Finished : October, 24th October 2010, 4:22p.m
Sebenarnya, dalam hati aku ingin terus menyangkal kenyataan itu. Menyangkal fakta yang baru saja aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku meninju bangku yang ku duduki dengan kepalan tanganku. Cukup membuat tanganku sakit. Tapi cukup meluapkan rasa emosiku, walau hanya sedikit. Aku menghembuskan nafas secara kasar. Ahhh! Aku mengambil batu dari kolong bangku -yang entah mengapa ternyata banyak sekali batu-batu kecil, dan melemparkannya ke danau yang berada di depanku. Berusaha membuang rasa penat dan sakit itu. Tapi naas, gagal.
Ku ingin bertanya
Sungguhkah kau sayang aku?
Aku kembali duduk di bangku. Percuma, sebanyak apapun aku melempar batu tak akan membuat rasa sakit ini menghilang. Aku menutup wajah menggunakan kedua telapak tanganku. Membiarkan air mataku tumpah di baliknya. Setidaknya dengan begini tak ada yang melihat aku sedang menangis.
Tadi, ngapain sih, kamu berduaan di café sambil suap-suapan gitu? Ngapain sih, kamu mengusap bibir cewek itu? Ngapain sih, kamu ketawa bareng cewek itu? Ngapain sih, kamu mengusap poni cewek itu?
Bukannya itu semua cuma kamu lakuin buat aku? Bukannya cuma aku? Oh…ternyata enggak ya.
Berarti…kau membohongiku. Tadi pagi, waktu aku meminta kau untuk mengantar aku ke toko buku, kau bilang, akan mengantar Kak Zevana ke Supermarket. Ternyata? Memangnya, Kak Zevana bisa berubah wujud, ya? Dan gak jadi ke supermarket, jadinya ke café? Café yang jadi saksi bisu kita berdua? Di tempat favorit kita berdua, lagi.
Aku menggelengkan kepala. Berusaha sekuat tenaga untuk menyangkal semua prasangka buruk tentangmu. Aku berusaha berpikir positif. Kau tak mungkin setega itu, kan, sama aku?
*
“Kamu kok gelisah banget sih?” aku langsung bertanya begitu, ketika kau berulang kali mengecek jam tangan yang melingkar gagah di pergelangan tangan kirimu.
Kau menatapku, lalu menggeleng kecil, “Ah, gak apa-apa.” Elakmu. Lalu kembali menekuni Tiramissu kesukaanmu. Sayang, sekecil apapun kau berbohong padaku, aku tetap bisa mengetahuinya. Membacanya melalui bola matamu yang bening itu.
“Bener?” tanyaku lagi, berharap kali ini kau akan jujur padaku.
Kau kembali menatapku lalu tersenyum kecil. Senyum yang selalu terbawa ke dalam mimpi indahku. “Serius. Ayok lanjutin makannya, macaroni kamu masih banyak, tuh. Katanya, tadi laper.”
“Kenyang.” Sahutku datar. Sedikit kesal. Aku tahu. Tapi aku sangat tidak mau kalau apa yang aku pikirkan memang benar. Bibirku sedikit dikerucutkan.
“Lho, sekarang kamu yang kenapa?” kau balik bertanya kepadaku, menaruh sendok kecil di atas piring tiramissu mu.
Aku menggeleng, “Nggak kok. Udah lanjutin. Aku laper lagi.” Lalu aku memotong asal macaroni ku dengan kesal. Sabar Shil…
Hening
Kau sibuk dengan Hot cappuccino mu, sedangkan aku masih mengunyah macaroniku dengan kesal. Hanya dentingan suara sendok, garpu, atau pisau yang beradu dengan piring atau cangkir yang terdengar. Ah! Ini sudah ke 7 kalinya kau melirik jam tanganmu, semenjak terakhir kali kita berbicara. Kau janjian dengannya?
“Abis dari sini mau kemana?” tanyamu, setelah aku menghirup Jus starwaberry ku sekaligus, sampai habis.
“Terserah. Aku masih kangen sama kamu.” Jawabku, sedikit manja. Kau tersenyum, lalu mengacak pelan poniku. Sudah 2 minggu kita tidak bertemu. Rasanya ada batu besar yang mengganjal di hatiku, dan hanya mampu menghilang ketika aku melihat senyumanmu untukku.
“Aku juga kangen sama kamu.” Balasmu seraya tersenyum. “Ke toko buku, mau? Katanya kemarin mau beli buku? Maaf ya, aku gak jadi nganterin?”
Aku mengangguk malas, tapi tetap tersenyum, setidaknya hari ini bukan untuk beradu mulut dan ego denganmu. Hari ini untuk melepas rindu denganmu.
Lalu, setelah kau memanggil pelayan dan membayar semuanya, kita bangkit dan beriringan berjalan menuju Toko buku yang letaknya berada satu lantai di atas tempat café yang baru saja kita tinggali. Dalam hitungan detik, jemarimu sudah merengkuh jemariku. Membuatku selalu nyaman dan terjaga.
*
“Makasih yah, buat hari ini.” Kataku, setelah turun dari motormu. Kini, aku berdiri di sisi kiri motormu.
Kau membuka helm fullface mu, mengangguk lalu tersenyum, “Aku juga, makasih yah.” Sahutmu, lalu mendekatkan bibirmu ke arah telingaku, membisikkan tiga kata yang selalu membuat darahku berdesir hebat, “Aku sayang kamu.” Lalu kau mengecup pipiku. Aku yakin, sekarang, rona wajahku sudah semerah tomat. Uhm..bahkan semerah cabai. Aku hanya mengangguk canggung. Aku rindu hal ini.
“Aku pulang, ya? Salam buat orang tua kamu sama Kak Kiki sama Mba Sivia .” Pamitmu akhirnya, lalu memakai helm fullface mu kembali. Aku mengangguk, dengan rona wajah yang belum kembali. Kau tersenyum, mulai menyalakan mesin motor kembali. Dalam hitungan detik, motormu sudah tidak nampak. Di hadapanku kini hanya jalanan perumahan yang kosong.
Kadang aku pun meragu
Engkau tampak beda, tak seperti dulu
Sebenarnya tak ada perbedaan yang begitu nyata. Hanya saja, aku merasa setiap kali kau menatapku, dalam bola matamu tak mengandung apapun. Maksudku, bukan tatapan matamu yang mampu mencairkan lapisan es yang membeku di hatiku. Bukan sorotan seperti biasanya yang terpancar dari sana. Aku menarik nafas dalam-dalam. Berdoa dalam hati kalau itu hanya perasaan burukku. Aku lalu berjalan memasuki pekarangan rumahku. Seraya terus menahan air mata yang entah mengapa menyeruak untuk mengaliri pipiku.
*
Aku hanya mampu duduk di sudut café. Menyembunyikan wajahku di balik majalah Girlfriend edisi terbaru. Semoga majalah ini tidak terbalik. Mataku terfokuskan pada 1 titik. 1 meja. Dan 2 manusia. Aku melihat kau. Tepatnya, aku sedang mengintip kau. Kau duduk di sebrang sudut yang berlawanan denganku
Wanita yang duduk di depanmu itu sedang menutup mulutnya, berusaha meredam tawa karena -sepertinya- lelucon yang kau buat. Sementara kau sendiri tertawa lepas. Walau tidak kencang.
Dibalut dress bermotif bunga-bunga kecil berwarna kuning susu, dan selop high heels, sekitar 3 cm, membuat wanita itu tampak manis. Sangat manis. Bahkan, cantik. Rambutnya yang ikal di bawah, ia ikat setengah ke belakang, di jepit menggunakan jepit yang berhiaskan pita berwarna merah.
Penampilannya memang sangat berbanding terbalik denganku. Aku memperhatikan penampilanku, -masih dalam keadaan duduk- aku hanya memakai kemeja, celana jeans, dan sepatu flat.
Sepertinya memang itu yang kau suka darinya. Mungkin karena aku tak berpenampilan seperti dia, kau berpaling dariku?
Selanjutnya, aku mulai melihat kau mengusap ubun-ubun wanita itu. Rasanya saat ini juga aku ingin mendatangi mejamu dan menggebraknya. Aku sangat tidak rela. Panas menjalari dadaku. Titik air mata mulai di produksi oleh mataku. Rasanya sakit sekali. Aku menyesal mengapa aku pergi ke café ini? Menyesal, mengapa aku harus menguntitmu?
Aku membiarkan air mata mengalir di pipiku. meninggalkan jejak-jejaknya. Membawa setiap perih yang semakin aku rasakan. Aku harap air mata itu akan membawa perih itu pergi. Aku yakin, majalah yang sedari tadi ku pegang untuk menutupi wajahku bergetar hebat.
Aku ingin kamu yang menghapus jejak air mata ini……
*
Mungkin waktu, yang tlah mengubah
Kenyataan atau mimpikah diriku dengan
Semua ini meski ku tak berubah
Hanya kau yang menyita sluruh hatiku
Disini…………
“Hari ini kamu kemana?” tanyaku, setelah kita berbincang mengenai sekolah kita masing-masing. Dapat kudengar dari ujung telepon bahwa kau menghela nafas.
“Pergi nganter Iley beli cat air.” Jawabmu. Menjadikan adikmu yang berbakat dalam hal melukis, menjadi kambing hitam. Kali ini aku yang menghela nafas berat.
“Kka…”
“Ya, Shil?” sahutmu. Aku meringkuk di sudut kamar. Tepatnya di belakang pintu kamarku. Memeluk boneka bebek pemberianmu saat bulan lalu, hari jadi kita yang ke 14 bulan.
“Kamu suka gak sama penampilan aku?” kataku, menggigit ujung boneka itu.
“Maksudnya?”
“Ya…gitu. Maksud aku, kamu takutnya selama ini kamu gak suka sama style aku yang santai banget. Takutnya kamu suka sama yang pa….”
“Aku suka kamu. Kamu yang apa adanya.” Putusmu tiba-tiba. Entah mengapa ucapanmu tadi sukses membuat bening hangat menganak sungai di kedua pipiku. Sejak kapan kau suka berbohong kepadaku?
“Kamu nangis?” gawat, sepertinya isakanku terdengar olehmu. Aku menarik nafas dalam-dalam.
“Ah…enggak…a..aku lagi flu.” Jawabku beralasan. Untung masuk akal.
“Jangan bohong sama aku.” Katamu. Kamu yang bohongin aku…
“Nggak kok. Aku emang beneran lagi flu. Cuaca lagi gak enak banget.” Cicitku, seraya mengusap pipiku, menyeka jejak bening hangat disana.
“Udah minum obat? Jaga kesehatan ya, Shil.” Nada suaramu begitu lembut. Sifatmu yang perhatian tak pernah hilang. Membuatku melupakan sejenak tentang masalah di café siang tadi.
“Udah kok. Kamu juga jaga kesehatan ya.” Balasku. Setidaknya aku tidak berbohong. Aku memang sedang terserang gejala flu, dan aku memang sudah minum obat pereda gejala flu.
“Aku kangen kamu.” Lirihmu tiba-tiba. Tatapanku kosong, memikirkan kita. Sekolah kita yang berbeda. Kita yang disibukkan dengan berbagai aktifitas sekolah. Membuat kita terkadang susah untuk bertemu. Apalagi akhir-akhir ini.
“Aku juga kangen kamu.” Balasku. Menggenggam ponselku kuat-kuat. Aku ingin kau berada di sisiku, menjadikan bahumu untuk tempatku melepas rindu kepadamu.
“Besok aku jemput kamu, ya? Besok sabtu, kan? Kita dinner.”
“Oke.” Jawabku bersemangat.
“Sekarang kamu tidur yah. Udah malem.”
“Kamu juga tidur sekarang.”
“Iyaaaa….. aku sayang kamu. Malam Shillaku.”
