Saturday, August 14, 2010

One Day

Finished at : 2010, August, 10th . 01:48pm




Dengan kasar, dia melempar amplop yang berwarna coklat berukuran besar itu ke lantai. Badannya sendiri ia banting ke atas kasurnya. Dia mengacak-acak rambutnya sendiri, menjambak-jambaknya. Meluapkan
emosinya.

“AAAAAAH!!!!!” serunya, tertahan. Berharap amarahnya segera hilang. Usahanya gagal. Amarah itu masih belum reda. Sama seperti tadi. Di telinganya masih terngiang-ngiang
ucapan Mamahnya siang tadi, seraya menyerahkan amplop itu. Ucapan yang ia harap
hanya ia dengar dalam suatu mimpi buruk.

“Kenapa hidup gue bentar banget sih di dunia?” tanyanya sendiri. Tanpa seorang pun yang akan menjawab. “kenapa harus gue yang kena penyakit biadab ini? Kenapa umur gue
sebentar lagi? Kenapa nyokap tega ngomong ini ke gue tadi?” dia melemparkan
guling bantal dan semuanya yang berada di atas tempat tidur. “Gue gak siap
ninggalin nyokap sama bokap. Gue gak siap ninggalin dunia…..” lirihnya. dia
masih mencoba tegar. Dia duduk di tepi ranjangnya, memeluk erat lututnya
sendiri. Amarah masih menyelimuti hatinya. Kesal, dia memilih untuk
menghilangkan penatnya dengan bermain basket di halaman belakang rumahnya.
Mamah dan Papahnya yang melihat dia menuruni tangga dan berjalan ke taman belakang
dengan wajah penuh kesenduan dan kemarahan hanya bisa menggigit bibir. Kalau
bisa, mereka juga ingin menggantikan poisisi putra mereka itu. jangankan
menggantikan posisi, memulihkan keadaan putranya saja sudah sangat tidak bisa.


***


Pagi-pagi dia sudah duduk di meja makan keluarganya. Bersama Papah dan Mamahnya, mereka memakan roti, untuk sarapan.

“Kamu ke sekolah di anter Pak Udin aja yah?” kata Mamahnya, mengoleskan selai ke atas rotinya sendiri.

“Engga usah mah, Iel bisa sendiri.” Jawabnya, yang tak lain adalah Gabriel. Dia pun menghabiskan rotinya dengan cepat.

“Nggak Yel, papah juga takut ada apa-apa sama kamu.” Timpal Papahnya, lalu meminum teh manis hangatnya.

Gabriel yang baru akan meminum susunya, menaruh kembali gelas itu, “Pah… mah…umur Iel gak lama lgi. Iel cuma pengen di sisa hidup Iel Iel ngelakuin semua yang belum
pernah Iel lakuin. Iel pengen di sisa hidup Iel bukan diisi dengan suatu
kelemahan. Anggap aja Iel gak ngalamin apa-apa.” Katanya, seraya tersenyum
bergantian ke arah kedua orang tuanya. Berusaha meyakinkan. Papah dan Mamahnya
hanya bisa mengangguk, pasrah. Sudah tidak sanggup jika Iel mulai membahas
penyakit itu.


***


Gabriel terus mendribel bola basketnya. Tidak peduli dengan hujan yang sedari tadi dengan deras terus turun membasahi bumi. Cakka yang menjadi kerabatnya dalam
bermain basket sedikit heran dengan kelakuan Gabriel hari ini. Pertama, dia
selalu menyapa semua orang di sekolah, padahal sebelumnya dia adalah orang
terdingin se antero sekolah. kedua, dia tidak mengerjakan PR dan dihukum,
padahal dia adalah murid paling pintar satu angkatan. Dan ketiga, dia yang
sangat semangat bermain basket, padahal biasanya dia hanya setengah jam mampu
bertahan bermain basket.

“Yel….sekolah udah sepi. Mang Didi udah mau nutup sekolah. ayo balik!!!!!” seru Cakka agak keras. Karena suara air hujan yang berisik. Dia duduk di pinggir lapangan,
sesekali memijat-mijat kakinya. Dari jam 3 hingga jam 7 dia dan Gabriel terus
bermain basket. Awalnya Cakka mengira mereka akan bermain basket hingga
Maghrib, ternyata sampai ba’da isya.

Gabriel menoleh ke arah Cakka, kepalanya mulai pusing. Dia melemparkan asal bola basket itu lalu mengangguk ke arah Cakka. “Lo bawa mobil kan? Anterin gue ke rumah yah. Gue males
bawa motor. Motor biar gue tinggal di sekolah aja.” Katanya, berjalan mendekati
Cakka.

Cakka menghembuskan nafas lega, lalu mengangguk. Mereka mengambil tas yang ditaruh di sisi koridor. Sembunyi-sembunyi Gabriel mengambil asal obatnya yang ia taruh di
tas dan menelannya tanpa bantuan air.

