Tuesday, October 12, 2010

Kata yang Tak Sempat Terucap

Finished : October, 7th 2010, 10.49p.m

Sivia menyusuri koridor sekolahnya. Langkahnya terasa ringan. Dia bersemangat sekali karena hari ini hari favoritnya. Selasa. Entah mengapa ini selalu menjadi hari keberuntungannya. Kini, ia sudah duduk di bangku kelas XI. Dalam hati, ia masih terus berusaha menghapus masa-masa kelam saat 2 tahun lalu. Walau terkadang, ingatan itu selalu muncul, dan membuat rasa menyesal dan bersalahnya menyeruak dalam sukma.


Rio. Lelaki itu. Sudah 2 tahun hubungan mereka berdua seperti orang yang tak pernah mengenal satu sama lain. Terakhir, Sivia mendengar kabar bahwa Rio telah pindah ke Manado, tempat asalnya. Membuat hubungannya dengan Keke kandas. Keke tidak bisa menerima jika ia dan Rio harus berhubungan jarak jauh. Kira-kira seperti itulah yang Gabriel ceritakan kepada Sivia.


Mungkin hanya Sivia yang tahu bagaimana masih terjaga perasaannya untuk Rio. Walau ia tau ini hanya sia-sia, dan ia sendiri sangat ingin menghilangkan perasaan ini. Jika takdir berkata lain, apa boleh buat? Mungkin takdir mengatakan bahwa ia harus menyayangi Rio dan terus menunggunya.


Sivia memasuki kelasnya, duduk di bangkunya. Disitu sudah ada Ify, Agni, dan Oik-temannya semenjak masuk SMA.


“Hey.” sapa Sivia pada ketiga teman-temannya. Lalu menaruh tas dan memutar duduknya, menghadap ke belakang agar bisa bertatapan muka dengan Agni dan Oik.


“Hey Vi.” sapa Agni balik.


“Hari ini gak ada PR kan?” Tanya Sivia, memastikan.


“Ada kali Vi.” jawab Ify, dengan muka mengingatkan, “jangan bilang lo lupa. Pr mate Vi mate!” lanjutnya geregetan.


Sivia menepuk jidatnya, ”mana mana gue liat.” Katanya, sibuk mencari buku PR matematikanya.


“Yah elo Vi cepetan, bell bentar lagi.” kata Oik, memukul-mukul pelan meja, memberi semagat pada Sivia, agar cepat-cepat. Sivia heboh. Terus menyalin PR Ify. Saat sedang asik menyalin, tiba-tiba seisi kelas dibuat sepi mendadak karena kedatangan Bu Ira bersama seorang lelaki, yang diyakini adalah murid baru. Agni dan Ify tercekat ketika melihat rupa si Murid baru. Ify menjawil-jawil pelan bahu Sivia. Sivia tidak mengindahkan, dia masih sibuk menyalin PR Matematika. Oik memasang wajah heran.


Oik bertanya pelan kepada Agni ”ada apa sih Ag?”, penasaran.


“Itu…… Rio….mantan Sivia.” jawab Agni, air mukanya sedikit cemas. Sebelumnya Oik memang sudah sering diceritakan tentang Rio oleh Agni, Ify, bahkan Sivia sendiri. Oik mengintip Sivia yang masih menyalin. Oik menggidikkan bahu. Ify geregetan ingin memberi tahu Sivia.


“Anak-anak, kalian dapet temen baru.” kata Bu Ira dari depan kelas. Rio tampak malu-malu.


“Iya buuu.” koor semuanya termasuk Sivia, walau tangannya masih terus menulis.


“Nama saya Mario Stevano Aditya Haling, kalian bisa panggil saya Rio.” Rio memperkenalkan dirinya, lalu tersenyum manis. Senyum andalannya. Senyum yang masih selalu Sivia ingat. Seluruh siswi terpesona dengan senyumannya itu. Para siswa hanya mendecakkan lidah. Sivia mematung. Benarkan nama yang baru saja ia dengar adalah nama Rio? Dengan ragu, Sivia mendongakkan wajahnya dan melihat kedepan. Pulpen yang tadi ia pegang terlepas begitu saja ketika melihat wajah Rio. Sedangkan Rio masih belum menyadari adanya Sivia. Bahwa ia berada dalam satu ruangan dengan Sivia.