“Aku juga sayang kamu.. malam juga Ranggaku”
Klik.
Sambungan telepon pun terputus. Aku mendekap ponselku. Berharap ponsel ini akan berubah wujud menjadi kau. Aku merindukan kau yang selalu berkata jujur kepadaku. Aku rindu kau yang membuat malam-malamku dipenuhi oleh deraian tawa. Aku rindu kau.
Terhitung telah 3 minggu kau mulai berubah. Semenjak pertemuan kita yang kurang intensif. Akibat aku yang sibuk dengan jabatanku sebagai sekretaris MPK. Apa semenjak itu kau mulai mengenal gadis itu?
Sampai kapan kau akan terus membohongi aku?
*
Ku tak pernah berfikir
Ada yang lain di hatimu
Tapi bila, begitu adanya
Jangan kau membisu
Ungkapkan padaku
Akhirnya dengan susah payah aku selesai membuat rambut lurusku menjadi ikal. Ikal di bawah apa itu namanya? Keriting gantung? Butuh waktu 2 jam untuk membuat rambutku seperti ini.
Setelah itu, aku mengganti bajuku. Menggunakan dress polos berwarna pink lembut dengan hiasan pita di belakangnya, -yang ku dapat setelah aku mengubek isi lemari Mba Sivia, sepupuku yang tinggal di rumahku.
Aku berputar. Memperhatikan penampilanku yang sangat-sangat berbeda ini. Aku terlihat lebih… anggun. Sebenarnya ini bukan aku sama sekali. Tapi mungkin kau akan lebih suka jika aku seperti ini.
Aku melirik jam tangan Monol yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku. 10 menit lagi dari waktu yang kau sendiri janjikan untuk menjemputku. Aku menyemprotkan parfum ke beberapa bagian tubuhku. Tidak terlalu banyak. Cukup.
Dengan tergesa-gesa aku menuruni tangga, menuju ruang TV, dimana aku telah menyiapkan sepatu high heels -yang lagi-lagi kudapat dari kamar Mba Sivia. Sedikit keteteran saat aku mencoba berjalan menggunakan sepatu itu. Aduh, aku cewek tulen, kan?
Kak Kiki, Mamah, dan Papah hanya menggelengkan kepala melihatku berulang kali terjatuh akibat high heels itu. Demi kau, aku berulang kali terjatuh, agar aku terbiasa memakai sepatu ini. Demi kau.
Aku duduk di sofa depan TV, seraya memutar-mutar channel. Sudah telat 3 jam. Tidak biasanya. Rambutku yang kubuat ikal sudah kembali ke posisinya semula. Lurus. Kau kemana? Aku lelah menunggumu. Sekarang, sudah jam 9.30 malam. Kalau saja hari ini kita jadi dinner, itu adalah dinner bersama kita yang ke 3.
Aku sengaja tidak menghubungimu. Aku ingin tahu, seberapa ingat sih, kau dengan janjimu sendiri? Dulu, kau selalu ingat hal sekecil apapun tentang kita, lho.
Kak Kiki, Mamah, dan Papah sudah masuk ke kamar. Mereka menasihatiku agar aku juga sebaiknya tidur. Setidaknya, agar aku berselimut atau memakai sweater. Mengingat dressku yang tidak ber’lengan’. Aku tidak mempedulikan nasihat mereka. Aku masih terus duduk. Menunggu kau. Aku yakin kau akan datang. Setelat apapun itu.
Hoaaahm… aku menguap tia-tiba. Kantuk menjalariku. Tiba-tiba ponselku berdering. Membuatku sedikit tersentak. Terdengar ringtone yang hanya aku pasang jika kau yang menelepon aku. Dengan malas, tapi perasaan senang tetap terasa nyata, aku mengangkatnya.
“Apa?” kataku langsung. Nadaku datar.
“Aku di depan rumah kamu Shil, mau mencet bell takut ngebangunin orang-orang.” Sahutmu. Aku kaget. Segera saja aku berlari mendekati pintu rumah. Benar saja, aku mengintip melalui gorden, kau berdiri di depan gerbangku.
“Iya aku ke luar.” Kataku yang langsung mematikan dan menaruh ponselku ke meja yang berada di ruang tamu. Membuka pintu rumah, dan berjalan mendekati kau. Aku membuka gerbang, membiarkan kau masuk. Lalu berjalan menuju teras. Kau mengikuti dari belakang. Aku lalu duduk di kursi yang berada di teras.
“Maaf.” Katamu, setelah duduk di kursi sebelahku.
“Maaf buat apa?” tanyaku pura-pura heran. Mataku menatap lurus ke arah pepohonan di halaman rumahku. Cahaya lampu taman membuatnya terang.
“Maaf udah gak nepatin janji aku. Tadi aku ada urusan sama anak-anak band.” Alibi mu. Entah benar atau tidak, aku sudah tidak ingin mendengar alasan apapun. Sebelumnya kau tidak pernah melanggar janjimu.
“Iya gak apa-apa. Ini pertama kalinya, kan, kamu ngelanggar janji? Baru sekali, santai aja.” Kataku, berusaha menyindir. Namun, suaraku perlahan mulai bergetar.
“Maaf.”
“Udah lah gak apa-apa. Aku capek. Mau tidur. Kamu pulang aja. Kamu juga capek, kan?” aku masih menatap lurus ke depan. Membangun pertahanan sekuat-kuatnya agar cairan hangat itu tidak mengalir. Setidaknya untuk saat ini.
“Tapi kok, penampilan kamu berubah jadi…feminim?” tanyamu. Aku yakin kau baru saja memperhatikan penampilanku dari ujung kaki hingga ujung rambut. Bukankah kau menyukai yang seperti ini?
“Ehm…bukan. Maksud aku, biasanya style kamu kan simple, bukan pake dress kayak gini.” Kali ini aku menatapmu. Kulihat kau yang sedang menggaruk tengkukmu.
“Udah lah gak penting. Aku capek. Mau tidur. Kamu pulang. Istirahat.” Sahutku asal lalu berdiri dari kursi dan berjalan ke dalam rumahku. Aku tak sanggup menatapmu lebih lama lagi. Kau mengikutiku berdiri. Sampai saat aku hendak menutup pintu, kau mencegahnya.
“Shil, sekali lagi, maaf. Aku sayang sama kamu. Kamu cantik banget hari ini.” Ucapmu, aku hanya menunduk. Lalu aku langsung kembali menutup pintu. Dengan tangan bergetar, aku berusaha menguncinya.
Tiba-tiba saja aku sudah tidak mampu menopang tubuhku sendiri. Aku merosot. Meringkuk di balik pintu. Dengan memeluk lutut, air mataku turun dengan deras. Mengalir hingga menganak sungai di pipiku. Aku kangen kamu Kka..kangen kamu yang dulu.
*
Mungkin waktu yang tlah mengubah
Kenyataan atau mimpikah diriku dengan
Semua ini meski ku tak berubah
Hanya kau yang menyita sluruh hatiku
Disini…
“Kamu dimana?” tanyaku dari ujung telepon. Dapat kulihat kau berjalan menjauh dari meja yang sedang kau tempati dengan gadis itu. Di balik majalah GoGirl yang aku pegang ini, -kejadianya seperti 2 hari yang lalu. Disudut cafe, menguntitmu- air mata setitik demi setitik mulai mengalir. Akhir-akhir ini aku menjadi begitu lemah. Aku suka caramu membuatku menangis.
“Aku lagi kumpul sama band. Kenapa?” aku menarik nafas, menghembuskannya perlahan. Sejak kapan membohongiku menjadi salah satu hobimu?
“Nanti sore, jam 5, ke rumah aku.,please. Aku tunggu kamu sampai kamu dateng.”
Klik.
Tanpa menunggu jawaban, aku menutup telepon. Kulihat kau memandang heran ke layar ponselmu, lalu kembali duduk di bangkumu yang semula. Memberi alasan yang masuk akal kepada gadis itu.
Dari mejaku, aku hanya berdoa. Agar hubungan kita bisa membaik. Menjadi seperti sedia kala. Setidaknya, jika nanti kita berpisah, aku berharap semua yang terbaik.
Tak perlu aku menghalangi wajahku menggunakan majalah, berjalan keluar dari café, setelah sebelumnya meletakkan selembar uang 20.000 dan selembar uang 10.000. kurasa cukup untuk membayar jus strawberry yang tadi kupesan. Aku tahu, kau tak mungkin mengetahui bahwa ini aku. Karena posisi dudukmu memunggungi pintu masuk café.
*
Ku ingin bertanya
Sungguhkah kau sayang aku?
Kadang aku pun meragu
Engkau tampak beda
Tak seperti dulu…
Aku terus menarikan jemariku di atas gitar kesayanganku ini. Membuat nada-nada untuk sebuah lagu yang sedang mejadi lambang hatiku. Dengan lirih, aku bernyanyi mengiringi nada dari petikan gitar itu.
Mungkin waktu yang tlah mengubah
Kenyataan atau mimpikah diriku dengan
Semua ini meski ku tak berubah
Hanya kau yang menyita sluruh hatiku
Disini…
Aku mengamati tiap tetes air hujan yang mebasahi jendela kamarku. Setiap tetesnya melambangkan air mataku. Sebanyak itu air mata yang ingin aku keluarkan untukmu. Aku melirik jam yang terparkir manis di meja riasku. Tepat di hadapanku. Sudah telat 2 jam. Aku masih menunggumu.
Ku tak pernah berfikir
Ada yang lain di hatimu
Tapi bila begitu adanya
Jangan kau membisu
Ungkapkan padaku….
Tepat saat itu, pintu kamarku terbuka. Dengan enggan aku melihat siapa yang datang. Doaku terkabul. Kau yang datang. Kau yang lalu, langsung duduk di samping kiriku. Aku memalingkan wajah, kembali menatap butiran-butiran air hujan yang mengaliri jendela kamarku.
Mungkin waktu yang tlah mengubah
Kenyataan atau mimpikan dirimu dengan
Semua ini meski ku tak berubah
Hanya kau yang menyita sluruh hatiku
Disini….
Takkan ada yang mampu
Menggantikan satu dirimu…..
Mungkin waktu yang tlah mengubah
Kenyataan atau mimpikan dirimu dengan
Semua ini meski ku tak berubah
Hanya kau yang menyita sluruh hatiku
Disini….
Aku terus bernyanyi. Memetik gitar. Tak menghiraukan kau yang sudah duduk di sampingku. Air mata ini dengan deras sudah menganak sungai.
“Shiiiil…….” Katamu. Lalu merangkulku. Mengecup keningku. gitarku jatuh, aku sudah tidak kuat untuk memegang gitar itu. Kondisiku sudah sangat lemah.
“Maafin aku.. kamu tau semuanya?” aku hanya mengangguk. Berharap kau yang akan jujur padaku. Kau yang akan menceritaan kejadian di café itu. Menceritakan semuanya.
“Aku khilaf Shil…” aku tidak mengindahkan ucapanmu. Aku diam menatap langit yang sudah tidak lagi menangis. Tapi hatiku masih menangis, walau air mata perlahan sudah mulai surut.
“Dia Ify, aku kenal dia udah 3 bulan, aku sama dia pacaran udah 3 minggu.” Rasanya saat itu juga aku ingin menamparmu. Tapi percuma, tak bisa mengeringkan luka ini.
“Aku bakal mutusin dia Shil. Aku lebih sayang sama kamu. Kamu segalanya buat aku.” lalu kau memegang kedua bahuku. Memaksaku untuk menatapmu. Menatap dalam-dalam kedua bola matamu yang bening itu. Sekali lagi, bening itu mengalir dari sudut mataku.
