setelah ini semua terjadi. Ini terlalu tiba-tiba.
###
Dan potongan serta kepingan masa lalu seperti film yang sengaja diputar.
Sengaja untuk mencemooh Cakka untuk terus merenungkan perbuatannya di masa lalu. Membuat rasa sesal dalam hati Cakka benar-benar tidak ada ampun.
***
"Kamu
dimana?" Tanya Cakka tidak sabar. Shilla yang sedari tadi hanya memotong
acak choco truffle di hadapannya, menghela napas panjang.
"Kenapa
emang?" Jawabnya ketus, masih untung dia mau mengangkat panggilan dari
lelaki yang berlabel kekasihnya itu.
"Ujan
besar Shil di luar. Kamu dimana?" Ujar Cakka dengan kesabaran yang
dimilikinya. Setengah hatinya resah dan menyesal tidak menahan gadis itu untuk
tetap di mobilnya.
Ada jeda
sejenak yang menghampiri mereka berdua. Sesaat, Shilla tak juga menjawab. Hanya
diam. Membuat Cakka semakin tidak sabar.
"Apa
peduli kamu,” Shilla mulai terisak pelan. Dadanya semakin terhimpit. Lelah yang
menerjang dadanya sudah tidak dapat ditahannya.
"Kamu
dimana, sayang?" Sesungguhnya Cakka mengkhawatirkan wanita yang entah
berada dimana.
"Kamu sendiri dimana?"
Shilla melahap choco truffle-nya yang sudah tidak terbentuk. Suasana cafe yang sedang dia kunjungi ini untungnya tidak terlalu ramai.
Dia yang memilih duduk di pojok utara cafe merasa beruntung. Tak ada yang
melihatnya mengurai air mata di tempat umum.
"Aku di rumah
kamu. Sama Ibu kamu,” Cakka masih bisa menahan kesabarannya. Dia memandang
keluar halaman. Hujan dengan derasnya turun membasahi bumi. Sudah hampir 2 jam.
Sama seperti ketika Shilla turun dari mobilnya.
"Pulang
ya, aku sama ibu kamu bener-bener khawatir Shil,” Cakka sudah mulai putus asa.
Rasa bersalah dan penyesalan tiba-tiba menggerogoti sukmanya. Ibu dari
kekasihnya, yang sedari tadi duduk di sofa sebrangnya, tampak gusar.
"Aku.....aku
kan........gak bawa dompet. Tadi kan cuma nyisa uang 20 ribu di saku
celana aku. Tas aku ketinggalan kan....”
Dueng
Cakka
menghela nafas lega sekaligus geli. Dia sedikit kerkekeh kemudian bertanya,
"Yaudah kamu dimana sekarang?"
"Di
rumah coklat,” Jawab Shilla. Merasa pipinya sudah merah merona. Inilah akibat
dari kecerobohannya. Niatnya mau menghilang seharian, eh tas nya malah tertinggal di Juke Hitam Cakka.
"Yaudah
tunggu ya. Aku kesana.”
Dan sambungan
telepon pun terputus. Hanya 30 menit, Cakka sudah tiba di depan Rumah Coklat.
Dia memarkirkan mobilnya ke tempat yang sebisa mungkin tidak terkena hujan.
Dengan cekatan, ia mengeluarkan payung dan berjalan menuju
teras Rumah Coklat. Dan Shilla sudah ada disana, menunduk malu
sambil memandangnya. Cakka tidak tahan untuk tidak mencubit cuping hidung gadis
itu.
"Kalo
mau kabur, jangan ceroboh,” Ujar Cakka geli. Shilla
cemberut dan diam saja ketika akhirnya Cakka menggandeng tangannya.
Membimbingnya menuju kursi penumpang.
Harum
maskulin Cakka bercampur air hujan memenuhi oksigen di mobil. Shilla
sempat terpana ketika Cakka menggoyang-goyangkan kepalanya yang terkena sedikit
tetesan air hujan. Lelaki itu memiliki kharisma tersendiri. Kharisma yang mampu
mengikat hati Shilla dan membuatnya mencintai Cakka setengah mati.
"Kamu
tuh unik banget sih,” Ujar Cakka, seraya menyeringai kearahnya. Lalu mulai men-stater
mobil yang dia kendarai dan melajukannya memasuki jalan
raya. Menuju komplek perumahan Shilla.
"Tau ah.
Kamu diem ih, ngeselin. Ledekin aja terus,” Shilla merengut kesal. Sekaligus
malu. Dia memalingkan wajah ke jendela. Memerhatikan air hujan yang mengalir
disana.
"Iya
iya, maaf deh. Aku tau aku salah. Sampai kamu tadi keluar gitu aja dari mobil,
yang bukan kamu banget. Pasti kesalahan yang aku bikin emang parah banget.
Terus tadi juga aku bukannya nyegah kamu. Maaf ya,” Shilla menoleh dan saat
itu, Cakka juga sedang memandangnya. Lampu lalu lintas sedang berwarna merah.
Cakka meraih kepala Shilla dan mengelusnya pelan. "Kamu tau gak? Aku
khawatir banget. Belum pernah aku khawatir kaya tadi tau,” Cakka melepas
tangannya, mengoper porsneling. Lalu mulai melajukan kembali mobilnya karena
saat itu, lampu lalu lintas sudah berubah warna.
Shilla sempat
terpana sesaat, tetapi kemudian kembali kesal. Kesal kepada dirinya yang mudah
luluh oleh buaian kalimat lelaki berkulit putih yang sedang duduk di belakang
kemudi.
"Kamu
tau gak? Aku cape banget loh nungguin kamu tadi. Hampir 3 jam. Tapi kamu udah
sering sih kayak gitu, biasa aja ya, Kka,” Shilla tersenyum sinis kearah Cakka
yang menyebabkan wajahnya mendadak kaku. Cakka menghela nafas berat. Terus
memandang lurus ke depan. Berusaha berkonsentrasi pada jalanan Jakarta yang
macet itu.