“Lo kok pucet? Sakit kan? Gue bilang juga udah mainnya. 2 jam kita main basket sambil ujan-ujanan” Cakka
memperhatikan wajah Gabriel, nadanya khawatir melihat bibir Gabriel yang memutih
dan wajahnya yang memucat.

Gabriel hanya menggeleng lalu menarik Cakka agar lebih cepat jaalan menuju mobil. Cakka hanya pasrah mengikuti. Gabriel masih menahan sakit itu. dia lupa membawa 1 jenis
obatnya lagi. Obat yang barusan dia minum tidak bereaksi penuh. Dia juga takut
hidungnya keburu mengeluarkan darah. Tak mau dilihat oleh sahabatnya itu.


***


Gabriel meringkuk di atas tempat tidurnya. Walau tadi dia sudah makan dan meminum obatnya, rasa sakit itu masih mencengkramnya. Darah segar sudah tidak lagi
mengalir melalui hidungnya. Mamahnya yang duduk di samping ranjangnya hanya
mampu mengelus rambut Gabriel seraya menangis.

“Kamu bandel sih Yel……kata Mamah juga jangan terlalu cape. Kalau nanti ngedown lagi gimana?” kata Mamahnya, sangat khawatir.

“Udah Mah, Gabriel gak apa-apa. Mamah jangan nangis ye.” Gabriel hanya tersenyum, tidak ingin membuat mamahnya sedih. Lalu berusaha mendudukan posisinya, dibantu
Mamahnya.

Mamahnya mengusap air matanya, menghapusnya. “Mamah gak mau denger lagi kamu ketinggalan obat, apalagi ujan-ujannan. Emangnya Cakka gak tau tentang penyakit kamu?”

Gabriel menggeleng lemah, “udahlah Mah, gak ada yang perlu tau tentang ini…..” katanya, nadanya lemas dan penuh permohonan. Mamahnya hanya mengangguk pasrah. Tidak
tega melihat kondisi putra semata wayangnya.


***


Gabriel dan Cakka tengah duduk di meja yang berada di tengah-tengah kantin. Membiarkan suasana kantin yang begitu ramai berdengung dalam kedua telinga mereka. Gabriel
dengan asik memakan buburnya, sementara Cakka lebih memilih memakan bakso.

“Yel….gimana Sivia anak 11 IPA 4 itu?” kata Cakka tiba-tiba. Nadanya sedikit menggoda. Membuat Gabriel yang tengah mengunyah buburnya tersedak. Beruntung disitu ada
air mineral, yang langsung Gabriel buka dan minum.

“Siviia? Sivia Azizah? Gimana apanya?” tanya Gabriel pura-pura tak mengerti, lalu melanjutkan makannya.

“Katanya lo suka sama dia. Gimana? Udah pdkt belum?” lagi-lagi Cakka menggoda Gabriel. Untung Gabriel tidak tersedak, melainkan Cakka mendapat satu teloyoran dari Gabriel.

“Sok tau lo.” Ucapnya, munafik. Betul, Gabriel mengangumi Sivia sedari awal mereka menginjakkan kaki di bangku SMA. Tetapi karena penyakit biadab itu membuat
nyali Gabriel ciut perlahan.

Cakka meringis seraya mengelus kepalanya, “Gak gentle lo. Deketin lah. mumpung masih hidup.”

Ucapan Cakka tadi sekolah mengingatkan Gabriel tentang suatu hal. Mengingat umurnya yang memag sudah tak lama lagi, “caranya gimana Cak?” tanyanya.

Cakka menatap Gabriel, lalu tersenyum genit. “Tuh kan, jangan coba-coba bohong lo sama gue. Ngarep kan lo
sama dia? Udah deketin aja mintain nomer HP nya. Sms-an, jalan, tembak, jadian
deh.” Jawab Cakka asal tapi tepat.

“Buset. Gampang amat lo nyungur? Bantuin tapi yah?” kata Gabriel, melanjutkan lagi memakan buburnya. Cakka hanya menjawabnya dengan acungan jempol karena mulutnya
penuh dengan bakso.


***


“Nih…gue udah dapet nomernya.” Kata Cakka, saat ia dan Gabriel baru akan bermain basket di halaman belakang rumah Gabriel. Dia lalu mengelurkan ponselnya yang
tersimpan rapih di dalam saku celananya.

Gabriel menoleh, “mana? Langsung kirimin ke nomer gue aja.” Jawab Gabriel, lalu mengambil bola basketnya di sudut halaman.

“Pake Bluetooth aja yak. Gue gak ada pulse. Hehehehe.” Cakka malah nyengir, lalu mengambil Hp Gabriel ang tergoler di meja yang berada di pinggir halaman. Gabriel
tidak mengubrisnya. Setelah mengirimi nomer HP Sivia -yang Cakka dapat dari
Agni, pacarnya, mereka pun bermain bakset. Walau tak segila kemarin, permainan
ini pun cukup membuat Gabriel lelah. Berkali-kali Gabriel mencoba men-shoot
bola tapi gagal.