“Maafin aku, udah bikin kamu nangis.” Aku hanya mengangguk lemah. “Aku bakalan mutusin Ify dan jujur ke dia malam ini juga.” sebenarnya, aku tidak tega dengan gadis itu, karena sesungguhnya gadis itu pun tidak bersalah. Ah..tidak tahu juga, sih.
“Kemarin kamu pakai dress dan high heels itu, pengen kayak Ify? Kamu ngeliat aku sama Ify?” aku mengangguk lagi. Dapat kulihat penyesalan terpancar dari bola matamu.
“Gak apa-apa. Seenggaknya sekarang kamu udah jujur ke aku. dan kamu udah menyesali semuanya.” Lalu kau memelukku. Mengecup keningku. Kau kembali membuat bulu kudukku meremang. Aliran darahku berdesir tidak karuan. Jantungku berdetak 1km/detik. Kau telah kembali.
Lalu kau mengambil gitar yang tadi sempat terjatuh, memangkunya. Mulai menarikan jemarimu di atas senar-senarnya. Menciptakan nada yang berirama.
I don’t know how to speak for anyone
But my self you see darling there is nothing I can say
that will save you anyways
I’ll scream loud at the top of my lungs tonight
‘cause you know you will always be my light
Shooting stars could never be this bright
Do you know you always be my light?
Screaming out your name
I’m not used to this
There’s no turning back
There’s no going home
I won’t breathe until you just tell me everything is alright
I am not scared of losing this
I’m afraid of losing you
I’m sorry that this will not end
But can’t find the strenght to speak
‘cause on the calendar of your events, I’m last week
Keep your eyes closed and we’ll make it through another day alive
But if we sit here thinking we are just wasting precious time
So instead of thinking that were dead let’s take apart what we have left
Lay it out in front of us and take the tings that we don’t trust
Screaming out your name
I’m not used to this
There’s no turning back
There’s no going home
I won’t breathe until you just tell me everything is alright
I am not scared of losing this
I’m afraid of losing you
I’m sorry that this will not end
But can’t find the strenght to speak
‘cause on the calendar of your events, I’m last week
I don’t know how to speak for anyone
But my self you see darling there is nothing I can say
that will save you anyways
I won’t breathe until you just tell me everything is alright
I am not scared of losing this
I’m afraid of losing you
I’m sorry that this will not end
But can’t find the strenght to speak
‘cause on the calendar of your events, I’m last week
Darling there’s nothing I can say that’ll save you anyways
Aku tersenyum. Memelukmu. Aku tidak sanggup untuk kehilangan kau. Aku harap, kau pun sama.
*
HOREEEEEEEEEEE!!!!!! Cerpen aku yang paling singkat pembuatannya. Idemuncul saat aku denger lagu Andity - Beda. Alur nya dan konsepnya muncul saat pelajaran seni budaya. Sampai diliatin sama guru. Garagara senyum-senyum sendiri. Aku ketik mulai jam 8 malem sampai setengah 11. dan dilanjutin minggu siang. Beres deh. Cerpen paling singkat dan menurutku paling simple. Cerpen yang aku bikin sambil nangis. Hehehehe. Semoga cerpennya bagus ya. Mohon komentarnya(: ehia itu lagunya I’m Afraid of Losing You nya A Rocket To The Moon.
Peaceloveandgaul
@dhitals
Monday, October 25, 2010
Tuesday, October 12, 2010
Kata yang Tak Sempat Terucap
Finished : October, 7th 2010, 10.49p.m
Sivia menyusuri koridor sekolahnya. Langkahnya terasa ringan. Dia bersemangat sekali karena hari ini hari favoritnya. Selasa. Entah mengapa ini selalu menjadi hari keberuntungannya. Kini, ia sudah duduk di bangku kelas XI. Dalam hati, ia masih terus berusaha menghapus masa-masa kelam saat 2 tahun lalu. Walau terkadang, ingatan itu selalu muncul, dan membuat rasa menyesal dan bersalahnya menyeruak dalam sukma.
Rio. Lelaki itu. Sudah 2 tahun hubungan mereka berdua seperti orang yang tak pernah mengenal satu sama lain. Terakhir, Sivia mendengar kabar bahwa Rio telah pindah ke Manado, tempat asalnya. Membuat hubungannya dengan Keke kandas. Keke tidak bisa menerima jika ia dan Rio harus berhubungan jarak jauh. Kira-kira seperti itulah yang Gabriel ceritakan kepada Sivia.
Mungkin hanya Sivia yang tahu bagaimana masih terjaga perasaannya untuk Rio. Walau ia tau ini hanya sia-sia, dan ia sendiri sangat ingin menghilangkan perasaan ini. Jika takdir berkata lain, apa boleh buat? Mungkin takdir mengatakan bahwa ia harus menyayangi Rio dan terus menunggunya.
Sivia memasuki kelasnya, duduk di bangkunya. Disitu sudah ada Ify, Agni, dan Oik-temannya semenjak masuk SMA.
“Hey.” sapa Sivia pada ketiga teman-temannya. Lalu menaruh tas dan memutar duduknya, menghadap ke belakang agar bisa bertatapan muka dengan Agni dan Oik.
“Hey Vi.” sapa Agni balik.
“Hari ini gak ada PR kan?” Tanya Sivia, memastikan.
“Ada kali Vi.” jawab Ify, dengan muka mengingatkan, “jangan bilang lo lupa. Pr mate Vi mate!” lanjutnya geregetan.
Sivia menepuk jidatnya, ”mana mana gue liat.” Katanya, sibuk mencari buku PR matematikanya.
“Yah elo Vi cepetan, bell bentar lagi.” kata Oik, memukul-mukul pelan meja, memberi semagat pada Sivia, agar cepat-cepat. Sivia heboh. Terus menyalin PR Ify. Saat sedang asik menyalin, tiba-tiba seisi kelas dibuat sepi mendadak karena kedatangan Bu Ira bersama seorang lelaki, yang diyakini adalah murid baru. Agni dan Ify tercekat ketika melihat rupa si Murid baru. Ify menjawil-jawil pelan bahu Sivia. Sivia tidak mengindahkan, dia masih sibuk menyalin PR Matematika. Oik memasang wajah heran.
Oik bertanya pelan kepada Agni ”ada apa sih Ag?”, penasaran.
“Itu…… Rio….mantan Sivia.” jawab Agni, air mukanya sedikit cemas. Sebelumnya Oik memang sudah sering diceritakan tentang Rio oleh Agni, Ify, bahkan Sivia sendiri. Oik mengintip Sivia yang masih menyalin. Oik menggidikkan bahu. Ify geregetan ingin memberi tahu Sivia.
“Anak-anak, kalian dapet temen baru.” kata Bu Ira dari depan kelas. Rio tampak malu-malu.
“Iya buuu.” koor semuanya termasuk Sivia, walau tangannya masih terus menulis.
“Nama saya Mario Stevano Aditya Haling, kalian bisa panggil saya Rio.” Rio memperkenalkan dirinya, lalu tersenyum manis. Senyum andalannya. Senyum yang masih selalu Sivia ingat. Seluruh siswi terpesona dengan senyumannya itu. Para siswa hanya mendecakkan lidah. Sivia mematung. Benarkan nama yang baru saja ia dengar adalah nama Rio? Dengan ragu, Sivia mendongakkan wajahnya dan melihat kedepan. Pulpen yang tadi ia pegang terlepas begitu saja ketika melihat wajah Rio. Sedangkan Rio masih belum menyadari adanya Sivia. Bahwa ia berada dalam satu ruangan dengan Sivia.
“Rio, kamu duduk di pojok sana yah sama Cakka.” perintah Bu Ira, menunjuk kursi kosong di sebelah Cakka, yang terletak di pojok belakang kanan kelas.
“Baik bu.” Rio mengangguk, lalu melangkahkan kaki dan duduk di sebelah Cakka. Setelah dipastikan Rio sudah duduk, Bu Ira kembali meninggalkan kelas.
“Gue Cakka.” kata Cakka ramah, mengulurkan tangannya ke arah Rio, mengajaknya berjabat.
“Gue Rio.” Jawabnya, membalas uluran tangan Cakka.
Sivia yang duduk 3 meja di depan meja Cakka, merasa badannya membeku. Gugup. Wajahnya seketika berubah pias. “Fy, itu…Rio…Rio…gue?” katanya, berbisik pada Ify.
“Iya Vi.” jawab Ify, ikut merasakan kegugupan Sivia. ,”lo dari tadi gue toelin malah diem aja.”
“Gue pindah kelas deh.” Kata Sivia. Raut wajahnya memelas dan takut.
“Santai aja Vi, santai.” kata Ify menenangkan, mengusap-usap bahu Sivia. Sivia berharap bahwa ini hanya mimpi buruk. Tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya untuk berhubungan, ehm bahkan berdekatan lagi dengan Rio. Faktanya, kini jaraknya dengan lelaki itu tak lebih dari 10 meter.
***
Sivia terus menerus memastikan bahwa Rio tidak beranjak dari manapun. Terus bermain basket bersama Cakka, dan anak basket lainnya, di lapangan sana. Dalam hati ia terus berdoa, jika ia hendak ke kantin -seperti sekarang ini-, Rio tak melihat dirinya. Bahkanjika permohonannya akan dikabulkan, ia ingin Rio tak akan pernah mengetahui bahwa mereka saat ini berstatus pelajar dalam satu kelas yang sama.
“Ayo dong Vi…keburu bell masuk nih…” kata Agni, menarik-narik lengan Sivia untuk segera pergi menuju kantin. Sivia tidak berajak. Masi terus duduk seraya mengintip Rio dari jendela kelas. Menatapi setiap buliran keringat yang mengucur deras di pelipisnya.
“Santai kaliii…… Rio gak akan liat lo! Apa kita tinggalin nih?” tambah Oik, yang juga ikut kesal. Terlebih dengan alasan Sivia tidak mau ikut ke kantin.
“Iya deh iya gue ikut.” Kata Sivia akhirnya. Agni dan Oik mengurut dada. Ify langsung merangkul Sivia. Mereka beriringan jalan menyusuri koridor. Menuju kantin yang terletak di sudut kiri sekolah.
Diam-diam, Sivia mengintip Rio melalui sudut matanya. Jujur, dia sangat senang akhirnya dapat menikmati setiap lekukan wajah tampan itu. Sivia kembali menunduk. Menyusuri susunan keramik di lantai koridor. Ify, Agni, dan Oik yang melihat hanya menggelengkan kepala.
Gabriel melambaikan tangannya ketika mengetahui Ify dan yang lainnya baru saja memasuki kantin, dan tidak kebagian tempat duduk. Mereka pun langsung menuju tempat Gabriel. Tempat yang memang menjadi tempat favorit mereka. Di sudut kantin, dekat tukang siomay.
“Lo kenapa Vi?” tanya Gabriel, menumpukkan tubuhnya pada sisi meja. Menemukan Sivia yag duduk di hadapannya dengan wajah pias.
“AAAHHHH! Gak kuat gue ceritanya.” Sivia menutup wajah menggunakan kedua telapak tangannya. Gabriel mendelik ke arah Ify -yang duduk di sisi kanannya- Agni, dan Oik -yang duduk menghimpit Sivia-, berharap menemukan sedikit penjelasan.
“Rio pindah sekolah. Dan ternyata ke sekolah ini. Dan lo tau? Sekelas sama gue dan Sivia.” Jelas Agni, setelah menerima pesanan siomay dari tukang siomay andalan kantin.
Gabriel sedikit tersentak. Kembali menatap Sivia, mengerti bagaimana kalutnya perasaan sahabatnya itu. “Santai aja lah Vi… dia juga mungkin udah lupa sama kejadian itu. dan udah maafin lo.” Kata Gabriel, memainkan sedotannya, lalu menghirup jus jeruknya yang tinggal tersisa satu perempat gelas. Ify yang tengah menikmati bubur ayam hanya mengangguk setuju.