"Aku
cape Kka, cape.........,” Shilla menghela nafas letih. Percakapan serupa.
Percakapan yang ia benci. Percakapan yang membuat ia memaksa turun di tengah jalan seperti tadi.
"Aku kan udah minta maaf Shil,” Cakka terdengar agak emosi. Tidak ada alasan yang bertele-tela mengapa ia telat 3
jam menemui Shilla untuk memenuhi janjinya menonton film terbaru yang
sangat booming itu. Ia benar-benar lupa.
"Yaudah
lah, lupain aja,” Sambil membuang wajah ke jendela di sisi kirinya. Berusaha
menahan segala amarah yang sudah membuncah di hatinya. Bukankah dia, yang dari
awal sudah meminta bahwa Cakka bersedia untuk menemani harinya saja, seharusnya
ia sudah bersyukur? Tapi tidak seperti ini juga.....tambah Shilla dalam hati.
Semakin tidak mengerti dengan drama yang Tuhan beri kepadanya.
Laju mobil
Cakka berhenti. Ternyata sudah tiba di depan rumah Shilla. Tanpa basa basi
Shilla langsung keluar dan membanting pintu mobil sekuat tenaga, lalu berlari menuju gerbang kayu kokoh yang berada di depan
rumahnya. Tak peduli dengan derasnya hujan yang sudah mengguyur tubuhnya. Di saat yang sama, terdengar pintu mobil terbuka, dan seketika, Cakka sudah
memeluknya dari belakang. Shilla diam. Tidak mengerti -lagi-lagi- racauan dari
hati dan otaknya. Tuhan.....kuatkan aku..... ujarnya dalam hati.
"Maaf
Shil, maaf.....,” Dan Shilla dapat merasakan Cakka mengecup puncak kepalanya.
Lalu meninggalkannya dengan kehampaan. Shilla meneteskan air matanya yang
terkamuflase air hujan yang sudah ada disana sebelumnya.
Shilla benci
dengan wangi maskulin lelaki itu. Shilla benci tatapan mematikan lelaki yang
setengah mati ia puja. Shilla benci mencintai lelaki yang menempati ruang
hatinya.
Shilla
berlari. Tidak menghiraukan ucapan Bundanya yang sudah menunggunya sedari tadi.
Yang masih duduk khawatir menanti dirinya kembali. Yang ingin ia lakukan
sekarang hanya tidur.
***
From : Cakka
Km mungkin gaakan percaya kl aku blg aku nyesel dan ngerasa
bersalah. Km mungkin gaakan percaya lg sm aku. Tp aku bener2
nyesel. Aku minta maaf. Aku bener2 minta maaf. Aku gajanji aku gabakal
ngulangin itu lg. Aku gaberani janji apa2 sama km Shil, aku bahkan gaberani janji bakalan ada selalu buat km. Maaf. Aku cm takut gabisa
nepatinnya. Maaf.............Tp km bisa
dtg ke cafe tempat aku manggung biasa? Jam 7 nanti? Aku sayang kamu
Shil.
***
Setelah
mengalami pergolakan batin sebelumnya, Shilla akhirnya memutuskan untuk datang
memenuhi permintaan Cakka. Setidaknya, dia tidak sejahat Cakka yang bisa saja
mengacuhkan permintaannya. Dan sekali lagi, entah untuk berapa kali di hari
ini, ia tersenyum getir.
Shilla duduk
di salah satu sudut cafe. Tidak begitu yakin Cakka akan menemukan keberadaannya.
Suasana lampu cafe yang agak remang-remang, dan juga banyaknya pengunjung yang
ternyata sengaja datang untuk melihat penampilan band Cakka, menambah
tersudutnya keberadaan Shilla untuk dilihat.
Shilla
mengaduk-aduk Choco Crumble nya dan menghirupnya pelan. Merasa sedikit bodoh
mengapa akhirnya dia memutuskan untuk datang kesini. Memenuhi permintaan Cakka.
Dan tak lama, Shilla dapat melihat Cakka bersama gitar di tangannya dan juga rekan satu bandnya, berada di atas panggung.
Shilla hanya
memandang ke panggung secara acuk tak acuh. Ternyata dari posisi duduknya saat
ini, sangat jelas untuk memandang ke arah Cakka berdiri. Dan di sana, dengan
auranya tersendiri, Cakka dan band nya mulai memasuk intro sebuah lagu secara
akustik, dan Shilla tidak bisa menampik, bahwa lelakinya tampak begitu menawan
di balik kemeja berwarna hitam yang lengannya ia gulung hingga siku. Ditambah
penerangan yang redup di Cafe ini, seperti... Cakka memiliki aura sendiri
sehingga, Shilla bahkan bisa melihat dengan jelas bagaimana Cakka membawakan
lagunya. Dan Shilla tahu, lagu Apologize dari Timbaland yang Cakka bersama
bandnya bawakan itu, cukup menyentuh hatinya.
Tak lama,
lagu usai dibawakan. Dan ternyata Cakka langsung turun dari panggung dan
menghampirinya. Sebetulnya, ada suatu harapan, bahwa Cakka akan meminta maaf
kepadanya dari panggung sana. Dan ternyata mengingat harapan itu, membuatnya
menggeleng-geleng kepada sendiri. Merasa norak dengan pikirannya
barusan.
Cakka menarik
pelan kursi di hadapan Shilla dan menghempaskan pelan tubuhnya disana. Sempat beberapa
lirikan dari sekitar yang mengikuti
gerak geriknya. Tapi hanya ada Shilla yang kini masih berkecamuk dalam otaknya.