“Rio, kamu duduk di pojok sana yah sama Cakka.” perintah Bu Ira, menunjuk kursi kosong di sebelah Cakka, yang terletak di pojok belakang kanan kelas.


“Baik bu.” Rio mengangguk, lalu melangkahkan kaki dan duduk di sebelah Cakka. Setelah dipastikan Rio sudah duduk, Bu Ira kembali meninggalkan kelas.


“Gue Cakka.” kata Cakka ramah, mengulurkan tangannya ke arah Rio, mengajaknya berjabat.


“Gue Rio.” Jawabnya, membalas uluran tangan Cakka.


Sivia yang duduk 3 meja di depan meja Cakka, merasa badannya membeku. Gugup. Wajahnya seketika berubah pias. “Fy, itu…Rio…Rio…gue?” katanya, berbisik pada Ify.


“Iya Vi.” jawab Ify, ikut merasakan kegugupan Sivia. ,”lo dari tadi gue toelin malah diem aja.”


“Gue pindah kelas deh.” Kata Sivia. Raut wajahnya memelas dan takut.


“Santai aja Vi, santai.” kata Ify menenangkan, mengusap-usap bahu Sivia. Sivia berharap bahwa ini hanya mimpi buruk. Tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya untuk berhubungan, ehm bahkan berdekatan lagi dengan Rio. Faktanya, kini jaraknya dengan lelaki itu tak lebih dari 10 meter.






***






Sivia terus menerus memastikan bahwa Rio tidak beranjak dari manapun. Terus bermain basket bersama Cakka, dan anak basket lainnya, di lapangan sana. Dalam hati ia terus berdoa, jika ia hendak ke kantin -seperti sekarang ini-, Rio tak melihat dirinya. Bahkanjika permohonannya akan dikabulkan, ia ingin Rio tak akan pernah mengetahui bahwa mereka saat ini berstatus pelajar dalam satu kelas yang sama.


“Ayo dong Vi…keburu bell masuk nih…” kata Agni, menarik-narik lengan Sivia untuk segera pergi menuju kantin. Sivia tidak berajak. Masi terus duduk seraya mengintip Rio dari jendela kelas. Menatapi setiap buliran keringat yang mengucur deras di pelipisnya.


“Santai kaliii…… Rio gak akan liat lo! Apa kita tinggalin nih?” tambah Oik, yang juga ikut kesal. Terlebih dengan alasan Sivia tidak mau ikut ke kantin.


“Iya deh iya gue ikut.” Kata Sivia akhirnya. Agni dan Oik mengurut dada. Ify langsung merangkul Sivia. Mereka beriringan jalan menyusuri koridor. Menuju kantin yang terletak di sudut kiri sekolah.


Diam-diam, Sivia mengintip Rio melalui sudut matanya. Jujur, dia sangat senang akhirnya dapat menikmati setiap lekukan wajah tampan itu. Sivia kembali menunduk. Menyusuri susunan keramik di lantai koridor. Ify, Agni, dan Oik yang melihat hanya menggelengkan kepala.


Gabriel melambaikan tangannya ketika mengetahui Ify dan yang lainnya baru saja memasuki kantin, dan tidak kebagian tempat duduk. Mereka pun langsung menuju tempat Gabriel. Tempat yang memang menjadi tempat favorit mereka. Di sudut kantin, dekat tukang siomay.


“Lo kenapa Vi?” tanya Gabriel, menumpukkan tubuhnya pada sisi meja. Menemukan Sivia yag duduk di hadapannya dengan wajah pias.


“AAAHHHH! Gak kuat gue ceritanya.” Sivia menutup wajah menggunakan kedua telapak tangannya. Gabriel mendelik ke arah Ify -yang duduk di sisi kanannya- Agni, dan Oik -yang duduk menghimpit Sivia-, berharap menemukan sedikit penjelasan.


“Rio pindah sekolah. Dan ternyata ke sekolah ini. Dan lo tau? Sekelas sama gue dan Sivia.” Jelas Agni, setelah menerima pesanan siomay dari tukang siomay andalan kantin.


Gabriel sedikit tersentak. Kembali menatap Sivia, mengerti bagaimana kalutnya perasaan sahabatnya itu. “Santai aja lah Vi… dia juga mungkin udah lupa sama kejadian itu. dan udah maafin lo.” Kata Gabriel, memainkan sedotannya, lalu menghirup jus jeruknya yang tinggal tersisa satu perempat gelas. Ify yang tengah menikmati bubur ayam hanya mengangguk setuju.