Sivia membuka wajahnya, mencoba untuk tersenyum. Gagal. Miris. “kalau dia juga lupa sama gue gimana?” katanya, kembali mengerucutkan bibirnya. Gabriel menggaruk tengkuk.
“Intinya sekarang lo gak usah mikirin itu deh. Liat nanti aja kedepannya gimana. Jangan jadiin beban ke sekolah dengan adanya dia. Malah jadiin motivasi.” Gabriel lalu kembali menghirup jusnya sampai habis. Agni, Ify dan Oik kompak mengangkat jempol. Sivia mendesah panjang, lalu menganguk kecil. Berharap ucapan Gariel bisa ia laksanakan.
Dalam hati, Sivia berharap bahwa Rio akan mengingatnya dan benar-benar melupakan kejadian masa lalu. Ehm…maksudnya sudah memaafkan Sivia. Dan dia sangat berharap, Rio akan bersikap ramah padanya. Memberi Sivia sedikit harapan kembali. Sivia menelan ludah. Itu tidak mungkin.
***
Dengan enggan Sivia melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah. pandangannya tak jelas arah. Ia sendiri tak mengontrol langkah kakinya. Nyawanya hilang entah kemana. Tidak bersatu dengan raganya. Akibat panik. Karena Rio. Terlalu panik.
Tanpa sadar, saat ia akan memasuki kelasnya, seseorang dari dalam kelas, yang hendak keluar menabrakanya. Membuat Sivia tersadar dan buku paket Kimia dan paket Bahasa Indonesia terjatuh. Belum lagi tali sepatunya juga lepas.
“Sorry-sorry.” kata Sivia, merasa menjadi pihak yang salah, sambil membungkuk, membenarkan tali sepatunya.
“Iya gak apa-apa.” jawab si korban, mebenarkan bajunya akibat tabrakan dengan Sivia.
Sivia berdiri, setelah mengikat tali sepatunya dengan rapih, dan kembali menjinjing kedua buku paketnya. Perlahan dia membenarkan posisi beberapa helai poni yang menutupi matanya. Dilihatnya wajah si korban yang baru saja menegakkan wajah. ‘Mampus RIO!’ batin Sivia, lalu kembali menunduk. Rio tersentak melihat siapa yang ada di hadapannya. Perasaan yang dulu ia endapkan sampai ke dasar tia-tiba menyeruak kembali. Perasaan benci. Rio menatap Sivia dengan tatapan angkuh, lalu berjalan keluar kelas. Meninggalkan Sivia yang terdiam mematung.
Sivia menggigit bibir bawahnya. Tak beranjak satu centi pun dari tempatnya terakhir berdiri. Sedangkan Rio sudah berjalan menjauh. Meninggalkan Sivia dengan luka yang membekas. Air hangat yang di produksi dari mata beningnya sudah siap untuk meluncur. Mengaliri pipi lembutnya.
Sivia menegadah. Menarik nafas dan menghembuskannya secara kasar. Dia lalu melangkah memasuki kelas, menuju bangkunya yang sudah ada Ify disana, tengah asik menyalin PR. Agni dan Oik yang duduk di belakang pun sama.
“Ada PR apa?” tanya Sivia, setelah duduk di bangkunya, dan membanting kasar tasnya. Dia lalu mengintip buku Ify.
“Bahasa Inggris. Lo udah belum?” kata Ify, tanpa menghentikan akifitasnya. Terus menulis dengan serius. Sivia setengah berfikir. Mengingat-ngingat. Dia lalu mengangguk.
“Gue udah.” Katanya. Dia memang telah mengerjakan PR itu semalam. Dengan kerja keras, karena terus menerus bayangan Rio mengusik pikirannya. Ify tidak menggubris.
Hening.
Sivia lalu mengeluarkan iPodnya. Baru saja ia akan menekan tombol untuk memutar lagu, sosok itu melewatinya. Sosok yang diam-diam masih memiliki dan selalu memiliki ruang istimewa di sudut hati Sivia. Sivia hanya mempu menunduk, seraya meremas ujung roknya. Ia benci mengapa ia dan pemuda itu harus terus menerus seperti ini. Ia benci mengapa ia masih menaruh hati pada sosok itu. Ia benci pada Rio karena Rio mebencinya.
Ify menyeleting tempat pensilnya, setelah menaruh pulpen ke dalamnya. Lalu menjawil pelan bahu Irva, mengembalikan buku Irva yang baru saja selesai ia salin. Ify mengusap pelan bahu Sivia. Berusaha mengerti luka yang terasa mengelupas di permukaan hati Sivia. “sabar yah Vi…semua pasti ada waktunya kok. Waktu dimana lo sama dia bakalan damai.” Kata Ify. Semalam Sivia mencurahkan semua perasaannya kepada Ify lewat telefon. Yang membuat Ify sendiri tidak mengerti jalan pikiran Rio, maupun Sivia.
Sivia mengangkat wajahnya. Menatap Ify dan mengangguk pelan. Berusaha mengulas senyum, tapi naas, gagal. Terdapat titik bening di sudut matanya. Cepat-cepat Sivia menyekanya. Tidak ingin sedikitpun buliran itu menelusuri pipinya untuk saat ini. Dan ia harap, untuk hari ini.
“ Lama kelamaan semua bakalan kayak biasa kok. Jangan jadiin ini beban, My sweetest friend.” Timpal Agni dari belakang. Sivia tidak menoleh. Haya mengangguk pelan. Karena ia tahu, jika menoleh ke belakang, ia akan melihat sosok itu. Dan ia tidak mau untuk melihatnya. Walaupun sebagian besar di hatinya sudah tidak sanggup menahan kerinduannya terhadap Rio. Ia ingin menatap setiap lekukan wajahnya dan menikmati setiap aura yang Rio pancarkan.
***
Sivia mengaduk-aduk jus jerukya menggunakan sedotan. Tak ada niat sedikitpun untuk menghirupnya. Dagunya ia topang menggunakan tangan kirinya yang kokoh. Bibirnya sedikit mengerucut. Ify, Gabriel, Agni, dan Oik yang ada disitu hanya mengangkat bahu. Tidak tahu harus berbuat apa untuk mengembalikan keceriaan Sivia, yang baru menghilang 2 hari tapi begitu terasa. Sivia terus melamun. Terus tenggelam. Tak peduli dengan gemuruh suara katin yang membuat kuping pengang.
“Vi…udahlah jangan di pikirin.” Kata Gabriel yang duduk di sisi kirinya. Sivia tiak mengindahkan ucapan itu. terus tenggelam dalam pikiran kosongnya. Gabriel mendengus pelan, kembali menikmati bubur ayamnya.
“Lo mau minta maaf lagi sama Rio? Biar, ya mungkin, semua bakalan lebih baik?” usul Agni tiba-iba. Yang walau, bukan suatu usul yang indah. Oik yang duduk di sisi kanannya mencubit pelan lengannya. Sedangkan Ify yang duduk di hadapannya menginjak pelan kakinya. Agni meringis.
“Gue gak tau. Gue benci. Gue kesel. Gue gak sukaaaaaa!” seru Sivia tiba-tiba. Mungkin ingin berteriak, tapi nafasnya tercekat. Lalu yang tercipta hanya suaranya yang lirih.
Gabriel merangkul Sivia, sahabatnya semenjak masuk SMP, “Vi, lo jangan gini lah. kalau kayak gini, Rio ngerasa dia hebat karena dia udah ngancurin lo secara gak langsung. Lo harus bangkit. Jangan di mau anggep lemah. Lo harus bersikap kayak dia bersikap ke elo. Oke? Dan…jangan pernah mintaa maaf!!!!!” Gabriel lalu mengusap pelan ubun-ubun Sivia. Ikut prihatin dengan sahabatnya itu.
Sivia menegakkan wajahnya, lalu perlahan menghirup jus jeruknya. “GUE HARUS BISAA!” katanya dengan nada penuh semangat. Lalu mengukir senyumnya. Senyum yang diam-siam selalu Rio ingat, dan kini, Rio rindukan. Dalam hati, Sivia berdoa agar ucapannya bisa menjadi kenyataan. Ia sendiri ingin terlepas dari jeratan ini.
***
Waktu tak akan pernah berhenti untuk berputar. Mengganti cerahnya langit menjadi begitu pekat. Andai waktu bisa diulang, semua orang yang ada di dunia pasti menginginkannya. Memperbaiki kesalahan di masa lalu.
Sivia duduk di sisi jendela kamarnya. Menyenderkan kepalanya di dinding sebelah jendela. Membiarkan tubuhnya di belai oleh angin malam yang berhembus secara kasar. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Hanya memakai piama, tanpa memakai sweater atau jaket. Dinginnya udara malam ini begitu menusuk hingga rusuknya. Terasa menyakitkan. Terlebih jika….
Sivia menggeleng pelan. Cukup. Ia tak tahan dengan semuanya. Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu ia tidak pernah tidur dengan nyenyak. Tidak pernah merasakan debaran jantungnya berdetak secara normal. Tidak pernah merasa lepas. Satu minggu itu penuh penyiksaan. Karena dia.
Rio. Membuatnya menjadi sebegitu buruk. Ia lelah untuk menanti Rio. Lelah menanti kapan Rio akan tulus memaafkannya. Lelah menanti sampai kapan ia dan Rio akan bersikap seperti ini. Ia tahu diri, ia hanya ingin berteman dengan Rio. Itu saja. Simple.
Angin malam yang berhembus, mengeringkan riak sungai yang membekas di pipi Sivia. Walau ia tahu, menangis tak akan pernah membuat masalah ini selesai, setidaknya ini bisa menguragi rasa sesak yang menyelimuti dadanya. Wanita menangis bukan karena dia lemah. Itu sarana untuk meluapkan emosinya.
***
Siapalah yang dapat mengetahui isi hati kecilmu, selain kau sendiri dan Tuhan yang Maha Mengetahui? Siapalah yang akan merasakan sakit yang kau rasa, akibat seseorang menggoreskan luka, secara sengaja, hingga membekas di dasar hati, yang melepuh jika kau melihat si pembuat luka?
Lelaki itu menatap kosong ke arah bentangan langit. Malam ini, langit begitu pekat. Tak ada setitik bintang pun yang muncul. Hanya cahaya bulan yang terus setia menerangi. Menemani dirinya, yang kini termenung sendiri.
Racun itu telah menggerogoti akal sehatnya. Dan perlahan, juga menggerogoti tubuhnya. Apa yang membuatnya bersikap seperti ini, ia sendiri tak tahu apa jelasnya. Yang ia tahu, secara pasti, ia tak ingin membuat seseorang itu merasakan luka yang ia rasakan.
Apakah ia tahu, bahwa dirinya sungguh amat keliru?
Dengan ragu, ia mulai menarikan jarinya di atas senar-senar gitar, yang sedari tadi hanya dipangkunya. Mulai mengekspresikan lara hatinya melalui gitar itu. Nada-nadanya membuat sebuah intro sebuah lagu. Lagu yang sedari dulu tetap bertahan, menjadi lambang kepedihan hatinya.
***
Terlarut dalam sebuah kepahitan bukan sesuatu yang baik. Bagaimanapun, kita harus terus bangkit. Menyongsong hidup yang telah menanti di depan. Menyambut cita-citamu dengan tangan terbuka. Gapai kebahagianmu kembali. Jangan pernah melepasnya. Genggam dengan tanganmu. Sekuat-kuatnya.
6 bulan sudah, Sivia dan Rio terus menyendiri. Memisahkan perasaan mereka berdua dengan ego yang mereka buat sendiri. Rio terus bersikap angkuh, tanpa memberikan Sivia peluang sedikitpun. Sedangkan Sivia, hanya memendamnya. Karena perasaan takut menjalari hatinya kuat-kuat.