"Kamu........masih
marah?" Tanya Cakka pelan. Dia dapat melihat jelas kilatan kesedihan
terpancar dari bola bening wanita pemilik hatinya.
Shilla
menyesap pelan Choco Crumble-nya, lalu mengaduknya lagi, sebelum akhirnya
menjawab, "Menurut kamu?"
"A......aku
gatau lagi harus gimana Shil.. Tadi itu...gak cukup ya?" Sahut Cakka masih
tampak berusaha. Karena dia tahu diri, bahwa luka yang dia goreskan di hati
wanitanya, bukan sembarang luka. Dan dia menyadari, dia sangat sering melukai
hati wanita itu.
"Udah
lah Kka, aku udah gak mau bahas itu.
Seperti biasa dan akan selalu Kka, Pintu maaf aku terbuka lebar buat kamu. Separah
apapun luka yang udah kamu toreh disana,” Shilla memandang dalam mata Cakka,
meminta perhatian dan pengertian, bahwa ucapannya tidak main-main.
Dan Cakka
merasa semakin bersalah. Wanita ini, terlalu mulia untuk ia sakiti. Cakka
bergerak meraih jemari Shilla dan menggenggamnya lembut. Walau di tempat dengan
pencahayaan kurang, Cakka masih bisa melihat ada senyum di bibir Shilla. Dan selanjutnya, hanya ada
percakapan ringan yang sesungguhnya berarti diantara mereka.
***
"Kamu
tuh kenapa sih Kka? Aku kurang apa sih buat kamu? Aku turutin apa yang kamu
mau. Sebisa mungkin aku berusaha biar gak bikin salah, aku gak
ngecewaim kamu. Tapi kenapa sih Kka.......,” Tanpa sadar, intonasi Shilla
semakin meninggi. Merasa beruntung dengan keadaan perumahan
Cakka ini selalu sepi.
Di bawah
derasnya hujan yang mengguyur. Shilla
menarik nafas berat. Air matanya mengalir dan terkamuflase dengan hujan
yang sudah membasahi seluruh tubuhnya.
Cakka hanya mampu diam melihat Shilla mengeluarkan segala emosi yang
membebani batinnya. "Aku bahkan benci Kka....kenapa sih aku gak pernah
bisa marah sama kamu Kka........?"
Cakka menarik
Shilla kedalam pelukannya. Tidak sanggup lagi melihat gadis
yang selalu ada untuk dirinya terisak begitu hebat. Bahkan dalam pelukannya pun, tubuh Shilla
masih bergetar.
"Maaf
Shil.....Maaf.....,” Cakka mengelus pelan rambut Shilla, yang membuat isakan
Shilla semakin hebat.
"Aku
cape Kka.............. Cape...... Aku kangen kamu yang dulu....,” Rintih Shilla
dalam dada Cakka.
Cakka tidak
bisa berkata apa-apa. Hanya mampu diam membisu. Karena seribu kata maaf pun tak
akan menghilangkan luka yang terpatri di hati wanitanya. Hanya keheningan yang cukup lama yang tercipta diantara mereka
berdua. Ditemani dengan guyuran air hujan yang sangat deras. Shilla menikmati hangatnya pelukan dari lelakinya. Takut, bahwa ini adalah
pelukan terakhir yang Cakka beri untuknya.
"Hm....Shil...
Ngerasa kita kayak di ftv gak, sih?" Kata Cakka yang membuat kepala Shilla
mengangkat dan menggelembungkan mulutnya.
"Kamu
tuh, ih,” Sahut Shilla kesal.
Cakka hanya
terkekeh kecil lalu mengelus pelan rambut Shilla. "Masuk, yuk. Ga lucu tau
ujan-ujanan kayak gini. Nanti aku kayak cowok-cowok di ftv itu yg menye-menye,”
Ujar Cakka lalu meraih tangan Shilla untuk menuju
rumahnya.
"Kamu
tuh, ih. Bukannya minta maaf malah ngalihin pembicaraan. Emang aku udah maafin
kamu, gitu?" Kata Shilla kesal. Sedikit tersaruk-saruk mengimbangi langkah
Cakka di depannya.
Cakka
menoleh, setelah mereka memasuki teras rumah Cakka. "Emang kamu bisa
lama-lama marah sama aku?" Shilla menunduk kesal sambil memajukan
bibirnya, membuat Cakka tidak tahan untuk sekedar menjawil pipinya.
"Haha,
yaudah yuk masuk. Badan kamu basah gitu. Ganti baju dulu aja pake bajunya
Nadya. Baru aku anter pulang, ya?" Shilla hanya dapat menuruti apa kata
Cakka. Dan Shilla sedikit beruntung karena orang tua Cakka sedang tidak ada di rumah.
Karena diam-diam Shilla pun membenarkan apa kata Cakka. Tentang betapa noraknya
mereka berdua di bawah hujan.
+++
Tak lama
setelah Shilla mengganti bajunya, dengan hasil meminjam baju Nadya, adik Cakka
yang hanya berjarak satu tahun di bawah Cakka, mereka berdua kembali duduk di
ruang TV rumah Cakka. Dengan secangkir coklat panas di kedua tangan mereka.
Mereka berdua
masih membisu, menikmati minuman yang membuat tubuh mereka menghangat. Cakka menyenderkan tubuhnya ke belakang sofa,
lalu mengelus puncak kepala Shilla dari belakang pelan, "Aku bener-bener
selalu ngecewain kamu, ya?" Tanya Cakka lirih.
Shilla
menoleh dan mendapati Cakka sesungguhnya tidak menatap dirinya. Menatap ke satu
titik dengan kehampaan. "Emang kamu tau, salah kamu
apa?" Ujar Shilla yang langsung menyadarkan alam bawah sadar Cakka.