“Muka lo pucet lagi brader.” Kata Cakka seraya menepuk pundak Gabriel. Gabriel merasakan sakit itu menjalari tubuhnya lagi. Dia berjalan dengan gontai menuju
kursi yang berada di sisi halaman, duduk.

“Lo pulang aja Cak, gue mau isitirahat.” Ujar Gabriel, yang lebih tepatnya mengusir Cakka, agar tidak melihat kalau-kalau hidungnya dialiri darah lagi.

Cakka mengangguk lalu menepuk-nepuk pelan bahu Gabriel, “isitirahat brad!” ujarnya, lalu meraih HP dan tasnya. Dan melangkah pergi. Setelah tidak terdengar lagi
derap langkah Cakka, Gabriel memanggil Bi Inem.

“Bibiiiiiiiiiii! Ambilin obat di kamar!!!!” teriaknya. Walau nadanya tidak cukup keras. Beruntung pembantunya itu sedang berada di dapur yang letaknya disebelah
halaman belakang. dia segera mengambil obat yang di maksud majikan kecilnya
itu. Gabriel sendiri sudah terjatuh dari kursi, dan meringkuk di lantai.
Memegangi kepalanya sambil terus meringis kesakitan.

“Nih den diminum obatnya.” Kata Bi Inem. Menyerahkan beberapa obat -yang mulai ia hafal, beserta gelas yang berisi air nya.

Gabriel meraih obat itu dan gelasnya. Meminumnya cepat-cepat. Karena tangannya sendiri sudah sangat lemah. Setelah dengan sukses meminum obatnya, dibantu Bi Inem, dia
berjalan dengan gontai menuju kamarnya yang berada di lantai 2.

“Makasih Bi, biar aku tidur dulu. Jangan bilang Mamah yah.” Kata Gabriel, setelah berbaring di ranjangnya. Bi Inem hanya mengangguk dan keluar dari kamar Gabriel.
Orang Tua Gabriel memang bekerja. Menyebabkan mereka tidak berada di rumah dan
baru pulang pada saat menjelang malam.

Gabriel menarik selimutnya, badannya terasa dingin. Kepalanya pusing. Tulang-tulang serasa lepas dari sendinya. Menyesal dia tidak mengikuti khemoterapy dari awal
dia terkena penyakit ini. Semua sudah terlambat. Sesal tidak akan membuahkan
apapun. Mengikuti khemoteraphy pun jika saat ini tidak akan mengurangi
penyakitnya. Dia hanya bisa pasrah, berharap semua memang yang terbaik.


***


Gabriel mendribel bola basketnya di tengah lapangan sekolah. sosoknya yang dingin telah kembali. Rupanya sosoknya yang ramah hanya mampu bertahan satu hari. Cakka, Rio, Sion, Dayat, dan Riko berusaha merebut bola dari Gabriel.
Tapi gagal. Sudah berulang kali Gabriel men-shoot bola. Tapi tak satupun yang
berhasil menembus ring. Belakangan ini kualitas permainan Gabriel memang sangat
tidak diragukan. Tidak salah dia dipilih menjadi kapten basket, dengan Riko
sebagai wakilnya.

“Hhh….hhh… capek!” seru Gabriel seraya menusap pelipisnya. Menghilangkan peluhnya.

“Istirahat dulu deh. Gue juga laper. Kantin yuk. “ timpal Dayat yang langsung berlalu begitu saja. Diiringi Rio dan Sion. Cakka, Riko, dan Gabriel hanya duduk di
bawah pohon yang berada di sudut lapangan.

“Belakangan lo jadi addict basket banget yah Yel?” kata Riko, masih mengatur nafasnya yang tersenggal-senggal.

Gabriel tidak menoleh ke arah Riko, tatapanya lurus menerawang, “Gue gak mau pisah sama basket. Di sisa hidup gue harus basket yang mengisi hari gue.” Katanya, sedikit
tidak sadar dengan ucapannya.

Cakka mengangkat alisnya, menepuk bahu Gabriel, “hah? Hidup lo masih panjang gan!” komentarnya.

Gabriel tersadar dengan uapannya, dia menatap Cakka, “Emang gue ngomong apa? Lupain deh.” Katanya. Riko dan Cakka hanya menggeleng-gelengkan kepala.

“Gue kantin yah.” Ucap Riko, lalu bangkit dan berjalan menjauh ke arah kantin. Gabriel dan Cakka sama-sama memandangi punggung Riko yang semakin lama semakin luput
dari pandangan.

“Udah sms Sivia?” tanya Cakka, setelah di pastikan tubuh Riko tidak nampak di ujung mata.

Gabriel menoleh ke arah Cakka, “sms? Ngapain?” dahinya sedikit berkerut.

“Pdkt laaaaaah.” Jawab Cakka enteng. Lalu meminum air dari botol yang memang punyanya dan dia taruh di sisi lapangan.

“Oh……belum…gue lupa.” Ujar Gabriel, berusaha cuek. Padahal sebenarnya dia sendiri tidak yakin apakah dia akan melakukan aksi pdkt dengan Sivia. dia takut…..