“Vi, lo serius gak akan mau minta maaf lagi sama Rio?”
Sivia mendengus kencang mendengar pertanyaan Agni. Ia menghentikan aktifitasnya, yang sedari tadi hanya mengaduk jusnya menggunakan sedotan. “Gak tau!.” Jawabnya judes. Ia menopang dagunya menggunakan tangan kirinya.
Ify merangkul Sivia. Ikut merasakan apa yang selama ini sahabatnya rasakan. Sivia sudah berusaha melupakan ini sekuat tenaganya. Tapi ada dimana saat titik jenuhnya mulai menyeruak. “Jalanin aja yang ada di depan. Gak usah mikirin ini, oke?” kata Ify. Oik dan Agni ikut mengangguk. Sivia hanya diam. Mampukah ia bertahan lebih lama dengan keadaan seperti ini?
***
Sivia duduk di sisi koridor. Memandang ke arah lapangan. Melihat Riko, Cakka, Gabriel, Kiki, Septian, dan, ehm…Rio sedang bermain basket. Melakukan pertandingan three on three. Isitirahat kali ini ia pilih untuk duduk sendirian disini. Tepatnya, menyendiri. Ia hanya ingin mencoba untuk bersikap lebih dewasa.
Lelaki itu masih sama. Sangat sama. Caranya tertawa. Caranya mendribel bola. Caranya megelap peluh yang membasahi pelipisnya. Semuanya masih sama. Dan masih selalu Sivia ingat betul, secara detail. Yang Sivia simpan di dalam kotak hatinya yag paling rahasia. Tanpa satu orang pun yang tahu cara membukanya.
Seandainya waktu dapat di ulang….
Aaaah……… ia muak.
Seandainya semua permasalahan bisa di selesaikan dengan permintaan maaf. Mungkin, ini tak akan pernah terjadi. Mungkin saat ini, ia sedang duduk di samping Rio yang sedang duduk memijat lutunya sendiri, berusaha mengatur nafasnya yang terpenggal, menyodorkan sebotol air minum untuk Rio.
Aaahhhh….. menyakitkan. Itu tak akan pernah terjadi.
Sivia menggelengkan kepalanya cepat. Berusaha menghilangkan pikiran ini. Pikiran yang dapat membuat sikapnya berubah menjadi 180°.
“Jadi……gimana?” tanya seseorang, yang tiba-tiba sudah duduk di sisinya. Perlahan orang itu meneguk air dari botolnya.
Sivia menoleh. Menemukan Gabriel dengan keadaan keringat bercucuran dimana-mana. Padahal, ini masih istirahat. Walau istirahat kedua, tetap saja, mereka masih akan ada jam pelajaran. Walau hanya 1 jam saja.
“Gimana apanya?” kening Sivia berkerut. Sebenarnya ia mengerti. Sangat mengerti malah.
Gabriel terkekeh, mengalihkan pandangannya dari Sivia menuju lapangan, yang kini kosong. “Ya lo lah…sama Rio.” Kata Gabriel santai, kembali menatap Sivia, menyunggingkan senyum.
Sivia menarik nafas. Dadanya sedikit tercekat akibat memikirkan tentang Rio kembali. Ia mendesah pelan. “Gak tahu Yel, menurut lo…gue harus gimana?”
Gabriel menepuk bahu Sivia pelan, “Minta maaf, gak ada salahnya kok.”
“Kata lo waktu itu jangaaaaannn….” Kata Sivia heran, mengingat nasihat Gabriel waktu di kantin.
“Masalahnya, sekarang ini udah terlalu lama lo kayak gini. Menyiksa perasaan satu sama lain. Gue yakin, Rio sendiri ngerasa gak nyaman. Walau, lo udah berusaha ngelupai semua, dan bersikap seolah gak ada apa-apa, tapi lo pengen lah semuanya benar-benar kembali norman?” tutur Gabriel panjang. “gak akan bisa selesai kalau gak ada yang ngalah duluan.”
“Gue belum siap. Gue takut.” Kata Sivia, lalu menunduk.
“Kalau terus takut, kapan beraninya?” Gabriel kembali menepuk bahu Sivia, “ayolah. Lo pasti bisa kok. Rio juga gak akan ngapa-ngapain lo, kan?”
Sivia menoleh, menatap Gabriel yang tengah tersenyum. Memberinya sedikit semangat. Ia balas tersenyum, lalu mengangguk. “Besok yah Yel, anterin gue minta maaf.” Kata Sivia. Dalam hati, ia masih berharap, ini keputusan yang benar. Bukan keputusan yang nantinya akan kembali membuatnya kecewa. Gabriel mengacak pelan poni Sivia. Ia tahu, sahabatnya itu pasti bisa.
***
Hanya ditemani Cakka, Gabriel dan Mamah dari yang bersangkutan, Sivia terus berlari menyusuri koridor. Bau-bau khas tempat ini sudah sangat tercium jelas di hidungnya. Pikiran negative terus berkelabat dalam sukmanya. Membuatnya terus menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
Mereka berhenti di depan sebuah ruangan. Di pintu ruangan, bertuliskan siapa pasien yang ada di dalam, beserta jam besuk yang secara khusus untuk pasien tersebut. Mamah membuka kenop pintu perlahan, menimbulkan suara decitan halus. Tak akan membangunkan siapapun.
Gabriel merangkul Sivia. Merasakan Sivia yang sudah mulai pucat dan bergemetar. Ia dan Cakka sendiri sudah tidak sanggup, jika apa yang sedari tadi mereka pikirkan, bahwa itulah sebuah kenyataan.
Dia tertidur. Belum terbangun. Hanya dibantu dengan beberapa alat medis yang tertempel di beberapa bagian tubuhnya, ia masih bisa bertahan. Mamahnya duduk di samping ranjangnya, menggenggam kuat jemarinya. Seakan berusaha mengirim seluruh kekuatan yang ia miliki, untuk seseorang yang ia genggam.
Gabriel melepas rangkulannya. Membiarkan Sivia berjalan mendekat. Terus mendekat. Hingga akhirnya menatap wajah orang itu dari dekat, secara jelas. Ia harap ini hanya sebuah mimpi buruk. Agar saat ia terbangun, semua akan baik-baik saja. Ia rela bermusuhan selamanya dengan seseorang yang tergoler lemah ini, dari pada harus melihat seseorang ini dengan keadaan sebegitu memilukan.
Sivia menarik bangku, duduk di samping ranjang. Ranjang Rio. Rio lah pasien itu. Pasien dengan keadaan mengenaskan. Sivia megusap lembut rambut Rio. Sekuat tenaga, ia terus mempertahankan beningnya, agar tak terjatuh begitu saja di pipinya. Sementara Cakka dan Gabriel, berdiri di kaki ranjang. Mereka sendiri masih sangat tidak percaya dengan ini semua.
“Udah 2 minggu Rio disini, dia koma.” Kata Mamahnya Rio. Perlahan ia menghapus jejak air mata yang membekas di pipinya. “Sebenarnya dari kemarin dia memanggil nama kalian bertiga, tapi tante baru ngeresponnya hari ini. Dan tante harap, dengan adanya kalian disini, bisa ngebantu Rio untuk sadar.” Mamahnya Rio kembali terisak. Ia duduk di sebrang Sivia, hanya di pisah oleh ranjang Rio.
“Emang Rio…sakit apa Tan?” tanya Sivia berhati-hati. Matanya sudah berkilau, menahan mutiaranya.
“Leukimia.” Jawab Mamah Rio. Sivia diam. Separah itukah?
“Dari kapan?” tanya Sivia lagi, ingin mengetahui secara jelas.
“Kami tahunya semenjak kami baru pindah ke manado. Rio yang minta pindah ke manado, dia ingin melupakan kenangan yang ada disini. Tapi gagal. Lalu tiba-tiba, dia meminta kami untuk kembali pindah ke Jakarta. Dan dia minta untuk di sekolahkan di sekolah yang sama dengan kamu.” Bening dari mata Mamahnya Rio kembali mengalir. Tanpa ada hasrat sedikitpun untuk diseka.
Pondasi pertahanan bening itu runtuh. Menyebabkan bening itu menyeruak keluar, membanjiri pipi Sivia. Membentuk aliran sungai kecil. Apakah yang ia dengar, dari ujung kalimat Mamahnya Rio benar? Lalu…mengapa Rio….
Cakka dan Gabriel memilih duduk di sofa. Terus memanjatkan do’a untuk sahabat mereka. Walau Cakka dan Rio baru berteman sekitar 8 bulan, rasa persahabatan mereka mulai terasa. Dan kini, ia merasa belum sempat kehilangan, jika Rio nantinya akan benaar-benar pergi.
“Rio menulis surat untukmu. Ia menulisnya saat ia baru pindah dari manado ke Jakarta, saat hari pertama. Dan dia menitipkannya ke tante, untuk di berikan kepada kamu jika….kondisinya seperti ini….” Mamahnya Rio menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Dadanya sesak. “Kamu mau lihat?” Sivia hanya mengangguk pasrah. Tak mampu untuk berkata apapun lagi. Ia sudah tak sanggup untuk menopang dirinya sendiri. Terlalu lemah.
***
Dear my sweetest ex girlfried.
Hahahaha. Sebenernya aku masih gak rela manggil kamu sebagai mantan aku. Karena kenyataannya, posisi kamu masih sama saat kamu masih jadi cewek aku. Kamu tau gak kenapa aku nulis surat ini? Karena aku sayang sama kamu. Aku sayang banget. Aku pengen ngejagain kamu semaksimal mungkin. Sekuat tenaga aku. Tapi itu gak bisa. Jujur, waktu kita putus di taman itu, saat aku ngeliat kamu berduaan sama Alvin, aku sakit. Sakit banget. Aku gak nyangka kamu bisa kayak gitu ke aku. Aku gak ngasih kesempatan ke kamu buat kamu ngejelasin ke aku, aku malah gak maafin kamu saat kamu minta maaf. Aku sebenarnya gak tega ngeliat kamu kayak gitu. Aku gak tega liat kamu nangis. Karena aku tahu, kamu udah menyesali semuanya. Tapi entah kenapa aku masih belum bisa buat maafin kamu. Karena gengsi kali ya? Entah ya aku gak tau. Pokoknya sampai sekarang aku masih sayang sama kamu. Aku udah maafin kamu, sebenarnya. Bahkan harusnya aku kali ya, yang harus minta maaf sama kamu? Okedeh, maafin aku ya karena aku udah gak maafin kamu. Aku nyeseeeeeeeel banget. Dan soal penyakit ini? Ehm…aku baru tau penyakit ini sekitaaaaar setahun yang lalu kali yak. Gak tau juga deh. Mungkin ini juga yang bikin aku gak bisa buat bersikap baik ke kamu. Karena aku takut, disaat kita udah baikan, kita jadi deket, entah sebagai teman, atau malah kita balikan, aku harus ninggalin kamu. Aku tau itu konyol. Itu terlalu kayak sinetron dan novel lainnya. Tapi memang iya. Aku lebih milih untuk nyakitin kamu untuk hal itu aja, sekali. Gak untuk kedua kali. Ah…aku juga hak ngerti apa kesimpulannya. Pokoknya, aku minta maaf, aku sayang kamu. Peluk cium aku buat kamu. Dan aku harap, kamu bisa cepet-cepet lupain ini. Ah, maksudnya nyimpen ini di kotak khusus kenangan kita berdua. Dia hati kamu. Jangan terus terpuruk. Oke? Peluk cium hangat dari aku buat kamu. Ohiya, bilangin ke Agni dan Ify, aku juga minta maaf karena udah nyakitin kamu, sahabat mereka. Buat Gabriel juga, aku makasih karena dia udah setia jadi sahabat aku. Buat Cakka juga. aku sayang kalian semua. Terlebih kamu. Jangan pernah lupain aku ya.