Cakka menarik
tangannya dari kepala Shilla, dan kembali menggenggam cangkir hangatnya,
"Kayaknya sih aku tau, gara-gara aku tadi bohong, ya? Bilangnya diem
dirumah taunya aku malah pergi ke mall sama Rio Gabriel Sivia. Terus kemarin
aku malah balik ngerokok dan gak ngakuin ke kamu,” Kata Cakka dengan penuh
penyesalan. "Bener?" Lanjutnya, pelan.
Shilla
mengubah posisi duduknya, agar dengan mudah bisa memandangi lekuk paras lelaki
yang ia puja, "Itu tau, tau aku gak suka kenapa masih dilakuin? Masalah
kamu ke mall, aku bukan gak suka. Aku gak suka cara kamu aja yang sampai bohong
ke aku. Kamu jujur pun aku gak larang. Mereka kan temen-temen kamu. Kalau
masalah rokok, aku kan udah sering bilang ke kamu, Kka, rokok bener-bener
bahaya Kka buat kamu. Kamu itu punya penyakit Astma. Masih aja bandel. Kamu juga
kan udah janji gak bakalan ngerokok. Bukan buat aku kok, tapi buat kesehatan
kamu sendiri, Kka,” Ujar Shilla panjang lebar. Ia kemudian tersenyum dan
memandang lembut Cakka. "Tuh, kan. Aku tuh kesel. Kenapa gak bisa marah
sama kamu,” Lanjut Shilla sedikit manyun.
Cakka
tersenyum lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Shilla yang sedang menunduk,
"Karena kamu, sayang sama aku,” Lalu mendaratkan kecupan manis di pipi
Shilla.
"Tapi
jangan gini mulu dong....... Kamu emang gak sayang sama aku?" Kata Shilla
setelah berhasil menghilangkan rona merah di pipinya.
"Perlu
waktu bertahun-tahun buat ngungkapin betapa aku sayang sama kamu,” Jawab Cakka
sambil tersenyum miring.
"Gombal
terussss,” Shilla lalu menyeruput pelan coklat panas yang sudah mendingin itu.
Lalu menaruhnya di meja depan sofa.
"Suka
juga?" Goda Cakka, lalu ikut menaruh cangkirnya. Cakka mencubit cuping
hidung Shilla sekilas sebelum menghempaskan punggungnya ke senderan sofa yang
empuk itu.
"Kesel
ah aku. Kenapa jadi aku yang di godain, sih? Aturan sekarang aku lagi
marah-marah, tau!" Shilla kembali mencak-mencak kepada Cakka. Memasang
tampang seserius mungkin.
"Aku gak
bisa janji apa-apa sama kamu, Shil. Aku gak mau nyakitin kamu dengan janji-janji
aku. Tapi yang pasti, aku selalu butuh kamu,” Kata Cakka lembut sambil mengelus
pipi Shilla pelan.
"Tapi
jangan diulangi. Jangan pake bohong-bohong segala!" Ujar Shilla kembali
tegas. Membuat Cakka tidak kuat untuk sekedar menjawil pipi gadis itu.
***
“Ck,”
Shilla berdecak sambil mengembalikan posel Blackberry
teranyar milik Cakka kepada pamiliknya. Di rumah Shilla hanya ada Shilla dan Bi Ijah.
Bunda dan Ayahnya sedang mengunjungi neneknya di Bogor sana.
“Kenapa,
sih?” tanya Cakka heran seraya merubah-rubah acara TV di hadapannya.
“Chat
dari Ify bahkan kamu bales lebih dulu ya dari pada Chat aku,” ujar Shilla
sedikit kesal. Mendekap bantal kursi ke dada. Berharap sesak yang memenuhi
rongga paru-parunya berkurang hanya dengan helaan nafas aja.
“Gitu
aja diributin. Masih pagi ini tuh, Shil. Baru juga jam 10 kurang. Kayak anak
kecil banget sih,” sahut Cakka santai. Tidak menoleh sedikit pun ke arah
Shilla. Malah asik menonton tayangan film kartun yang tersaji di layar di
hadapannya.
“Iya
iya.... aku kayak anak kecil ya gak kayak Ify yang bisa ngertiin kamu banget.
yang selalu kamu duluin apa-apanya dibanding pacar kamu sendiri. Kenapa enggak
balikan aja sama dia?” sindir Shilla setengah mati kesal lalu menundukkan wajahnya
setelah tersadar ucapannya malah merembet kemana-mana.
“Kamu,
tuh, kenapa sih, Shil? Biasanya juga enggak gini. Kenapa sekarang ngomongnya
jadi ngaco gini, sih?” Cakka menatap Shilla bingung. Kerutan di keningnya
menandakan seperti ia sedang dililit masalah besar.
“Kalau
baru sekali dua kali kamu bales chat dari dia atau temen-temen sekelas kamu
yang lain duluan, dari pada chat dari aku, aku bisa terima Kka, tapi kok aku
ngerasa sekarang kamu malah ngegampangin komunikasi sama aku, sih?” Shilla menatap
wajah Cakka tajam. Ingin menunjukkan pada lelaki itu, bahwa dirinya pun sama
seperti wanita lainnya.
“Aku
gak ngelarang kamu selama ini bukan berarti aku gak marah atau cemburu Kka.
Demi seluruh jiwa raga aku, aku cemburu setengah mati dan ngerasa kesel. Tapi
aku berusaha maklum. Toh aku pun kenal sebagian besar dari mereka. Tapi kamu
bahkan gak juga ngerti ya kode-kode yang aku tunjukin kalau aku gak suka sama
itu semua?” tutur Shilla panjang lebar. Air mata yang sudah ditahannya merembes
begitu saja. Mengaliri pipinya membentuk aliran sungai kecil disana. Dia masih
berharap, tangan Cakka yang kini terkepal kuat mau menghapus air mata itu.