“Yah elo……nanti malem jangan lupa yah. Kabarin gue kalau udah.” Gabriel hanya mengangguk lalu bangkit, berjalan menuju kantin. Membeli minum. Takut terserang
dehidrasi.


***


To : Sivia XI IPA 4

Ini Sivia XI IPA 4 yah?”


“Sip…..” gumam Gabriel. Dia tengah berbaring di atas ranjangnya. Hari ini dia tidak terlalu banyk melakukan kegiatan yang
membuatnya lelah. Tak ada yang namanya lupa minum obat, mimisan, atau sakit
yang menderu. Hanya sakit-sakit kepala biasa, yang sudah seperti menjadi bagian
hidupnya.


‘Drrrrttttt drrtttttt’ getaran HP Gabriel sangat terasa di ranjang, dengan cepat ia meraihnya. Melihat nama si pengirim saja membuatnya tersenyum lebar.


From : Sivia XI IPA 4

Iya. Lu siapa?


To : Sivia XI IPA 4

Gabriel XI IPA 1, tau gak? hehe


From : Sivia XI IPA 4

Oh? Iya tau. Kenapa yah.


To : Sivia XI IPA 4

Gak apa2 hehe. Gue gak ganggu kan?


From : Sivia XI IPA 4

Ngga kok….oheheh gue kira ada apa gitu.


To : Sivia XI IPA 4

Emg sms lu harus ada alesan yah? Bentar deh gue pikirin dulu alesannya~


From : Sivia XI IPA 4

Ngga lah, slow aja. Hehe


Malam itu dipenuhi senyuman oleh Gabriel. Seolah ia tidak mempunyai beban apapun. Seolah dia sedang tidak terjangkit penyakit biadab itu. berpesan ria membuatnya
sangat senang dan sedikit tidak percaya. Apakah benar keputusannya untuk mendekati
Sivia? bagaimana jika nantinya ada pihak yang terluka? Dia tidak ingin membuat
siapapun terluka, maka dari itu dia lebih memilih memendam perasaan kepada Sivia,
dari pada nanti akan menyakiti Sivia.


***


2 minggu sudah sesi pendekatan antara Gabriel dan Sivia berjalan lancar. Setiap malam mereka selalu balas membalas pesan, atau chat webcam. Tak hanya itu,
seminggu belakanganpun Sivia selalu bersama Gabriel saat di kantin. Membuat Gabriel
pelan-pelan melupakan tentang penyakitnya. Penyakitnya pun jarang kumat.
Terlebih dia sendiri memang sudah jarang melakukan aktifitas yang membuang
banyak energi.

Perasaan ingin memiliki sosok Sivia pun kembali menyeruak dalam sukmanya. Perasaan yang sudah ia wanti-wanti sendiri agar tidak muncul sekarang terasa nyata. Dengan
berjalannya waktu, dia mempunyai perasaan lebih terhadap Sivia. Dia menyayangi Sivia,
ingin menjaganya, ingin memanggilnya sayang. Tapi apakah dia mempunyai kesempatan
untuk itu, mengingat kondisinya?

Sepertinya terlambat jika dia menutupi perasaannya lagi mengingat perlakuan Sivia kepadanya yang juga sepertinya membalas perasaannya. Tapi……dia tidak tega untuk
menyakiti Sivia nantinya. “Biarlah waktu yang menjawab” gumam Gabriel sendiri,
lalu memutuskan untuk memejamkan matanya. Terlelap dalam tidur.


***


Sivia tengah duduk di meja belajarnya. Di hadapannya terbuka sebuah buku diary. Diary miliknya. Di tangan kanannya terdapat pulpen yang di balut bulu-bulu berwarna
biru. Sambil tersenyum, dia menggigit ujung pulpennya, dan membaca ulang isi
diarynya. Sedikit terkekeh membacanya. Apa benar semua yang baru saja ia tulis
dalam diary itu? apa benar itulah perasaan terdalamnya? Apakah ia tega
melakukan itu?

“Gue nyaman sama kehadiran dia di samping gue belakangan ini. Dia yang selalu perhatian sama gue. Dia yang selalu ngajak gue istirahat bareng di kantin. Gue
akuin gue mulai ada rasa sama dia, tapi masa gue setega itu sih? Gue gak tega
ngelakuin ini lebih panjang lagi. Gue gak tega, dia terlalu baik sama gue. Tapi
gue gak rela dia nnggalin gue gitu aja….. tapi kalau gue bilang sekarang yang
sebenarnya, apa gak terlalu terlambat?”

Sivia menggigit bibir bawahnya. Sesulit inikah pilihan yang ada? Bisakah dia tidak harus memilih? Bisakah dia memiliki semua pilihan itu? apa yang harus ia lakukan
sekarang? Dia tidak ingin menyesal nantinya. Dengan kasar, Sivia menutup diary
nya dan melempar pulpennya sembarangan. Dengan penuh kegalauan, dia membanting
tubuhnya ke atas ranjangnya yang begambar hitam dan bercorak kuning, bergambar
Pacman. Cepat-cepat dia menarik selimutnya, memejamkan mata. Ingin melupakan
pilihan terumit dalam hidupnya.