Sivia membuka wajahnya, mencoba untuk tersenyum. Gagal. Miris. “kalau dia juga lupa sama gue gimana?” katanya, kembali mengerucutkan bibirnya. Gabriel menggaruk tengkuk.


“Intinya sekarang lo gak usah mikirin itu deh. Liat nanti aja kedepannya gimana. Jangan jadiin beban ke sekolah dengan adanya dia. Malah jadiin motivasi.” Gabriel lalu kembali menghirup jusnya sampai habis. Agni, Ify dan Oik kompak mengangkat jempol. Sivia mendesah panjang, lalu menganguk kecil. Berharap ucapan Gariel bisa ia laksanakan.


Dalam hati, Sivia berharap bahwa Rio akan mengingatnya dan benar-benar melupakan kejadian masa lalu. Ehm…maksudnya sudah memaafkan Sivia. Dan dia sangat berharap, Rio akan bersikap ramah padanya. Memberi Sivia sedikit harapan kembali. Sivia menelan ludah. Itu tidak mungkin.






***






Dengan enggan Sivia melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah. pandangannya tak jelas arah. Ia sendiri tak mengontrol langkah kakinya. Nyawanya hilang entah kemana. Tidak bersatu dengan raganya. Akibat panik. Karena Rio. Terlalu panik.


Tanpa sadar, saat ia akan memasuki kelasnya, seseorang dari dalam kelas, yang hendak keluar menabrakanya. Membuat Sivia tersadar dan buku paket Kimia dan paket Bahasa Indonesia terjatuh. Belum lagi tali sepatunya juga lepas.


“Sorry-sorry.” kata Sivia, merasa menjadi pihak yang salah, sambil membungkuk, membenarkan tali sepatunya.


“Iya gak apa-apa.” jawab si korban, mebenarkan bajunya akibat tabrakan dengan Sivia.


Sivia berdiri, setelah mengikat tali sepatunya dengan rapih, dan kembali menjinjing kedua buku paketnya. Perlahan dia membenarkan posisi beberapa helai poni yang menutupi matanya. Dilihatnya wajah si korban yang baru saja menegakkan wajah. ‘Mampus RIO!’ batin Sivia, lalu kembali menunduk. Rio tersentak melihat siapa yang ada di hadapannya. Perasaan yang dulu ia endapkan sampai ke dasar tia-tiba menyeruak kembali. Perasaan benci. Rio menatap Sivia dengan tatapan angkuh, lalu berjalan keluar kelas. Meninggalkan Sivia yang terdiam mematung.


Sivia menggigit bibir bawahnya. Tak beranjak satu centi pun dari tempatnya terakhir berdiri. Sedangkan Rio sudah berjalan menjauh. Meninggalkan Sivia dengan luka yang membekas. Air hangat yang di produksi dari mata beningnya sudah siap untuk meluncur. Mengaliri pipi lembutnya.


Sivia menegadah. Menarik nafas dan menghembuskannya secara kasar. Dia lalu melangkah memasuki kelas, menuju bangkunya yang sudah ada Ify disana, tengah asik menyalin PR. Agni dan Oik yang duduk di belakang pun sama.


“Ada PR apa?” tanya Sivia, setelah duduk di bangkunya, dan membanting kasar tasnya. Dia lalu mengintip buku Ify.


“Bahasa Inggris. Lo udah belum?” kata Ify, tanpa menghentikan akifitasnya. Terus menulis dengan serius. Sivia setengah berfikir. Mengingat-ngingat. Dia lalu mengangguk.


“Gue udah.” Katanya. Dia memang telah mengerjakan PR itu semalam. Dengan kerja keras, karena terus menerus bayangan Rio mengusik pikirannya. Ify tidak menggubris.


Hening.


Sivia lalu mengeluarkan iPodnya. Baru saja ia akan menekan tombol untuk memutar lagu, sosok itu melewatinya. Sosok yang diam-diam masih memiliki dan selalu memiliki ruang istimewa di sudut hati Sivia. Sivia hanya mempu menunduk, seraya meremas ujung roknya. Ia benci mengapa ia dan pemuda itu harus terus menerus seperti ini. Ia benci mengapa ia masih menaruh hati pada sosok itu. Ia benci pada Rio karena Rio mebencinya.