Kesakitan yang Shilla alami di hatinya bahkan sudah tidak bisa dsembuhkan
hanya dengan mengingat bahwa Cakka adalah lelaki yang ia puja setengah mati.
“Diem
aja, kan? Aku salah, Kka? Bagian mana dari aku yang salah? Aku gak pernah bisa
marah sama kamu bukan berarti kamu bisa seenaknya gini sama aku, Kka,” Shilla
sudah tidak kuat lagi berada disana, melihat wajah lelakinya menatap kebawah
dengan tangan terkepal cukup kuat. Shilla berlari meniti tangga, menuju
kamarnya. Meninggalkan kehampaan di ruang TV rumahnya. Yang ingin ia lakukan
sekarang hanya menangis sejadi-jadinya. Perubahan-perubahan kecil dari sosok
laki-laki itu semakin lama semakin membuatnya meragu, bahwa laki-laki itu balas
mencintainya.
Sedikit di
hati Shilla berharap, Cakka akan meniti tangga dan mengetuk pintu
kamarnya. Memaksanya keluar dengan sejuta kata maaf yang akan membuatnya leleh.
Tetapi yang Shilla dengar malah suara deru mobil Cakka yang semakin lama
semakin mengecil lantas hilang. Dan Shilla semakin benci mengapa perubahan itu
harus terjadi. Benci dan takut bahwa kesalahannya di masa lalu malah akan
dilakukan Cakka. Dan seperti yang orang bilang, ini adalah karma. Tuhan,
mengapa Shilla tidak pernah berpikir bahwa karma pasti akan menghampirinya. Dan betapa menyedihkan hidupnya, karma datang
padanya disaat ia benar-benar tidak mengira itu akan datang.
Shilla
mematut wajah di depan cermin. Matanya sudah cukup bengkak akibat menangis
selama 2 jam. Dan Shilla semakin merasa sendiri ketika menyadari Cakka tidak
ada di sisinya untuk menghibur luka yang ia tanam sendiri. Cakka malah
menghilang dan tak ada kabar sama sekali.
***
To : Cakka
Aku gak tau
apa yg bikin km berubah sebegitu signifikan. Gatau aku emg lebay apa gmn, tp
aku mmg ngerasa km berubah. Ada apa kka? Aku salah? Dimana salah aku? Maaf kl
aku byk nuntut apa gmn. Aku cuma tkt kehilangan km.
***
Sambil
berlari-lari kecil menuruni tangga, Shilla menjepit setengah rambutnya menggunakan
pita berwarna merah, lalu menuju pintu depan rumahnya. Terdengar
suara bell untuk ketiga kalinya, yang mengganggu waktu santai Shilla yang
sebenarnya, sangat jarang ia dapatkan di minggu ini. Bi Ijah yang sedang berada di kamar mandi, membuatnya terpaksa
meninggalkan novel yang tinggal akhirnya saja ia baca.
Shilla
sempat ternganga sesaat, lalu kembali mengatupkan mulutnya saat membuka pintu
rumah. Seperti ada godaman palu besar di dadanya disertai kepakan sayap
dari kupu-kupu yang memenuhi perutnya. Cakka berdiri disana sambil mengacungkan
mawar biru dan memeluk boneka beruang berwarna putih yang tingginya
hampir mencapai bahu Shilla, dengan tangannya yang lain. Bukan apa yang dibawa cakka yang membuat
Shilla menganga hingga tidak bisa bernafas seperti ini, tetapi kehadiran Cakka rumahnya
inilah yang membuatnya semakin tidak mengerti. Mengapa lelaki ini bisa menjadi
sangat manis dan kemudian berubah menjadi penyiksa hatinya.
Lelaki
di hadapannya ini sudah menghilang hampir 1 mingggu. Tidak mengiriminya kabar
apalagi menampakan batang hidungnya di hadapan Shilla. Sebenarnya, Shilla sangat
ingin untuk segera memeluk Cakka dan menghirup dalam-dalam aroma maskulin Cakka
yang sangat ia sukai. Menyenderkan kepalanya di bahu kokoh itu adalah salah satu
hobinya akhir-akhir ini. Tapi masih ada pilu yang amat
mendalam di hatinya dan membuat ia masih mematung sambil berusaha menormalkan helaan nafasnya.
“Aku
mau minta maaf buat semuanya,” Ujar Cakka, lalu menyodorkan mawar biru yang
digenggamnya kepada Shilla. Ada ketakutan yang sengaja ia
endapkan untuk melakukan ini semua. Karena ia tahu diri, dirinya bukanlah
lelaki yang baik-baik saja terhadap Shilla.
Shilla
diam. Dalam hatinya mengumpat, mengapa lelaki ini selalu bisa
meluluhkan hatinya walau hanya dengan setangkai mawar berwarna biru. Ia bahkan tidak memberi respon apapun. Apa lagi mengambil mawar itu.
“Semuanya? Apa aja emang?” ujarnya sinis. Memberi tatapan se-mematikan mungkin
kepada Cakka. Walau dalam hati sebenarnya ia sedang merapal mantra agar air
matanya tidak tumpah. Lelaki ini tidak boleh melihat kerapuhan hatinya. Lagi pula,
seharusnya, tidak boleh ada lagi air mata yang tumpah untuk laki-laki macam Cakka.
Pria seperti Cakka benar- benar tidak layak untuk ditangisi.
“Shil..,”
dan Cakka kembali diam. Ia menatap dalam mata Shilla yang menatapnya penuh marah. Di
balik kemarahan itu, ada selaput bening penghalang air mata wanita itu. Dan itu
membuat diri Cakka semakin merasa bersalah. Walau sangat menyadari terlalu banyak kesalahan
yang sudah ia perbuat, Cakka sudah menyerah apa yang harus ia lakukan. Dan
ia
sepenuhnya sadar, boneka dan bunga tidak bisa menyembuhkan luka
yang dirinya buat.