***


Gabriel semakin sadar kesempatan hidupnya di dunia tidak lama lagi. Apakah dia sudah siap meninggalkan dunia ini? Apakah dia sudah puas hidup di dunia? Apakah dia
sudah siap menghadap sang pencipta? Dia kini tengah berbincang dengan Sivia di
kantin, seperti satu minggu belakangan ini.

“Lo gak punya cowok kan Vi?” tanya Gabriel, ketika dia dan Sivia tengah mengaduk-aduk jus
masing-masing.

Sivia sedikit terkejut mendengar pertanyaan Gabriel. Perlahan dia berusaha menetralkan jantungnya yang memompa darahnya seratus kali lebih cepat. “Ngga
kok gak punya.” Jawabnya. Dia langsung
menggigit bibir bawahnya. Menarik nafas, menghembuskan nya perlahan.

Gabriel cukup senang dengan jawaban Sivia. karena selama ini Gabriel sendiri tidak mengetahui pasti status Sivia, berpacarankah? Atau sendiri? “Bener?” Gabriel
sedikit menggoda. Berharap Sivia mengerti apa maksud dari arah pembicaraannya.

Sivia menghirup pelan jus nya, lalu menjawab pertanyaan Gabriel, “serius, kenapa emang?” kali ini bukan hanya jantungnya yang bedetak cepat, keringat dingin
mulai membasahi pelipisnya.

Gabriel yang sedang menyeruput jusnya hanya menggeleng, “gak apa-apa kok.”


***


To : Sivia XI IPA 4

Pengen punya cewek ih


From : Sivia XI IPA 4

Pacaran dong.


To : Sivia XI IPA 4

Gak ada calonnya hahahaha


From : Sivia XI IPA 4

Cari dong haha


To : Sivia XI IPA 4

Pacaran ama gue yuk Vi? Hehe


From : Sivia XI IPA 4

HAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHH??????????


To : Sivia XI IPA 4

Capslock lo rusak yah Vi? Santai lah hehe. Iya pacaran tapi Cuma sehari aja mau gak? main2 gitu heheh


From : Sivia XI IPA 4

Ebuset gue kaget setengah mampus. Serius? Gue takut nanti malah kena karma lohhh~


To : Sivia XI IPA 4

Asal gakpunya niat jahat ya selo aja sih. Mau gak? jangan bilang lo pengennya kita beneran pacaran? Ahahahaha


From : Sivia XI IPA 4

Ehhhhhh? Iyuh. Pede setengah modar! Hahaha ayok aja asal gak serius. Caranya gimana?


To : Sivia XI IPA 4

Emmm…..matatihhh? hahaha ya gitu aja. Kayak biasa pacaran gimanasi? Jangan nganggep boongan. Kek beneran aja. Tp cm sehari. Maugak?


From : Sivia XI IPA 4

Yaudah. Kapan mulainya?


To : Sivia XI IPA 4

Besok deh. Okegak?


From : Sivia XI IPA 4

Okedeh. Gue tidur duluan yah. Udah malem nih. Night.


To : Sivia XI IPA 4

Night (:


***


Sivia membanting kasar HP nya ke atas ranjangnya. Mengacak rambutnya yang terurai panjang. Senasib dengan HP nya, ia pun membanting kasar tubuhnya ke atas
ranjang. Dadanya sedikit terhimpit. Nafasnya tersenggal. Dia meraih bantal, dan
memakainya untuk menutupi wajahnya sendiri. Dia berteriak. Padahal hari sudah
sangat larut. Tiba-tiba saja bening dari sudut matanya mulai terbit, siap untuk
mengalir. Cepat-cepat dia menghapusnya.

Rasa bersalah kembali menyelimutinya. Apa maksud Gabriel mengajaknya pacaran selama satu hari? Apakah ini menambah kadar rasa bersalahnya? Bukankah dengan begini
sama saja pelan-pelan dia telah memberi
Gabriel secerca harapan. Lalu……

Dia membuang bantal yang menutupi wajahnya. bening itu kembali terbit, tapi kali ini ia biarkan untuk mengalir begitu saja. Berharap perih di hatinya terbawa
oleh bening itu. dan lenyap.


***


Matahari dengan lambat mulai memanjati langit. Bersinar untuk semua manusia di muka bumi. Cicitan burungmenyambutnya dengan merdu. Seutas cahayanya menyusup masuk
ke kamar Sivia melalui celah jendelanya. Dia masih terjaga dalam tidurnya.
Tetapi dering dari HP nya membuatnya terpaksa bangun. Dengan meraba-raba, dia
meraih HP yang berada di atas ranjangnya itu. walau ia sendiri tak tahu tepat
dimana.

Masih mengerjap-ngerjapkan matanya, dia mencoba membaca dengan seksama isi pesan itu. awalnya ia mengernyitkan dahi, tetapi setelah membaca keseluruhan isi pesan
itu, segaris senyum tersimpul di wajahnya.