Ify menyeleting tempat pensilnya, setelah menaruh pulpen ke dalamnya. Lalu menjawil pelan bahu Irva, mengembalikan buku Irva yang baru saja selesai ia salin. Ify mengusap pelan bahu Sivia. Berusaha mengerti luka yang terasa mengelupas di permukaan hati Sivia. “sabar yah Vi…semua pasti ada waktunya kok. Waktu dimana lo sama dia bakalan damai.” Kata Ify. Semalam Sivia mencurahkan semua perasaannya kepada Ify lewat telefon. Yang membuat Ify sendiri tidak mengerti jalan pikiran Rio, maupun Sivia.


Sivia mengangkat wajahnya. Menatap Ify dan mengangguk pelan. Berusaha mengulas senyum, tapi naas, gagal. Terdapat titik bening di sudut matanya. Cepat-cepat Sivia menyekanya. Tidak ingin sedikitpun buliran itu menelusuri pipinya untuk saat ini. Dan ia harap, untuk hari ini.


“ Lama kelamaan semua bakalan kayak biasa kok. Jangan jadiin ini beban, My sweetest friend.” Timpal Agni dari belakang. Sivia tidak menoleh. Haya mengangguk pelan. Karena ia tahu, jika menoleh ke belakang, ia akan melihat sosok itu. Dan ia tidak mau untuk melihatnya. Walaupun sebagian besar di hatinya sudah tidak sanggup menahan kerinduannya terhadap Rio. Ia ingin menatap setiap lekukan wajahnya dan menikmati setiap aura yang Rio pancarkan.






***






Sivia mengaduk-aduk jus jerukya menggunakan sedotan. Tak ada niat sedikitpun untuk menghirupnya. Dagunya ia topang menggunakan tangan kirinya yang kokoh. Bibirnya sedikit mengerucut. Ify, Gabriel, Agni, dan Oik yang ada disitu hanya mengangkat bahu. Tidak tahu harus berbuat apa untuk mengembalikan keceriaan Sivia, yang baru menghilang 2 hari tapi begitu terasa. Sivia terus melamun. Terus tenggelam. Tak peduli dengan gemuruh suara katin yang membuat kuping pengang.


“Vi…udahlah jangan di pikirin.” Kata Gabriel yang duduk di sisi kirinya. Sivia tiak mengindahkan ucapan itu. terus tenggelam dalam pikiran kosongnya. Gabriel mendengus pelan, kembali menikmati bubur ayamnya.


“Lo mau minta maaf lagi sama Rio? Biar, ya mungkin, semua bakalan lebih baik?” usul Agni tiba-iba. Yang walau, bukan suatu usul yang indah. Oik yang duduk di sisi kanannya mencubit pelan lengannya. Sedangkan Ify yang duduk di hadapannya menginjak pelan kakinya. Agni meringis.


“Gue gak tau. Gue benci. Gue kesel. Gue gak sukaaaaaa!” seru Sivia tiba-tiba. Mungkin ingin berteriak, tapi nafasnya tercekat. Lalu yang tercipta hanya suaranya yang lirih.


Gabriel merangkul Sivia, sahabatnya semenjak masuk SMP, “Vi, lo jangan gini lah. kalau kayak gini, Rio ngerasa dia hebat karena dia udah ngancurin lo secara gak langsung. Lo harus bangkit. Jangan di mau anggep lemah. Lo harus bersikap kayak dia bersikap ke elo. Oke? Dan…jangan pernah mintaa maaf!!!!!” Gabriel lalu mengusap pelan ubun-ubun Sivia. Ikut prihatin dengan sahabatnya itu.


Sivia menegakkan wajahnya, lalu perlahan menghirup jus jeruknya. “GUE HARUS BISAA!” katanya dengan nada penuh semangat. Lalu mengukir senyumnya. Senyum yang diam-siam selalu Rio ingat, dan kini, Rio rindukan. Dalam hati, Sivia berdoa agar ucapannya bisa menjadi kenyataan. Ia sendiri ingin terlepas dari jeratan ini.