Mario.
***
Sivia duduk di bangku taman. Pakaiannya masih lengkap berwarna hitam. Ia tidak kuat untuk terus berada di dekat tempat peristirahatan terakhir Rio. Langit seakan ikut merasakan duka yang ia rasakan. Gerimis mulai tercipta. Menemani Sivia yang duduk sendirian di bangku itu. Tak peduli kilat yang terus menyambar.
Air matanya sudah menggering. Bahkan tak nampak, karena air hujan yang semakin deras, ikut membasahi tubuhnya. Hanya surat terakhir dari Rio yang ia selamatkan. Ia taruh di saku celananya. Berharap surat itu tak rusak sedikitpun. Hanya itu peninggalan terakhir dari Rio.
Tuhan, mengapa secepat ini? Mengapa kau tak memberikan satu hari saja, untuk Sivia meluapkan rasa rindunya kepada Rio? Mengapa hanya berjarak 8 jam, setelah jengukkan pertama Sivia di rumah sakit itu? Tuhan, apa lagi rencanamu?
Sivia hanya diam. Memandang kosong ke depan. Menikmati rintikkan hujan yang berjatuhan tepat di ubun-ubunnya. Biasanya ada Rio yang melarangnya untuk hujan-hujanan…..
***
OKE INI ANEH BANGET. NGAWUR. GAK JELAS. KOMENNYA YA. KARENA AKU TAU, INI SEMUA FREAK. HA HA HA. Aku tunggu setiap kritikan dari kalian.
Peaceloveandgaul
@dhitals
Sivia menyusuri koridor sekolahnya. Langkahnya terasa ringan. Dia bersemangat sekali karena hari ini hari favoritnya. Selasa. Entah mengapa ini selalu menjadi hari keberuntungannya. Kini, ia sudah duduk di bangku kelas XI. Dalam hati, ia masih terus berusaha menghapus masa-masa kelam saat 2 tahun lalu. Walau terkadang, ingatan itu selalu muncul, dan membuat rasa menyesal dan bersalahnya menyeruak dalam sukma.
Rio. Lelaki itu. Sudah 2 tahun hubungan mereka berdua seperti orang yang tak pernah mengenal satu sama lain. Terakhir, Sivia mendengar kabar bahwa Rio telah pindah ke Manado, tempat asalnya. Membuat hubungannya dengan Keke kandas. Keke tidak bisa menerima jika ia dan Rio harus berhubungan jarak jauh. Kira-kira seperti itulah yang Gabriel ceritakan kepada Sivia.
Mungkin hanya Sivia yang tahu bagaimana masih terjaga perasaannya untuk Rio. Walau ia tau ini hanya sia-sia, dan ia sendiri sangat ingin menghilangkan perasaan ini. Jika takdir berkata lain, apa boleh buat? Mungkin takdir mengatakan bahwa ia harus menyayangi Rio dan terus menunggunya.
Sivia memasuki kelasnya, duduk di bangkunya. Disitu sudah ada Ify, Agni, dan Oik-temannya semenjak masuk SMA.
“Hey.” sapa Sivia pada ketiga teman-temannya. Lalu menaruh tas dan memutar duduknya, menghadap ke belakang agar bisa bertatapan muka dengan Agni dan Oik.
“Hey Vi.” sapa Agni balik.
“Hari ini gak ada PR kan?” Tanya Sivia, memastikan.
“Ada kali Vi.” jawab Ify, dengan muka mengingatkan, “jangan bilang lo lupa. Pr mate Vi mate!” lanjutnya geregetan.
Sivia menepuk jidatnya, ”mana mana gue liat.” Katanya, sibuk mencari buku PR matematikanya.
“Yah elo Vi cepetan, bell bentar lagi.” kata Oik, memukul-mukul pelan meja, memberi semagat pada Sivia, agar cepat-cepat. Sivia heboh. Terus menyalin PR Ify. Saat sedang asik menyalin, tiba-tiba seisi kelas dibuat sepi mendadak karena kedatangan Bu Ira bersama seorang lelaki, yang diyakini adalah murid baru. Agni dan Ify tercekat ketika melihat rupa si Murid baru. Ify menjawil-jawil pelan bahu Sivia. Sivia tidak mengindahkan, dia masih sibuk menyalin PR Matematika. Oik memasang wajah heran.
Oik bertanya pelan kepada Agni ”ada apa sih Ag?”, penasaran.
“Itu…… Rio….mantan Sivia.” jawab Agni, air mukanya sedikit cemas. Sebelumnya Oik memang sudah sering diceritakan tentang Rio oleh Agni, Ify, bahkan Sivia sendiri. Oik mengintip Sivia yang masih menyalin. Oik menggidikkan bahu. Ify geregetan ingin memberi tahu Sivia.
“Anak-anak, kalian dapet temen baru.” kata Bu Ira dari depan kelas. Rio tampak malu-malu.
“Iya buuu.” koor semuanya termasuk Sivia, walau tangannya masih terus menulis.
“Nama saya Mario Stevano Aditya Haling, kalian bisa panggil saya Rio.” Rio memperkenalkan dirinya, lalu tersenyum manis. Senyum andalannya. Senyum yang masih selalu Sivia ingat. Seluruh siswi terpesona dengan senyumannya itu. Para siswa hanya mendecakkan lidah. Sivia mematung. Benarkan nama yang baru saja ia dengar adalah nama Rio? Dengan ragu, Sivia mendongakkan wajahnya dan melihat kedepan. Pulpen yang tadi ia pegang terlepas begitu saja ketika melihat wajah Rio. Sedangkan Rio masih belum menyadari adanya Sivia. Bahwa ia berada dalam satu ruangan dengan Sivia.
“Rio, kamu duduk di pojok sana yah sama Cakka.” perintah Bu Ira, menunjuk kursi kosong di sebelah Cakka, yang terletak di pojok belakang kanan kelas.
“Baik bu.” Rio mengangguk, lalu melangkahkan kaki dan duduk di sebelah Cakka. Setelah dipastikan Rio sudah duduk, Bu Ira kembali meninggalkan kelas.
“Gue Cakka.” kata Cakka ramah, mengulurkan tangannya ke arah Rio, mengajaknya berjabat.
“Gue Rio.” Jawabnya, membalas uluran tangan Cakka.
Sivia yang duduk 3 meja di depan meja Cakka, merasa badannya membeku. Gugup. Wajahnya seketika berubah pias. “Fy, itu…Rio…Rio…gue?” katanya, berbisik pada Ify.
“Iya Vi.” jawab Ify, ikut merasakan kegugupan Sivia. ,”lo dari tadi gue toelin malah diem aja.”
“Gue pindah kelas deh.” Kata Sivia. Raut wajahnya memelas dan takut.
“Santai aja Vi, santai.” kata Ify menenangkan, mengusap-usap bahu Sivia. Sivia berharap bahwa ini hanya mimpi buruk. Tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya untuk berhubungan, ehm bahkan berdekatan lagi dengan Rio. Faktanya, kini jaraknya dengan lelaki itu tak lebih dari 10 meter.
***
Sivia terus menerus memastikan bahwa Rio tidak beranjak dari manapun. Terus bermain basket bersama Cakka, dan anak basket lainnya, di lapangan sana. Dalam hati ia terus berdoa, jika ia hendak ke kantin -seperti sekarang ini-, Rio tak melihat dirinya. Bahkanjika permohonannya akan dikabulkan, ia ingin Rio tak akan pernah mengetahui bahwa mereka saat ini berstatus pelajar dalam satu kelas yang sama.
“Ayo dong Vi…keburu bell masuk nih…” kata Agni, menarik-narik lengan Sivia untuk segera pergi menuju kantin. Sivia tidak berajak. Masi terus duduk seraya mengintip Rio dari jendela kelas. Menatapi setiap buliran keringat yang mengucur deras di pelipisnya.
“Santai kaliii…… Rio gak akan liat lo! Apa kita tinggalin nih?” tambah Oik, yang juga ikut kesal. Terlebih dengan alasan Sivia tidak mau ikut ke kantin.
“Iya deh iya gue ikut.” Kata Sivia akhirnya. Agni dan Oik mengurut dada. Ify langsung merangkul Sivia. Mereka beriringan jalan menyusuri koridor. Menuju kantin yang terletak di sudut kiri sekolah.
Diam-diam, Sivia mengintip Rio melalui sudut matanya. Jujur, dia sangat senang akhirnya dapat menikmati setiap lekukan wajah tampan itu. Sivia kembali menunduk. Menyusuri susunan keramik di lantai koridor. Ify, Agni, dan Oik yang melihat hanya menggelengkan kepala.
Gabriel melambaikan tangannya ketika mengetahui Ify dan yang lainnya baru saja memasuki kantin, dan tidak kebagian tempat duduk. Mereka pun langsung menuju tempat Gabriel. Tempat yang memang menjadi tempat favorit mereka. Di sudut kantin, dekat tukang siomay.
“Lo kenapa Vi?” tanya Gabriel, menumpukkan tubuhnya pada sisi meja. Menemukan Sivia yag duduk di hadapannya dengan wajah pias.
“AAAHHHH! Gak kuat gue ceritanya.” Sivia menutup wajah menggunakan kedua telapak tangannya. Gabriel mendelik ke arah Ify -yang duduk di sisi kanannya- Agni, dan Oik -yang duduk menghimpit Sivia-, berharap menemukan sedikit penjelasan.
“Rio pindah sekolah. Dan ternyata ke sekolah ini. Dan lo tau? Sekelas sama gue dan Sivia.” Jelas Agni, setelah menerima pesanan siomay dari tukang siomay andalan kantin.
Gabriel sedikit tersentak. Kembali menatap Sivia, mengerti bagaimana kalutnya perasaan sahabatnya itu. “Santai aja lah Vi… dia juga mungkin udah lupa sama kejadian itu. dan udah maafin lo.” Kata Gabriel, memainkan sedotannya, lalu menghirup jus jeruknya yang tinggal tersisa satu perempat gelas. Ify yang tengah menikmati bubur ayam hanya mengangguk setuju.
Sivia membuka wajahnya, mencoba untuk tersenyum. Gagal. Miris. “kalau dia juga lupa sama gue gimana?” katanya, kembali mengerucutkan bibirnya. Gabriel menggaruk tengkuk.
“Intinya sekarang lo gak usah mikirin itu deh. Liat nanti aja kedepannya gimana. Jangan jadiin beban ke sekolah dengan adanya dia. Malah jadiin motivasi.” Gabriel lalu kembali menghirup jusnya sampai habis. Agni, Ify dan Oik kompak mengangkat jempol. Sivia mendesah panjang, lalu menganguk kecil. Berharap ucapan Gariel bisa ia laksanakan.
Dalam hati, Sivia berharap bahwa Rio akan mengingatnya dan benar-benar melupakan kejadian masa lalu. Ehm…maksudnya sudah memaafkan Sivia. Dan dia sangat berharap, Rio akan bersikap ramah padanya. Memberi Sivia sedikit harapan kembali. Sivia menelan ludah. Itu tidak mungkin.
***
Dengan enggan Sivia melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah. pandangannya tak jelas arah. Ia sendiri tak mengontrol langkah kakinya. Nyawanya hilang entah kemana. Tidak bersatu dengan raganya. Akibat panik. Karena Rio. Terlalu panik.
Tanpa sadar, saat ia akan memasuki kelasnya, seseorang dari dalam kelas, yang hendak keluar menabrakanya. Membuat Sivia tersadar dan buku paket Kimia dan paket Bahasa Indonesia terjatuh. Belum lagi tali sepatunya juga lepas.