From : Gabriel

Helloooooo! Gutten morgen (: gimana semalem tidurnya? Nyenyak? Udah bangun kan? Semalem mimpiin aku gak? inget ya, hari ini status kita pacaran. Eheheheh.


Walau tenaga belum terkumpul seutuhnya, dengan penuh usaha ia mengetik-ngetikkan sesuatu di atas keypad HP nya, mengetik balasan pesan itu.


To : Gabriel

Hello juga. Morning back (: nyenyak dong. Iyalah udah bangun kalo belum masa bisa bales sms? Mimpiin kamu? Nggaa tuuuuuuh~~ ehehe. Oke iya aku inget kok(:


From : Gabriel

Jahatnya gak mimpiin aku (-_-“)~ bagus deh kalo inget ehe. Nanti siang jam 11 aku jemput yah. Kita jalan. Oke?


Sivia melirik jam di dinding, yang berada di sisi kanannya, ‘masih jam 7…’ gumamnya.


To : Gabriel

Oke aku tunggu :D


***


Seraya bergandengan, Sivia dan Gabriel masih saja asyik menikmati wahana di Dufan. Mulai dari permainan yang menantang adrenalin hinggga permainan yang hanya
menghibur sudah mereka nikmati. Dalam hati, Gabriel berharap hari ini akan
berjalan lebih panjang dari hari biasanya. Membuat waktunya bersama dengan Sivia
pun semakin panjang. Dufan menjadi saksi bisu semunya.

Sambil memegang Ice cream di tangan kanan masing-masing, Gabriel dan Sivia menduduki bangku yang berada di pinggran Dufan. Seringaian tawa mengiringi mereka. Segala
macam candaan yang membuat perut terkocok atau hanya tersenyum sudah terlontar.
Gabriel membuang bungkus ice cream
punyanya dan Sivia, yang baru saja mereka habiskan, lalu mengelap tangannya
menggunakan tissue yang belakangan selalu tersedia di saku belakang
celananya,-untuk berjaga-jaga, takutnya ia mimisan tiba-tiba.

“Kamu seneng gak Vi?” tayanya tiba-tiba, menatap setiap lekukan wajah ayu Sivia.

Sivia menoleh lalu mengernyitkan keningnya, dia menatap Gabriel yang tengah menatapnya. Tanpa disadari, rona wajahnya memerah. Dia mengangguk seketika
seraya menjawab, “Iyalah aku seneng, emang kamu gak seneng?”

Gabriel balas mengangguk, “asal ada kamu aku pasti seneng kok hehe.” Sivia memukuli pelan lengannya, geli. “betewe, kamu seneng karena permainannya atau karena ada
aku nih?” lanjut Gabriel, masih bercanda, seraya menaik turunkan alisnya.

“Jujur sih seneng karena permainannya.” Sahut Sivia, tertawa kecil.

“Serius nih?” Gabriel mencolek asal dagu Sivia, menggoda. Sivia bergidik. “Gak usah malu deh ngakunya.”

“Ye apaan sih. Kamu tuh yang kegeeran. Hahahaha.” Kata Sivia, tertawa lepas. Gabriel hanya memajukan beberapa centi bibirnya. Sivia balas mencolek dagunya.

Tanpa diundang, rasa sakit begitu mencengkram kepala Gabriel. Matanya mulai- berkunang-kunang. Tangn kiri ia gunakan untukmemegangi kepala, sedangkan tangan
kanannya merogoh saku, berusaha mendapatkan tissue miliknya. Sivia yang
melihatnya hanya diam. Tak mengerti apa yang Gabriel lakukan. Yang pasti, Sivia
merasakan bahwa wajah Gabriel perlahan memucat.

“Beliin aku air mineral.” Suruh Gabriel. Rasa sakit masih menderu. Beruntung tadi dia tidak lupa menaruh beberapa obatnya di saku celana. Sivia yang sebenarnya
sangat bingung hanya menurut. Segera berlari ke stand terdekat.

Gabriel dengan terburu-buru memasukan beberapa obatnya ke dalam mulutnya, sebelum Sivia melihatnya. Begitu Sivia kembali, dia langsung meneguk air mineral itu. menelan
obatnya. Gabriel langsung menghembuskan nafas lega. Walaupun rasa sakit belum
hilang, setidaknya dia sudah meminum obat.

“Kamu kenapa Yel? Sakit yah?” tanya Sivia, diselimuti rasa heran.

“Gak kok. Gak apa-apa.” Jawab Gabriel yang masih menyandar di punggung bangku. Menoleh ke arah Sivia lalu tersenyum.

“Serius? Muka kamu pucet loh.” Kata Sivia, seraya menaruh punggung tangannya di dahi Gariel, tetapi langsung Gabirel tepis.

“Engga kok gak apa-apa.” Ujarnya sedikit dingin. Sivia mengerutkan dahi. “ke pantai aja yuk. Ngeliat sunset.” lanjutnya. tanpa menunggu jawaban dari Sivia, dia
langsung bangkit dan pergi. Sivia hanya mengikutinya di belakang. Rasa
penasaran masih menyelimutinya.