***






Waktu tak akan pernah berhenti untuk berputar. Mengganti cerahnya langit menjadi begitu pekat. Andai waktu bisa diulang, semua orang yang ada di dunia pasti menginginkannya. Memperbaiki kesalahan di masa lalu.


Sivia duduk di sisi jendela kamarnya. Menyenderkan kepalanya di dinding sebelah jendela. Membiarkan tubuhnya di belai oleh angin malam yang berhembus secara kasar. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Hanya memakai piama, tanpa memakai sweater atau jaket. Dinginnya udara malam ini begitu menusuk hingga rusuknya. Terasa menyakitkan. Terlebih jika….


Sivia menggeleng pelan. Cukup. Ia tak tahan dengan semuanya. Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu ia tidak pernah tidur dengan nyenyak. Tidak pernah merasakan debaran jantungnya berdetak secara normal. Tidak pernah merasa lepas. Satu minggu itu penuh penyiksaan. Karena dia.


Rio. Membuatnya menjadi sebegitu buruk. Ia lelah untuk menanti Rio. Lelah menanti kapan Rio akan tulus memaafkannya. Lelah menanti sampai kapan ia dan Rio akan bersikap seperti ini. Ia tahu diri, ia hanya ingin berteman dengan Rio. Itu saja. Simple.


Angin malam yang berhembus, mengeringkan riak sungai yang membekas di pipi Sivia. Walau ia tahu, menangis tak akan pernah membuat masalah ini selesai, setidaknya ini bisa menguragi rasa sesak yang menyelimuti dadanya. Wanita menangis bukan karena dia lemah. Itu sarana untuk meluapkan emosinya.






***




Siapalah yang dapat mengetahui isi hati kecilmu, selain kau sendiri dan Tuhan yang Maha Mengetahui? Siapalah yang akan merasakan sakit yang kau rasa, akibat seseorang menggoreskan luka, secara sengaja, hingga membekas di dasar hati, yang melepuh jika kau melihat si pembuat luka?


Lelaki itu menatap kosong ke arah bentangan langit. Malam ini, langit begitu pekat. Tak ada setitik bintang pun yang muncul. Hanya cahaya bulan yang terus setia menerangi. Menemani dirinya, yang kini termenung sendiri.


Racun itu telah menggerogoti akal sehatnya. Dan perlahan, juga menggerogoti tubuhnya. Apa yang membuatnya bersikap seperti ini, ia sendiri tak tahu apa jelasnya. Yang ia tahu, secara pasti, ia tak ingin membuat seseorang itu merasakan luka yang ia rasakan.


Apakah ia tahu, bahwa dirinya sungguh amat keliru?


Dengan ragu, ia mulai menarikan jarinya di atas senar-senar gitar, yang sedari tadi hanya dipangkunya. Mulai mengekspresikan lara hatinya melalui gitar itu. Nada-nadanya membuat sebuah intro sebuah lagu. Lagu yang sedari dulu tetap bertahan, menjadi lambang kepedihan hatinya.






***






Terlarut dalam sebuah kepahitan bukan sesuatu yang baik. Bagaimanapun, kita harus terus bangkit. Menyongsong hidup yang telah menanti di depan. Menyambut cita-citamu dengan tangan terbuka. Gapai kebahagianmu kembali. Jangan pernah melepasnya. Genggam dengan tanganmu. Sekuat-kuatnya.


6 bulan sudah, Sivia dan Rio terus menyendiri. Memisahkan perasaan mereka berdua dengan ego yang mereka buat sendiri. Rio terus bersikap angkuh, tanpa memberikan Sivia peluang sedikitpun. Sedangkan Sivia, hanya memendamnya. Karena perasaan takut menjalari hatinya kuat-kuat.


“Vi, lo serius gak akan mau minta maaf lagi sama Rio?”


Sivia mendengus kencang mendengar pertanyaan Agni. Ia menghentikan aktifitasnya, yang sedari tadi hanya mengaduk jusnya menggunakan sedotan. “Gak tau!.” Jawabnya judes. Ia menopang dagunya menggunakan tangan kirinya.


Ify merangkul Sivia. Ikut merasakan apa yang selama ini sahabatnya rasakan. Sivia sudah berusaha melupakan ini sekuat tenaganya. Tapi ada dimana saat titik jenuhnya mulai menyeruak. “Jalanin aja yang ada di depan. Gak usah mikirin ini, oke?” kata Ify. Oik dan Agni ikut mengangguk. Sivia hanya diam. Mampukah ia bertahan lebih lama dengan keadaan seperti ini?