“Kenapa?
Bingung mau ngomong apa? Terlalu banyak salah yang kamu bikin ke aku? Kamu bahkan kayaknya gak sadar ya? Terus ngapain pake bawa mawar sama boneka
ini segala? Ceritanya mau nyogok aku? Biar aku maafin kamu?” tanpa dapat Shilla
kontrol, ucapan itu terlontar begitu saja dari mulutnya. Ia terlalu bingung
racauan dari mana yang harus ia utarakan. Hatinya atau otaknya. “Seminggu ini
kamu kemana aja? Sibuk nyiapin ini mawar sama boneka? Aku sengaja gak sms atau
telfon kamu duluan, pengen tau sejauh mana kamu tahan ga komunikasi sama aku.
Malah kayaknya pengennya kamu kayak gitu ya? Biar gak keganggu kamu bbm an sama cewek lain? Aku bahkan
bingung kenapa juga aku masih tahan sama kamu. Padahal aku bisa ko dapetin cowok
yang lebih baik dari kamu,” Shilla sempat sedikit terisak sebelum akhirnya menandaskan
ucapannya. Dan ia masih merapal mantra. Tolong....jangan keluar
sekarang........batinnya.
“Shil,
aku mohon, udah............................,” Cakka menatap dalam mata Shilla
saat menemukan butiran bening menetes dari sudut mata Shilla. Cakka hendak
mengulurkan tangan untuk mengusap air mata itu, tapi tangan Shilla sudah lebih
dulu mendarat disana, membuat rasa bersalahnya semakin membengkak. “Aku gak pernah tau caranya minta maaf sama kamu. Aku emang bukan cowok
yang baik buat kamu.”
“Aku
gak pernah gak maafin kamu Kka, sebelum kamu minta maaf pun aku udah maafin
kamu. Tapi bisa gak, kamu hargain kehadiran aku disini? Aku cuma pengen kamu
kasih pengertian aja. Bukan cuma aku yang harus selalu susah payah ngertiin
kamu,” Shilla semakin terisak dan air mata yang ia keluarkan perlahan membentuk
aliran sungai kecil di pipinya. Cakka meninggalkan mawar dan boneka yang sedang
ia genggam, lalu memeluk Shilla. Tuhan,
mengapa ia bisa setega ini membuat wanita yang memiliki senyum seperti malaikat
ini menangis? Tanya Cakka dalam hati.
Cakka
mengelus pelan rambut Shilla, menenggelamkan wajah Shilla di dadanya. Walau ia
tahu, tangan Shilla masih terkepal kuat di sisi tubuhnya, “Aku minta maaf,
Shil. Aku udah gak ngerti lagi harus ngomong apa lagi.............,” dan air
mata Cakka jatuh disana. Menetes ke bahu Shilla. Dan Shilla dapat merasakannya. Cakka
merasa, ini adalah titik final dari kerapuhannya.
Shilla
mengangkat wajahnya yang sudah lembab penuh air mata dan melihat wajah Cakka yang sedikit merah menahan air mata. “Aku udah gak
mau bahas ini lagi, Kka. Aku selalu sakit setiap kali bahas ini. Aku cuma minta
kamu bisa janji, kalau kamu gak akan pernah kayak gini lagi. Dan aku pengen
kamu janji, buat nepatin janji-janji kamu ke aku,” ujar Shilla sambil menatap
dalam mata Cakka. Membuktikan bahwa ucapan tadi benar-benar ucapan dari
hatinya. Memohon agar Cakka tidak lagi-lagi mempermainkan hatinya.
“Aku
janji Shil, sepenuh hati aku,” Dan Shilla kembali luluh dengan senyum memabukan
milik Cakka. Ia tersenyum lalu menunduk malu. Malu kepada dirinya yang mudah
terbuai oleh mata bening Cakka, dan juga malu karena apa yang tadi ia ucapkan
terlalu seperti apa yang ada di televisi-televisi sana.
***
“Terus,
kemana aja kamu seminggu ini?” tanya Shilla saat menyerahkan segelas orange
juice kepada Cakka. Di hadapan mereka kini terhampar berbagai macam
camilan yang Cakka sendiri bingung mana yang harus ia makan duluan. Ruang TV
rumah Shilla ini memang selalu membuatnya nyaman.
“Ga
kemana-mana. Diem. Jalan. Kaya orang yang gak punya nyawa,” jawab Cakka lalu
meraih toples berisikan kacang-kacangan dan mulai melahapnya. Ia menatap Shilla
sejenak yang nampak tidak percaya dengan ucapannya barusan, “Kenapa? Gak
percaya, kan? Pasti deh,”
Shilla tersenyum lalu merebut toples kacang
itu dari Cakka. Menyenderkan tubuhnya ke sofa di belakangnya.
Karpet berwarna maroon yang berbulu tebal yang sedang ia duduki itu membuatnya
nyaman, “Udah ah, gak usah dibahas.”
“Yang
pasti, seminggu ini, aku kayak kehilangan separuh nyawa aku,” kata Cakka lalu tersenyum kepada Shilla. Menjawil pipi Shilla pelan lalu
meraih puncak kepala Shilla. Mengelusnya penuh rasa sayang, “Aku sendiri
bingung dan ngerasa bodoh banget kalau inget semua yang pernah aku lakuin ke
kamu. Kamu emang terlalu baik buat aku. Dan aku beruntung banget punya kamu
yang baik ini,” lanjutnya lalu mengusap pipi Shilla pelan.
Shilla
meraih tangan Cakka dan menggenggamnya erat, “Aku udah gak mau bahas itu, Kka.
Semua kesalahan kamu gak usah diungkit lagi. Asal kamu mau berubah.”