***


Sivia menyenderkan kepalanya di bahu Gabriel. Menemukan kehangatan yang sejujurnya belum pernah ia temukan dari siapapun. Matanya dengan mata Gabriel memandang
lurus ke depan. Ke titik yang sama. Menerawang. Rasa bersalah itu kembali
menyeruak. Batinnya terguncang, rasa bersalah kini tengah berdiri kokoh dalam
hatinya. Di fikirannya. Haruskan perasaan itu datang ketika semuanya sedang
seperti ini? Sivia menutup matanya, menarik nafas lalu menghembuskannya
perlahan. Dadanya kembali terhimpit. Dia memeluk lengan kiri Gabriel. Gabriel
yang awalnya heran hanya diam saja. Dia sendiri masih memikirkan yang lainnya,

Walau rasa sakit itu belum pulih benar, dia masih terus bertahan duduk di samping Sivia, menopang kepalanya. tak
ingin meninggalkan sedetik pun dalam hari ini. Seolah setiap detik mempunyai
harga mahal. Dalam hati dia merutuki dirinya sendiri. Mengapa dia hanya meminta
Sivia untuk menjadi miliknya hanya dalam satu hari? Oh ya…karena penyakit
biadab itu. menagap ia diberi penyakit selaknat itu? itu jalan hidupnya.

“Vi….” Gumam Gabriel.

“Ya Yel?” sahut Sivia, masih memeluk lengan kiri Gabriel.

“Jangan lupain hari ini yah? Walaupun gak lebih dari 24 jam, aku pengen hari ini menjadi bagian kenangan terindah dalam hidup kita.” Ujar Gabriel, tanpa nada
dan ekspresi. Tatapannya masih menerawang, “Biar semuanya kita kenang. Gak
perlu ada yang tau. Cukup ada di hidup kita aja. Makasih kamu udah mau menuhin
permintaan aku.” Lanjutnya.

Sivia hanya mengangguk kecil seraya tersenyum, “Makasih juga Yel, aku juga gak akan lupain hari ini.”

Bibir Gabriel tertarik untuk membuat sebuah lengkungan. Senyuman kebahagiaan. Dia berharap waktu akan berhenti berputar. Membiarakannya dengan Sivia terjebak
dalam dimensi waktu. Meniknati setiap hembusan angin yang perlahan membelai
rambutnya.


***


Malam yang pekat merekam semua kejadian yang Gabriel dan Sivia lakukan sejam yang lalu di pantai. Malam pun ikut bahagia dengan memancarkan jutaan bintang dalam
tubuhnya. Kini Gabriel terduduk sendiri di sudut jendela kamarnya. Seraya
memandangi bintang, dia berharap, hari ini akan tak akan berakhir, terus
berlanjut sampai kapanpun.

Indah. Harinya indah. Hanya berdua dengan Sivia. Berharap Sivia pun merasakan hal yang sama dengannya. Apakah Sivia benar-benar menganggap ini sebuah permainan?
Apakah Sivia menganggap ini semua hanya kenangan yang tak pantas di kenang? Pertanyaan
itu terus menggelayuti fikirannya. Berharap bintang-bintang akan menjawabnya.

Gabriel meraih gitar yang terparkir di sebelahnya. Mulai menari-narikan jemarinya. Memasuki intro sebuah lagu. Menciptakan nada yang indah. Matanya terpejam.
Batinnya teriris.


The best thing about toninght’s that we’re not fighting

Could it be that we have been this way before

I know you don’t think that I’m trying

I know you’re wearing thin down to the core

But hold your breath

Because tonight will be the night that I will fall for you

Over again

Don’t make me change my mind

Or I wont live to see another day I swear it’s true

Because a girl like you is impossible to find

You’re impossible to find


Seraya menutup matanya, mendalami lagu ini, Gabriel bernyanyi dengan merdu. Berharap rasa nyerinya mengilang dengan selesainya lirik dari lagu ini. Tetapi lagu ini
belum berkahir. Masih ada lanjutan dari liriknya. Gabiel terlalu lemah untuk
terus melanjutkan lagu itu. dia hanya memandang ke langit yang terbentang di
hadapannya. Berharap bintang akan menjawab pertanyaannya.


***


To : Sivia XI IPA 4

Ketika keeesokan hari kan akan membuka matamu. Menjalani hari demi hari yang menanti di depan. Jangan hiraukann hari ini. Anggap saja hari ini hanya sebagian dari perjalannan hidup yang memang begini adanya. Jangan
mengungkit tentang hari ini dimanapun kapanpun dan pada siapapun. Hanya aku dan
kamu yang tau. Terimakasih untuk hari ini. Walau hanya satu satu hari, aku
masih berharap kita akan menjalani hari hari seperti hari ini untuk selamanya.
Tapi tidak mungkin. Satu hari bersamamupun anugerah terbesar dalam hidupku. Aku
akan terus mengenang hari ini. Menjadikan ini bagian terbesar ingatan di
hidupku. Aku harap kau pun sama. Big hug poke and smooch, Gabriel.