***






Sivia duduk di sisi koridor. Memandang ke arah lapangan. Melihat Riko, Cakka, Gabriel, Kiki, Septian, dan, ehm…Rio sedang bermain basket. Melakukan pertandingan three on three. Isitirahat kali ini ia pilih untuk duduk sendirian disini. Tepatnya, menyendiri. Ia hanya ingin mencoba untuk bersikap lebih dewasa.


Lelaki itu masih sama. Sangat sama. Caranya tertawa. Caranya mendribel bola. Caranya megelap peluh yang membasahi pelipisnya. Semuanya masih sama. Dan masih selalu Sivia ingat betul, secara detail. Yang Sivia simpan di dalam kotak hatinya yag paling rahasia. Tanpa satu orang pun yang tahu cara membukanya.


Seandainya waktu dapat di ulang….


Aaaah……… ia muak.


Seandainya semua permasalahan bisa di selesaikan dengan permintaan maaf. Mungkin, ini tak akan pernah terjadi. Mungkin saat ini, ia sedang duduk di samping Rio yang sedang duduk memijat lutunya sendiri, berusaha mengatur nafasnya yang terpenggal, menyodorkan sebotol air minum untuk Rio.


Aaahhhh….. menyakitkan. Itu tak akan pernah terjadi.


Sivia menggelengkan kepalanya cepat. Berusaha menghilangkan pikiran ini. Pikiran yang dapat membuat sikapnya berubah menjadi 180°.


“Jadi……gimana?” tanya seseorang, yang tiba-tiba sudah duduk di sisinya. Perlahan orang itu meneguk air dari botolnya.


Sivia menoleh. Menemukan Gabriel dengan keadaan keringat bercucuran dimana-mana. Padahal, ini masih istirahat. Walau istirahat kedua, tetap saja, mereka masih akan ada jam pelajaran. Walau hanya 1 jam saja.


“Gimana apanya?” kening Sivia berkerut. Sebenarnya ia mengerti. Sangat mengerti malah.


Gabriel terkekeh, mengalihkan pandangannya dari Sivia menuju lapangan, yang kini kosong. “Ya lo lah…sama Rio.” Kata Gabriel santai, kembali menatap Sivia, menyunggingkan senyum.


Sivia menarik nafas. Dadanya sedikit tercekat akibat memikirkan tentang Rio kembali. Ia mendesah pelan. “Gak tahu Yel, menurut lo…gue harus gimana?”


Gabriel menepuk bahu Sivia pelan, “Minta maaf, gak ada salahnya kok.”


“Kata lo waktu itu jangaaaaannn….” Kata Sivia heran, mengingat nasihat Gabriel waktu di kantin.


“Masalahnya, sekarang ini udah terlalu lama lo kayak gini. Menyiksa perasaan satu sama lain. Gue yakin, Rio sendiri ngerasa gak nyaman. Walau, lo udah berusaha ngelupai semua, dan bersikap seolah gak ada apa-apa, tapi lo pengen lah semuanya benar-benar kembali norman?” tutur Gabriel panjang. “gak akan bisa selesai kalau gak ada yang ngalah duluan.”


“Gue belum siap. Gue takut.” Kata Sivia, lalu menunduk.


“Kalau terus takut, kapan beraninya?” Gabriel kembali menepuk bahu Sivia, “ayolah. Lo pasti bisa kok. Rio juga gak akan ngapa-ngapain lo, kan?”


Sivia menoleh, menatap Gabriel yang tengah tersenyum. Memberinya sedikit semangat. Ia balas tersenyum, lalu mengangguk. “Besok yah Yel, anterin gue minta maaf.” Kata Sivia. Dalam hati, ia masih berharap, ini keputusan yang benar. Bukan keputusan yang nantinya akan kembali membuatnya kecewa. Gabriel mengacak pelan poni Sivia. Ia tahu, sahabatnya itu pasti bisa.






***






Hanya ditemani Cakka, Gabriel dan Mamah dari yang bersangkutan, Sivia terus berlari menyusuri koridor. Bau-bau khas tempat ini sudah sangat tercium jelas di hidungnya. Pikiran negative terus berkelabat dalam sukmanya. Membuatnya terus menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.