“Sorry-sorry.” kata Sivia, merasa menjadi pihak yang salah, sambil membungkuk, membenarkan tali sepatunya.
“Iya gak apa-apa.” jawab si korban, mebenarkan bajunya akibat tabrakan dengan Sivia.
Sivia berdiri, setelah mengikat tali sepatunya dengan rapih, dan kembali menjinjing kedua buku paketnya. Perlahan dia membenarkan posisi beberapa helai poni yang menutupi matanya. Dilihatnya wajah si korban yang baru saja menegakkan wajah. ‘Mampus RIO!’ batin Sivia, lalu kembali menunduk. Rio tersentak melihat siapa yang ada di hadapannya. Perasaan yang dulu ia endapkan sampai ke dasar tia-tiba menyeruak kembali. Perasaan benci. Rio menatap Sivia dengan tatapan angkuh, lalu berjalan keluar kelas. Meninggalkan Sivia yang terdiam mematung.
Sivia menggigit bibir bawahnya. Tak beranjak satu centi pun dari tempatnya terakhir berdiri. Sedangkan Rio sudah berjalan menjauh. Meninggalkan Sivia dengan luka yang membekas. Air hangat yang di produksi dari mata beningnya sudah siap untuk meluncur. Mengaliri pipi lembutnya.
Sivia menegadah. Menarik nafas dan menghembuskannya secara kasar. Dia lalu melangkah memasuki kelas, menuju bangkunya yang sudah ada Ify disana, tengah asik menyalin PR. Agni dan Oik yang duduk di belakang pun sama.
“Ada PR apa?” tanya Sivia, setelah duduk di bangkunya, dan membanting kasar tasnya. Dia lalu mengintip buku Ify.
“Bahasa Inggris. Lo udah belum?” kata Ify, tanpa menghentikan akifitasnya. Terus menulis dengan serius. Sivia setengah berfikir. Mengingat-ngingat. Dia lalu mengangguk.
“Gue udah.” Katanya. Dia memang telah mengerjakan PR itu semalam. Dengan kerja keras, karena terus menerus bayangan Rio mengusik pikirannya. Ify tidak menggubris.
Hening.
Sivia lalu mengeluarkan iPodnya. Baru saja ia akan menekan tombol untuk memutar lagu, sosok itu melewatinya. Sosok yang diam-diam masih memiliki dan selalu memiliki ruang istimewa di sudut hati Sivia. Sivia hanya mempu menunduk, seraya meremas ujung roknya. Ia benci mengapa ia dan pemuda itu harus terus menerus seperti ini. Ia benci mengapa ia masih menaruh hati pada sosok itu. Ia benci pada Rio karena Rio mebencinya.
Ify menyeleting tempat pensilnya, setelah menaruh pulpen ke dalamnya. Lalu menjawil pelan bahu Irva, mengembalikan buku Irva yang baru saja selesai ia salin. Ify mengusap pelan bahu Sivia. Berusaha mengerti luka yang terasa mengelupas di permukaan hati Sivia. “sabar yah Vi…semua pasti ada waktunya kok. Waktu dimana lo sama dia bakalan damai.” Kata Ify. Semalam Sivia mencurahkan semua perasaannya kepada Ify lewat telefon. Yang membuat Ify sendiri tidak mengerti jalan pikiran Rio, maupun Sivia.
Sivia mengangkat wajahnya. Menatap Ify dan mengangguk pelan. Berusaha mengulas senyum, tapi naas, gagal. Terdapat titik bening di sudut matanya. Cepat-cepat Sivia menyekanya. Tidak ingin sedikitpun buliran itu menelusuri pipinya untuk saat ini. Dan ia harap, untuk hari ini.
“ Lama kelamaan semua bakalan kayak biasa kok. Jangan jadiin ini beban, My sweetest friend.” Timpal Agni dari belakang. Sivia tidak menoleh. Haya mengangguk pelan. Karena ia tahu, jika menoleh ke belakang, ia akan melihat sosok itu. Dan ia tidak mau untuk melihatnya. Walaupun sebagian besar di hatinya sudah tidak sanggup menahan kerinduannya terhadap Rio. Ia ingin menatap setiap lekukan wajahnya dan menikmati setiap aura yang Rio pancarkan.
***
Sivia mengaduk-aduk jus jerukya menggunakan sedotan. Tak ada niat sedikitpun untuk menghirupnya. Dagunya ia topang menggunakan tangan kirinya yang kokoh. Bibirnya sedikit mengerucut. Ify, Gabriel, Agni, dan Oik yang ada disitu hanya mengangkat bahu. Tidak tahu harus berbuat apa untuk mengembalikan keceriaan Sivia, yang baru menghilang 2 hari tapi begitu terasa. Sivia terus melamun. Terus tenggelam. Tak peduli dengan gemuruh suara katin yang membuat kuping pengang.
“Vi…udahlah jangan di pikirin.” Kata Gabriel yang duduk di sisi kirinya. Sivia tiak mengindahkan ucapan itu. terus tenggelam dalam pikiran kosongnya. Gabriel mendengus pelan, kembali menikmati bubur ayamnya.
“Lo mau minta maaf lagi sama Rio? Biar, ya mungkin, semua bakalan lebih baik?” usul Agni tiba-iba. Yang walau, bukan suatu usul yang indah. Oik yang duduk di sisi kanannya mencubit pelan lengannya. Sedangkan Ify yang duduk di hadapannya menginjak pelan kakinya. Agni meringis.
“Gue gak tau. Gue benci. Gue kesel. Gue gak sukaaaaaa!” seru Sivia tiba-tiba. Mungkin ingin berteriak, tapi nafasnya tercekat. Lalu yang tercipta hanya suaranya yang lirih.
Gabriel merangkul Sivia, sahabatnya semenjak masuk SMP, “Vi, lo jangan gini lah. kalau kayak gini, Rio ngerasa dia hebat karena dia udah ngancurin lo secara gak langsung. Lo harus bangkit. Jangan di mau anggep lemah. Lo harus bersikap kayak dia bersikap ke elo. Oke? Dan…jangan pernah mintaa maaf!!!!!” Gabriel lalu mengusap pelan ubun-ubun Sivia. Ikut prihatin dengan sahabatnya itu.
Sivia menegakkan wajahnya, lalu perlahan menghirup jus jeruknya. “GUE HARUS BISAA!” katanya dengan nada penuh semangat. Lalu mengukir senyumnya. Senyum yang diam-siam selalu Rio ingat, dan kini, Rio rindukan. Dalam hati, Sivia berdoa agar ucapannya bisa menjadi kenyataan. Ia sendiri ingin terlepas dari jeratan ini.
***
Waktu tak akan pernah berhenti untuk berputar. Mengganti cerahnya langit menjadi begitu pekat. Andai waktu bisa diulang, semua orang yang ada di dunia pasti menginginkannya. Memperbaiki kesalahan di masa lalu.
Sivia duduk di sisi jendela kamarnya. Menyenderkan kepalanya di dinding sebelah jendela. Membiarkan tubuhnya di belai oleh angin malam yang berhembus secara kasar. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Hanya memakai piama, tanpa memakai sweater atau jaket. Dinginnya udara malam ini begitu menusuk hingga rusuknya. Terasa menyakitkan. Terlebih jika….
Sivia menggeleng pelan. Cukup. Ia tak tahan dengan semuanya. Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu ia tidak pernah tidur dengan nyenyak. Tidak pernah merasakan debaran jantungnya berdetak secara normal. Tidak pernah merasa lepas. Satu minggu itu penuh penyiksaan. Karena dia.
Rio. Membuatnya menjadi sebegitu buruk. Ia lelah untuk menanti Rio. Lelah menanti kapan Rio akan tulus memaafkannya. Lelah menanti sampai kapan ia dan Rio akan bersikap seperti ini. Ia tahu diri, ia hanya ingin berteman dengan Rio. Itu saja. Simple.
Angin malam yang berhembus, mengeringkan riak sungai yang membekas di pipi Sivia. Walau ia tahu, menangis tak akan pernah membuat masalah ini selesai, setidaknya ini bisa menguragi rasa sesak yang menyelimuti dadanya. Wanita menangis bukan karena dia lemah. Itu sarana untuk meluapkan emosinya.
***
Siapalah yang dapat mengetahui isi hati kecilmu, selain kau sendiri dan Tuhan yang Maha Mengetahui? Siapalah yang akan merasakan sakit yang kau rasa, akibat seseorang menggoreskan luka, secara sengaja, hingga membekas di dasar hati, yang melepuh jika kau melihat si pembuat luka?
Lelaki itu menatap kosong ke arah bentangan langit. Malam ini, langit begitu pekat. Tak ada setitik bintang pun yang muncul. Hanya cahaya bulan yang terus setia menerangi. Menemani dirinya, yang kini termenung sendiri.
Racun itu telah menggerogoti akal sehatnya. Dan perlahan, juga menggerogoti tubuhnya. Apa yang membuatnya bersikap seperti ini, ia sendiri tak tahu apa jelasnya. Yang ia tahu, secara pasti, ia tak ingin membuat seseorang itu merasakan luka yang ia rasakan.
Apakah ia tahu, bahwa dirinya sungguh amat keliru?
Dengan ragu, ia mulai menarikan jarinya di atas senar-senar gitar, yang sedari tadi hanya dipangkunya. Mulai mengekspresikan lara hatinya melalui gitar itu. Nada-nadanya membuat sebuah intro sebuah lagu. Lagu yang sedari dulu tetap bertahan, menjadi lambang kepedihan hatinya.
***
Terlarut dalam sebuah kepahitan bukan sesuatu yang baik. Bagaimanapun, kita harus terus bangkit. Menyongsong hidup yang telah menanti di depan. Menyambut cita-citamu dengan tangan terbuka. Gapai kebahagianmu kembali. Jangan pernah melepasnya. Genggam dengan tanganmu. Sekuat-kuatnya.
6 bulan sudah, Sivia dan Rio terus menyendiri. Memisahkan perasaan mereka berdua dengan ego yang mereka buat sendiri. Rio terus bersikap angkuh, tanpa memberikan Sivia peluang sedikitpun. Sedangkan Sivia, hanya memendamnya. Karena perasaan takut menjalari hatinya kuat-kuat.
“Vi, lo serius gak akan mau minta maaf lagi sama Rio?”
Sivia mendengus kencang mendengar pertanyaan Agni. Ia menghentikan aktifitasnya, yang sedari tadi hanya mengaduk jusnya menggunakan sedotan. “Gak tau!.” Jawabnya judes. Ia menopang dagunya menggunakan tangan kirinya.
Ify merangkul Sivia. Ikut merasakan apa yang selama ini sahabatnya rasakan. Sivia sudah berusaha melupakan ini sekuat tenaganya. Tapi ada dimana saat titik jenuhnya mulai menyeruak. “Jalanin aja yang ada di depan. Gak usah mikirin ini, oke?” kata Ify. Oik dan Agni ikut mengangguk. Sivia hanya diam. Mampukah ia bertahan lebih lama dengan keadaan seperti ini?
***
Sivia duduk di sisi koridor. Memandang ke arah lapangan. Melihat Riko, Cakka, Gabriel, Kiki, Septian, dan, ehm…Rio sedang bermain basket. Melakukan pertandingan three on three. Isitirahat kali ini ia pilih untuk duduk sendirian disini. Tepatnya, menyendiri. Ia hanya ingin mencoba untuk bersikap lebih dewasa.
Lelaki itu masih sama. Sangat sama. Caranya tertawa. Caranya mendribel bola. Caranya megelap peluh yang membasahi pelipisnya. Semuanya masih sama. Dan masih selalu Sivia ingat betul, secara detail. Yang Sivia simpan di dalam kotak hatinya yag paling rahasia. Tanpa satu orang pun yang tahu cara membukanya.
Seandainya waktu dapat di ulang….