“Bantu
aku berubah buat kamu, Shil,” Ucap Cakka lalu tersenyum kepada Shilla. Kepada
wanita pemilik senyum seindah malaikat itu. Saat seperti
inilah, yang selalu membuat hati Cakka dipenuhi rasa sesal mengapa ia masih
saja menyakiti hati gadis itu.
***
Shilla
benar-benar tidak habis pikir, apa yang sebenarnya ada di dalam otak Cakka. Dan
Shilla semakin tidak mengerti mengapa dulu ia rela mengorbankan segalanya untuk
lelaki itu. Agar dapat memiliki lelaki itu kembali. Dengan segala upaya yang
dapat ia lakukan. Seandainya ia tahu, bahwa lelaki yang ia perjuangkan dengan
sepenuh hati itu akan melukai hatinya hingga seperih hingga saat ini, mungkin
dari sebelumnya, sudah saatnya, Shilla membuang jauh-jauh nama Cakka dari
hidupnya. Apa pula yang ia puja dari lelaki macam Cakka sebenarnya?
Shilla
tidak begitu mempercayai apa yang sedang ia lihat. Cakka tampak asik di dalam
cafe itu bersama seorang gadis yang duduk di hadapannya,
sambil memegang puntung rokok di tangan kirinya.
Shilla
hampir merasa melayang ketika akhirnya Cakka menggandeng tangan wanita itu
sambil berjalan keluar dari cafe, lalu
menghirup rokoknya dan membuangnya sembarangan. Ia mencengkram kuat botol minumannya setelah melihat Cakka dan gadis itu
menaiki Juke Hitam Cakka dan lantas menghilang.
Shilla
merogoh tas nya dan mencari ponselnya. Mencari kontak Cakka dan langsung memanggil nomor itu. Ia menunggu nada panggilan dengan tidak sabar. Kakinya terhentak mengikuti
irama jantungnya. Setelah beberapa kali
terdengar nada sambung, Shilla langsung bertanya, “Dimana?”
“Di rumah, kenapa?” terdengar jawaban santai Cakka dari sebrang sana.
Shilla
mengehela nafas sebelum akhirnya berujar, “Yaudah, sekarang aku jalan ke rumah
kamu. Ketemu disana,” kemudian memutuskan sambungan telefon dan mencengkram
erat ponselnya. Ia benar-benar sudah menyerah dan tidak tahu lagi apa yang
harus ia perbuat untuk membuat luka di hatinya, setidaknya, terobati.
Tujuan
awal dari kepergiannya memang untuk ke rumah Cakka. Tetapi ia berniat untuk
membeli kue kesukaan Cakka di toko
yang letaknya persis di sebelah cafe tempat dimana ia memergoki Cakka
‘mendua’. Dan seketika, niat awalnya ia urungkan.
***
“Aku
sekarang udah duduk di sofa ruang tamu rumah kamu dan Mamah kamu bilang kalau
kamu udah pergi dari jam 10 tadi. Maksud kamu apa sih, Kka?” ujar Shilla yang
masih tersulut emosi. Mama Cakka sendiri memohon ijin karena tidak dapat
menemani Shilla duduk di ruang tamu. Masih ada pekerjaan yang harus beliau
selesaikan, katanya. Dan Shilla hanya bisa mengangguk sambil tersenyum, ketika
Mama dari kekasihnya bilang, “Maafin Cakka ya, Shil.”
“Kamu
beneran ke rumah?” terdengar Cakka yang benar-benar kaget dengan ucapan pembuka
Shilla di telepon. Di ujung sana, Cakka menghela nafasnya
keras-keras, bingung apa yang harus ia lakukan sekarang.
“Kenapa?
Kayaknya ini bukan pertama kalinya, deh, Kka aku kerumah kamu. Tapi iya, ini pertama
kalinya kamu bohongin aku,” Ucap Shilla final. Tidak mengerti harus menggunakan
bahasa apalagi kepada Cakka agar lelaki itu mau mengerti sedikit saja tentang rasa yang ada di hatinya.
“Aku
kesana sekarang. Aku mohon, jangan kemana-mana,” Dan kali ini, Cakka memutuskan
sambungan telepon.
Shilla
hanya bisa diam. Membiarkan air mata jatuh perlahan membasahi pipinya. Berharap
Cakka akan segera datang dan mengusap air mata itu. Ia mendekap bantal kursi
sambil menggigit bibir bawahnya keras-keras. Berusaha mengurangi himpitan di
dadanya yang terasa begitu menyesakkan.
Selang
20 menit menunggu, akhirnya terdengar deruman mobil Cakka disusul suara langkah
kaki yang mendekat dan munculah sosok lelaki yang memiliki gaya rambut seperti
artis Justin Bieber, berdiri di sebelah sofa yang tengah Shilla duduki.
"Shil.....,"
Dan Shilla
langsung berdiri. Menatap Cakka dengan mata merah dan masih basah oleh air
mata, "Kenapa sih, Kka? Aku ada salah sama kamu? Bilang Kka, bilang.....
Jangan malah kamu sama cewek lain berduaan di luar sana. Kamu malu jalan sama
aku?" Shilla benar-benar kehilangan kesabarannya. Sudah terlalu lama ia
berada di lubang menyesakkan yang bahkan,
Cakka tak ingin mengetahui itu.
"Shil......," Dan Cakka mengerti apa yang membuat Shilla semarah ini. Dan
kecemasannya sedari tadi terbukti. Cakka diam dan berjanji tidak akan
mengeluarkan sepatah katapun untuk membantah ucapan Shilla nanti. Karena ia
sadar, kesalahannya kali ini benar-benar fatal.
"Dari dulu
aku ngebebasin kamu buat main sama cewek manapun. Tapi bukan berarti kamu bisa
seenaknya jalan berdua sama cewek lain kayak gitu," Shilla
sadar, ucapannya semakin lama semakin memelan. Tidak ada lagi tenaga yang dapat
ia keluarkan untuk sekedar mengomeli Cakka. Lagipula ia tahu, Cakka bukan lagi
anak kecil yang akan menurut hanya dengan omelan saja.