Mereka berhenti di depan sebuah ruangan. Di pintu ruangan, bertuliskan siapa pasien yang ada di dalam, beserta jam besuk yang secara khusus untuk pasien tersebut. Mamah membuka kenop pintu perlahan, menimbulkan suara decitan halus. Tak akan membangunkan siapapun.


Gabriel merangkul Sivia. Merasakan Sivia yang sudah mulai pucat dan bergemetar. Ia dan Cakka sendiri sudah tidak sanggup, jika apa yang sedari tadi mereka pikirkan, bahwa itulah sebuah kenyataan.


Dia tertidur. Belum terbangun. Hanya dibantu dengan beberapa alat medis yang tertempel di beberapa bagian tubuhnya, ia masih bisa bertahan. Mamahnya duduk di samping ranjangnya, menggenggam kuat jemarinya. Seakan berusaha mengirim seluruh kekuatan yang ia miliki, untuk seseorang yang ia genggam.


Gabriel melepas rangkulannya. Membiarkan Sivia berjalan mendekat. Terus mendekat. Hingga akhirnya menatap wajah orang itu dari dekat, secara jelas. Ia harap ini hanya sebuah mimpi buruk. Agar saat ia terbangun, semua akan baik-baik saja. Ia rela bermusuhan selamanya dengan seseorang yang tergoler lemah ini, dari pada harus melihat seseorang ini dengan keadaan sebegitu memilukan.


Sivia menarik bangku, duduk di samping ranjang. Ranjang Rio. Rio lah pasien itu. Pasien dengan keadaan mengenaskan. Sivia megusap lembut rambut Rio. Sekuat tenaga, ia terus mempertahankan beningnya, agar tak terjatuh begitu saja di pipinya. Sementara Cakka dan Gabriel, berdiri di kaki ranjang. Mereka sendiri masih sangat tidak percaya dengan ini semua.


“Udah 2 minggu Rio disini, dia koma.” Kata Mamahnya Rio. Perlahan ia menghapus jejak air mata yang membekas di pipinya. “Sebenarnya dari kemarin dia memanggil nama kalian bertiga, tapi tante baru ngeresponnya hari ini. Dan tante harap, dengan adanya kalian disini, bisa ngebantu Rio untuk sadar.” Mamahnya Rio kembali terisak. Ia duduk di sebrang Sivia, hanya di pisah oleh ranjang Rio.


“Emang Rio…sakit apa Tan?” tanya Sivia berhati-hati. Matanya sudah berkilau, menahan mutiaranya.


“Leukimia.” Jawab Mamah Rio. Sivia diam. Separah itukah?


“Dari kapan?” tanya Sivia lagi, ingin mengetahui secara jelas.


“Kami tahunya semenjak kami baru pindah ke manado. Rio yang minta pindah ke manado, dia ingin melupakan kenangan yang ada disini. Tapi gagal. Lalu tiba-tiba, dia meminta kami untuk kembali pindah ke Jakarta. Dan dia minta untuk di sekolahkan di sekolah yang sama dengan kamu.” Bening dari mata Mamahnya Rio kembali mengalir. Tanpa ada hasrat sedikitpun untuk diseka.


Pondasi pertahanan bening itu runtuh. Menyebabkan bening itu menyeruak keluar, membanjiri pipi Sivia. Membentuk aliran sungai kecil. Apakah yang ia dengar, dari ujung kalimat Mamahnya Rio benar? Lalu…mengapa Rio….


Cakka dan Gabriel memilih duduk di sofa. Terus memanjatkan do’a untuk sahabat mereka. Walau Cakka dan Rio baru berteman sekitar 8 bulan, rasa persahabatan mereka mulai terasa. Dan kini, ia merasa belum sempat kehilangan, jika Rio nantinya akan benaar-benar pergi.


“Rio menulis surat untukmu. Ia menulisnya saat ia baru pindah dari manado ke Jakarta, saat hari pertama. Dan dia menitipkannya ke tante, untuk di berikan kepada kamu jika….kondisinya seperti ini….” Mamahnya Rio menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Dadanya sesak. “Kamu mau lihat?” Sivia hanya mengangguk pasrah. Tak mampu untuk berkata apapun lagi. Ia sudah tak sanggup untuk menopang dirinya sendiri. Terlalu lemah.






***






Dear my sweetest ex girlfried.