Aaaah……… ia muak.
Seandainya semua permasalahan bisa di selesaikan dengan permintaan maaf. Mungkin, ini tak akan pernah terjadi. Mungkin saat ini, ia sedang duduk di samping Rio yang sedang duduk memijat lutunya sendiri, berusaha mengatur nafasnya yang terpenggal, menyodorkan sebotol air minum untuk Rio.
Aaahhhh….. menyakitkan. Itu tak akan pernah terjadi.
Sivia menggelengkan kepalanya cepat. Berusaha menghilangkan pikiran ini. Pikiran yang dapat membuat sikapnya berubah menjadi 180°.
“Jadi……gimana?” tanya seseorang, yang tiba-tiba sudah duduk di sisinya. Perlahan orang itu meneguk air dari botolnya.
Sivia menoleh. Menemukan Gabriel dengan keadaan keringat bercucuran dimana-mana. Padahal, ini masih istirahat. Walau istirahat kedua, tetap saja, mereka masih akan ada jam pelajaran. Walau hanya 1 jam saja.
“Gimana apanya?” kening Sivia berkerut. Sebenarnya ia mengerti. Sangat mengerti malah.
Gabriel terkekeh, mengalihkan pandangannya dari Sivia menuju lapangan, yang kini kosong. “Ya lo lah…sama Rio.” Kata Gabriel santai, kembali menatap Sivia, menyunggingkan senyum.
Sivia menarik nafas. Dadanya sedikit tercekat akibat memikirkan tentang Rio kembali. Ia mendesah pelan. “Gak tahu Yel, menurut lo…gue harus gimana?”
Gabriel menepuk bahu Sivia pelan, “Minta maaf, gak ada salahnya kok.”
“Kata lo waktu itu jangaaaaannn….” Kata Sivia heran, mengingat nasihat Gabriel waktu di kantin.
“Masalahnya, sekarang ini udah terlalu lama lo kayak gini. Menyiksa perasaan satu sama lain. Gue yakin, Rio sendiri ngerasa gak nyaman. Walau, lo udah berusaha ngelupai semua, dan bersikap seolah gak ada apa-apa, tapi lo pengen lah semuanya benar-benar kembali norman?” tutur Gabriel panjang. “gak akan bisa selesai kalau gak ada yang ngalah duluan.”
“Gue belum siap. Gue takut.” Kata Sivia, lalu menunduk.
“Kalau terus takut, kapan beraninya?” Gabriel kembali menepuk bahu Sivia, “ayolah. Lo pasti bisa kok. Rio juga gak akan ngapa-ngapain lo, kan?”
Sivia menoleh, menatap Gabriel yang tengah tersenyum. Memberinya sedikit semangat. Ia balas tersenyum, lalu mengangguk. “Besok yah Yel, anterin gue minta maaf.” Kata Sivia. Dalam hati, ia masih berharap, ini keputusan yang benar. Bukan keputusan yang nantinya akan kembali membuatnya kecewa. Gabriel mengacak pelan poni Sivia. Ia tahu, sahabatnya itu pasti bisa.
***
Hanya ditemani Cakka, Gabriel dan Mamah dari yang bersangkutan, Sivia terus berlari menyusuri koridor. Bau-bau khas tempat ini sudah sangat tercium jelas di hidungnya. Pikiran negative terus berkelabat dalam sukmanya. Membuatnya terus menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
Mereka berhenti di depan sebuah ruangan. Di pintu ruangan, bertuliskan siapa pasien yang ada di dalam, beserta jam besuk yang secara khusus untuk pasien tersebut. Mamah membuka kenop pintu perlahan, menimbulkan suara decitan halus. Tak akan membangunkan siapapun.
Gabriel merangkul Sivia. Merasakan Sivia yang sudah mulai pucat dan bergemetar. Ia dan Cakka sendiri sudah tidak sanggup, jika apa yang sedari tadi mereka pikirkan, bahwa itulah sebuah kenyataan.
Dia tertidur. Belum terbangun. Hanya dibantu dengan beberapa alat medis yang tertempel di beberapa bagian tubuhnya, ia masih bisa bertahan. Mamahnya duduk di samping ranjangnya, menggenggam kuat jemarinya. Seakan berusaha mengirim seluruh kekuatan yang ia miliki, untuk seseorang yang ia genggam.
Gabriel melepas rangkulannya. Membiarkan Sivia berjalan mendekat. Terus mendekat. Hingga akhirnya menatap wajah orang itu dari dekat, secara jelas. Ia harap ini hanya sebuah mimpi buruk. Agar saat ia terbangun, semua akan baik-baik saja. Ia rela bermusuhan selamanya dengan seseorang yang tergoler lemah ini, dari pada harus melihat seseorang ini dengan keadaan sebegitu memilukan.
Sivia menarik bangku, duduk di samping ranjang. Ranjang Rio. Rio lah pasien itu. Pasien dengan keadaan mengenaskan. Sivia megusap lembut rambut Rio. Sekuat tenaga, ia terus mempertahankan beningnya, agar tak terjatuh begitu saja di pipinya. Sementara Cakka dan Gabriel, berdiri di kaki ranjang. Mereka sendiri masih sangat tidak percaya dengan ini semua.
“Udah 2 minggu Rio disini, dia koma.” Kata Mamahnya Rio. Perlahan ia menghapus jejak air mata yang membekas di pipinya. “Sebenarnya dari kemarin dia memanggil nama kalian bertiga, tapi tante baru ngeresponnya hari ini. Dan tante harap, dengan adanya kalian disini, bisa ngebantu Rio untuk sadar.” Mamahnya Rio kembali terisak. Ia duduk di sebrang Sivia, hanya di pisah oleh ranjang Rio.
“Emang Rio…sakit apa Tan?” tanya Sivia berhati-hati. Matanya sudah berkilau, menahan mutiaranya.
“Leukimia.” Jawab Mamah Rio. Sivia diam. Separah itukah?
“Dari kapan?” tanya Sivia lagi, ingin mengetahui secara jelas.
“Kami tahunya semenjak kami baru pindah ke manado. Rio yang minta pindah ke manado, dia ingin melupakan kenangan yang ada disini. Tapi gagal. Lalu tiba-tiba, dia meminta kami untuk kembali pindah ke Jakarta. Dan dia minta untuk di sekolahkan di sekolah yang sama dengan kamu.” Bening dari mata Mamahnya Rio kembali mengalir. Tanpa ada hasrat sedikitpun untuk diseka.
Pondasi pertahanan bening itu runtuh. Menyebabkan bening itu menyeruak keluar, membanjiri pipi Sivia. Membentuk aliran sungai kecil. Apakah yang ia dengar, dari ujung kalimat Mamahnya Rio benar? Lalu…mengapa Rio….
Cakka dan Gabriel memilih duduk di sofa. Terus memanjatkan do’a untuk sahabat mereka. Walau Cakka dan Rio baru berteman sekitar 8 bulan, rasa persahabatan mereka mulai terasa. Dan kini, ia merasa belum sempat kehilangan, jika Rio nantinya akan benaar-benar pergi.
“Rio menulis surat untukmu. Ia menulisnya saat ia baru pindah dari manado ke Jakarta, saat hari pertama. Dan dia menitipkannya ke tante, untuk di berikan kepada kamu jika….kondisinya seperti ini….” Mamahnya Rio menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Dadanya sesak. “Kamu mau lihat?” Sivia hanya mengangguk pasrah. Tak mampu untuk berkata apapun lagi. Ia sudah tak sanggup untuk menopang dirinya sendiri. Terlalu lemah.
***
Dear my sweetest ex girlfried.
Hahahaha. Sebenernya aku masih gak rela manggil kamu sebagai mantan aku. Karena kenyataannya, posisi kamu masih sama saat kamu masih jadi cewek aku. Kamu tau gak kenapa aku nulis surat ini? Karena aku sayang sama kamu. Aku sayang banget. Aku pengen ngejagain kamu semaksimal mungkin. Sekuat tenaga aku. Tapi itu gak bisa. Jujur, waktu kita putus di taman itu, saat aku ngeliat kamu berduaan sama Alvin, aku sakit. Sakit banget. Aku gak nyangka kamu bisa kayak gitu ke aku. Aku gak ngasih kesempatan ke kamu buat kamu ngejelasin ke aku, aku malah gak maafin kamu saat kamu minta maaf. Aku sebenarnya gak tega ngeliat kamu kayak gitu. Aku gak tega liat kamu nangis. Karena aku tahu, kamu udah menyesali semuanya. Tapi entah kenapa aku masih belum bisa buat maafin kamu. Karena gengsi kali ya? Entah ya aku gak tau. Pokoknya sampai sekarang aku masih sayang sama kamu. Aku udah maafin kamu, sebenarnya. Bahkan harusnya aku kali ya, yang harus minta maaf sama kamu? Okedeh, maafin aku ya karena aku udah gak maafin kamu. Aku nyeseeeeeeeel banget. Dan soal penyakit ini? Ehm…aku baru tau penyakit ini sekitaaaaar setahun yang lalu kali yak. Gak tau juga deh. Mungkin ini juga yang bikin aku gak bisa buat bersikap baik ke kamu. Karena aku takut, disaat kita udah baikan, kita jadi deket, entah sebagai teman, atau malah kita balikan, aku harus ninggalin kamu. Aku tau itu konyol. Itu terlalu kayak sinetron dan novel lainnya. Tapi memang iya. Aku lebih milih untuk nyakitin kamu untuk hal itu aja, sekali. Gak untuk kedua kali. Ah…aku juga hak ngerti apa kesimpulannya. Pokoknya, aku minta maaf, aku sayang kamu. Peluk cium aku buat kamu. Dan aku harap, kamu bisa cepet-cepet lupain ini. Ah, maksudnya nyimpen ini di kotak khusus kenangan kita berdua. Dia hati kamu. Jangan terus terpuruk. Oke? Peluk cium hangat dari aku buat kamu. Ohiya, bilangin ke Agni dan Ify, aku juga minta maaf karena udah nyakitin kamu, sahabat mereka. Buat Gabriel juga, aku makasih karena dia udah setia jadi sahabat aku. Buat Cakka juga. aku sayang kalian semua. Terlebih kamu. Jangan pernah lupain aku ya.
Mario.
***
Sivia duduk di bangku taman. Pakaiannya masih lengkap berwarna hitam. Ia tidak kuat untuk terus berada di dekat tempat peristirahatan terakhir Rio. Langit seakan ikut merasakan duka yang ia rasakan. Gerimis mulai tercipta. Menemani Sivia yang duduk sendirian di bangku itu. Tak peduli kilat yang terus menyambar.
Air matanya sudah menggering. Bahkan tak nampak, karena air hujan yang semakin deras, ikut membasahi tubuhnya. Hanya surat terakhir dari Rio yang ia selamatkan. Ia taruh di saku celananya. Berharap surat itu tak rusak sedikitpun. Hanya itu peninggalan terakhir dari Rio.
Tuhan, mengapa secepat ini? Mengapa kau tak memberikan satu hari saja, untuk Sivia meluapkan rasa rindunya kepada Rio? Mengapa hanya berjarak 8 jam, setelah jengukkan pertama Sivia di rumah sakit itu? Tuhan, apa lagi rencanamu?
Sivia hanya diam. Memandang kosong ke depan. Menikmati rintikkan hujan yang berjatuhan tepat di ubun-ubunnya. Biasanya ada Rio yang melarangnya untuk hujan-hujanan…..
***
OKE INI ANEH BANGET. NGAWUR. GAK JELAS. KOMENNYA YA. KARENA AKU TAU, INI SEMUA FREAK. HA HA HA. Aku tunggu setiap kritikan dari kalian.
Peaceloveandgaul
@dhitals
Subscribe to:
Posts (Atom)