"Udahlah,
gak ada gunanya juga aku ngomong terus. Yang dulu-dulu aja ga kamu dengerin.
Mending aku pulang," Shilla membenahi letak tas
selempang di bahunya, lalu berjalan menubruk bahu Cakka yang sesungguhnya
berdiri menghalangi pintu masuk.
Cakka
menarik
lengan Shilla dan menahannya disana, "Biar aku anter aku ke rumah. Di luar
udah mendung. Aku gak mungkin tega ngebiarin kamu keujanan di jalan," Tanpa menunggu aba-aba, Cakka menarik tangan Shilla menuju
mobilnya. Membukakan pintu penumpang dan memohon kepada Shilla, sekali lagi
saja, memenuhi permintaannya.
###
Denting-denting
suara piano yang dimainkan di cafe ini masih bergema hingga sudut ruangan,
tempat Cakka duduk sendiri sambil ditemani secangkir latte yang sudah mendingin karena sudah satu jam hanya didiamkan
begitu saja oleh pemiliknya. Cakka kembali memerhatikan jalanan melalui kaca
pengganti dinding di sisi kirinya. 5 bulan lalu, ia masih duduk disini sambil berceloteh bersama wanita yang selalu sabar
menghadapi apa yang sudah ia lakukan. Tetapi semenjak 2 bulan terakhir, hanya ada
kehampaan dan ketidak pedulian yang menemaninya.
Cakka mendesah
lalu menyenderkan punggungnya ke sofa, menutup matanya lalu memijat pelan
pelipisnya. 2 bulan dibebani oleh penyesalah bukanlah hal yang mudah. Dan Cakka
sadar, inilah ganjaran yang harus ia terima setelah apa yang telah ia perbuat.
Tetapi, tetap saja, bayangan Shilla saat pertemuan
terakhir mereka di mobilnya, dikala hujan menemani kesenyapan diantara mereka
berdua, membuat Cakka semakin mengiris hati. Dan Cakka kembali teringat saat
Shilla akhirnya mau mengangkat panggilannya sebulan yang lalu.
***
"Aku
bukannya gak mau ngabarin kamu, Kka. Niat aku kerumah kamu waktu itu mau
ngabarin hal ini. Tapi ternyata ada 'kecelakaan'. Sebenernya bisa aja aku
pindah ke solo bulan juli nanti saat pergantian semester. Sekalian aku memang
mau pindah kuliah. Tapi aku udah gak kuat, Kka. Aku minta ke Bunda mau nyusulin
ayah aja disana dan biar Bunda tetep di Jakarta nemenin
adeku juga. Aku mau konsen sama kuliah, Kka. Mumpung aku masih semsester awal
jadi aku ulangi kuliah aku. Aku mau banggain orang tua aku dulu. Kamu ngerti,
kan? Aku harap kamu gak kecewa sama keputusan aku yang tiba-tiba ini. Dan aku
mohon, kamu disana, kuliah yang bener. Jangan pernah lagi pulang malem apalagi
keluyuran gak jelas dan ngerokok. Urusan hubungan kita, kamu ngerti kan, bahkan
gak usah aku jelasin, cukup sampai sini aja. Tapi kamu gak usah khawatir aku
bakalan ngehindarin kamu apa gimana, kamu bebas kapan aja sms atau telfon aku.
Kemarin ini aku cuma belum siap Kka. Tapi sekarang, aku bisa terima semuanya
dan maafin semua dan segalanya. Kita tetep sahabatan kaya dulu bisa kan,
Kka?" Ucapan panjang Shilla yang diiringi oleh isakan air mata di sebrang
sana, mau tak mau, membuat Cakka ikut menitikkan air mata. Ia sudah tidak tahu
lagi apa yang harus ia lakukan. Dan untuk terakhir kalinya, Cakka hanya bisa
memenuhi permintaan Shilla dan berharap dirinya bisa setegar Shilla.
"Kamu
ganteng, Kka. Gak ada cewek yang gak mau jadi pacar kamu. Cari cewek yang lebih
baik dari aku. Tapi aku mohon, jangan sakitin mereka kaya kamu nyakitin aku, cukup
aku."
Dan setelah
itu, sambungan telepon terputus. Tanpa diketahui siapapun, mereka berdua
menangis hingga tersedu. Memohon kepada Tuhan agar waktu bisa diputar. Berharap
bahwa semua ini tidak perlu terjadi saja sekalian. Karena sakitnya, bukan sembarang
sakit. Hanya saja, jarak yang begitu jauh memisahkan mereka.
###
Ada seseorang
di depan sana yang bahkan tak dapat ia kenali. Lingkaran matanya selalu
bertambah hitam, dan tubuhnya semakin mengecil seiring waktu. Shilla melihat
bayangan dirinya di cermin. Ia bahkan terlalu pilu untuk mengakui bahwa gadis
mengenaskan di hadapannya itu, adalah refleksi dirinya saat ini.
2 bulan ini
ia habiskan dengan kepura-puraan. Berusaha mengobati luka dan menenggelamkan
memori. Berharap semua ingatan menghilang lantas segalanya bisa berubah menjadi
baik-baik saja. Walau nyatanya, semua tak semudah seperti yang ia bayangkan.
Shilla
bergerak menuju kamar mandi dan membasahi tubuhnya. Bertekad mulai detik ini,
tak perlu lagi ada tangis pengantar tidur. Tidak ada lagi senyum sendu ketika
mengingat masa lalu. Ini keputusannya. Ia hanya harus melangkah lebih mantap
dari sebelumnya. Bukankah jika memang ia berjodoh dengan Cakka, takdir akan
mempertemukan mereka kembali, iya, kan?
***