Hahahaha. Sebenernya aku masih gak rela manggil kamu sebagai mantan aku. Karena kenyataannya, posisi kamu masih sama saat kamu masih jadi cewek aku. Kamu tau gak kenapa aku nulis surat ini? Karena aku sayang sama kamu. Aku sayang banget. Aku pengen ngejagain kamu semaksimal mungkin. Sekuat tenaga aku. Tapi itu gak bisa. Jujur, waktu kita putus di taman itu, saat aku ngeliat kamu berduaan sama Alvin, aku sakit. Sakit banget. Aku gak nyangka kamu bisa kayak gitu ke aku. Aku gak ngasih kesempatan ke kamu buat kamu ngejelasin ke aku, aku malah gak maafin kamu saat kamu minta maaf. Aku sebenarnya gak tega ngeliat kamu kayak gitu. Aku gak tega liat kamu nangis. Karena aku tahu, kamu udah menyesali semuanya. Tapi entah kenapa aku masih belum bisa buat maafin kamu. Karena gengsi kali ya? Entah ya aku gak tau. Pokoknya sampai sekarang aku masih sayang sama kamu. Aku udah maafin kamu, sebenarnya. Bahkan harusnya aku kali ya, yang harus minta maaf sama kamu? Okedeh, maafin aku ya karena aku udah gak maafin kamu. Aku nyeseeeeeeeel banget. Dan soal penyakit ini? Ehm…aku baru tau penyakit ini sekitaaaaar setahun yang lalu kali yak. Gak tau juga deh. Mungkin ini juga yang bikin aku gak bisa buat bersikap baik ke kamu. Karena aku takut, disaat kita udah baikan, kita jadi deket, entah sebagai teman, atau malah kita balikan, aku harus ninggalin kamu. Aku tau itu konyol. Itu terlalu kayak sinetron dan novel lainnya. Tapi memang iya. Aku lebih milih untuk nyakitin kamu untuk hal itu aja, sekali. Gak untuk kedua kali. Ah…aku juga hak ngerti apa kesimpulannya. Pokoknya, aku minta maaf, aku sayang kamu. Peluk cium aku buat kamu. Dan aku harap, kamu bisa cepet-cepet lupain ini. Ah, maksudnya nyimpen ini di kotak khusus kenangan kita berdua. Dia hati kamu. Jangan terus terpuruk. Oke? Peluk cium hangat dari aku buat kamu. Ohiya, bilangin ke Agni dan Ify, aku juga minta maaf karena udah nyakitin kamu, sahabat mereka. Buat Gabriel juga, aku makasih karena dia udah setia jadi sahabat aku. Buat Cakka juga. aku sayang kalian semua. Terlebih kamu. Jangan pernah lupain aku ya.






Mario.






***






Sivia duduk di bangku taman. Pakaiannya masih lengkap berwarna hitam. Ia tidak kuat untuk terus berada di dekat tempat peristirahatan terakhir Rio. Langit seakan ikut merasakan duka yang ia rasakan. Gerimis mulai tercipta. Menemani Sivia yang duduk sendirian di bangku itu. Tak peduli kilat yang terus menyambar.


Air matanya sudah menggering. Bahkan tak nampak, karena air hujan yang semakin deras, ikut membasahi tubuhnya. Hanya surat terakhir dari Rio yang ia selamatkan. Ia taruh di saku celananya. Berharap surat itu tak rusak sedikitpun. Hanya itu peninggalan terakhir dari Rio.


Tuhan, mengapa secepat ini? Mengapa kau tak memberikan satu hari saja, untuk Sivia meluapkan rasa rindunya kepada Rio? Mengapa hanya berjarak 8 jam, setelah jengukkan pertama Sivia di rumah sakit itu? Tuhan, apa lagi rencanamu?


Sivia hanya diam. Memandang kosong ke depan. Menikmati rintikkan hujan yang berjatuhan tepat di ubun-ubunnya. Biasanya ada Rio yang melarangnya untuk hujan-hujanan…..






***


OKE INI ANEH BANGET. NGAWUR. GAK JELAS. KOMENNYA YA. KARENA AKU TAU, INI SEMUA FREAK. HA HA HA. Aku tunggu setiap kritikan dari kalian.






Peaceloveandgaul


@dhitals

No comments:

Post a Comment