***


Sivia mendekap HP nya di dadanya. Bening dari sudut matanya terus mengalir akibat membaca pesan yang dikirimi Gabriel barusan. Berharap yang ia dekap bukan hanya
pesan singkat itu, tapi juga beserta raga dari pengirimnya. Mengapa rasa ini
semakin nyata? Bukankah ini suatu perasaan yang sangat salah? Sivia merasa
dirinya bodoh. Rasa bersalah kembali menggelayutinya.

Bisakah dia mengulang waktu? Bisakah hanya Gabriel yang kini ia cintai? Tidak. Semuanya terlambat. Sivia menggigit bibr bawahnya. Dia menyenderkan kepalanya ke sisi
lemarinya. Berharap seperti tadi, yang menjadi topangan kepalanya adalah bahu
Gabriel. Mengapa ia menjadi mengharapkan sosok Gabriel?

“Aku juga gak akan ngelupain hari ini Yel…..” lirih Sivia, disela isakannya. Nadanya lirih. Tubuhnya sudah tak mampu untuk menahan tubuhnya sendiri. Terlalu lemah
kondisinya saat ini.


***

Dengan terburu-buru Sivia menyusuri koridor rumah sakit. Bau khas rumah sakit sangat tercium jelas. Tangan kanannya terus menggandeng seseorang. Cakka pun terus berjalan di
hadapannya. Memberi intruksi kemana mereka harus melangkah.

Langkah mereka harus terhenti di depan sebuah ruangan. Sebelum menekan kenop pintu, Cakka menoleh sesaat kepada Sivia. Tatapan yang ia berikan kepada Sivia dimaksudkan agar Sivia
tidak terkejut melihat apa yang akan dilihatnya. Seelah itu, dia menekan kenop
dan mendorong pintu. Melangkah masuk. Sivia dan seseorang yang digandenganya
hanya mampu mengekor. Fikirannya terbayang-bayang oleh kemungkinan yang sangat
tidak diinginkan.

Mulut Sivia ternganga lebar melihat apa yang ada di hadapannya. Tangan kanannya menutup mulutnya. Matanya membulat. Dari ranjang, dia mengalihkan tatapannya menuju Cakka, yang
sudah duduk di samping ranjang.

“Gabriel kenapa Cak…?” tanyanya lirih, berjalan mendekati ranjang. Orang yang sedari tadi di gandeng oleh Sivia hanya terdiam dan sama-sama kaget. Tak tahu harus melakukan apa.

Cakka menatap wajah Sivia lalu beralih menuju Gabriel, yang kini tergoler lemah. Tak berdaya. Selang dan beberapa alat medis menempel pada tubuhnya. “Gue juga gak tau pasti Vi, kata
nyokapnya, dia nemuin Gabriel udah pingsan gitu aja di samping tempat tidurnya.
Di tangan kirinya megang HP, dia abis SMS lo kan? Dia juga mimisan. Katanya sih kecapekan
karena abis main sama lo seharian di dufan dan dia belum minum obat.” Terang
Cakka, dengan informasi yang sebenarnya ia ketahui secara seadanya.

“Gabriel sakit apa Cak?” tanya Sivia, seraya mengusap lembut pipi Gabriel. Air hangat perlahan mulai bereaksi untuk segera mengalir di pipi beningnya.

“Kanker, gue sendiri gak tau tepatnya sakit kanker apa.” Jawab Cakka, matanya di fokuskan untuk menatap Gabriel. “Kankernya udah parah dan bener-bener gak bisa di sembuhin. Dia
terlambat buat nyembuhin kankernya itu.” lanjut Cakka. setiap kata yang ia
ucapkan penuh dengan rasa sesak. Kenyataan begitu pahit.

“Betewe, dia siapa Vi?” tanya Cakka, mengerling ke arah seseorang yang sedari tadi hanya diam. Yang dibawa serta oleh Sivia untuk ikut dengannya ke rumah sakit.

Sivia menoleh ke arah orang itu, “Sini kamu duduk disini sama aku.” Ajak Sivia, menunjuk sofa yang berada di belakangnya berdiri kini. Orang itu hanya mengangguk lalu duduk,
mengikuti gerakan Sivia.

“Dia Alvin Cak, pacar gue.” Kata Sivia. Dia langsung menunduk. Perasaannya cukup lega kini. Tak akan ada yang harus ia tutupi lagi. Tak akan ada lagi rasa penyesalan yang harus ia
rasakan. “Gue jadian sama dia udah 2 tahun Cak….sorry gue udah bohongin lo sama
Gabriel. Tentang gue dan Gabriel, Alvin
udah tau. Dan di fine…karena gue bener-bener nyesel.” Lanjut Sivia. Air hangat
perlahan mulai mengalir di pipinya. Membuat sungai kecil yang semakin lama
semakin deras. Alvin
yang duduk disisinya, merengkuhnya dalam pelukan. Mengusap lembut puncak
kepalanya. memberi ketenangan.

Mulut Cakka sedikit ternganga, bola matanya membulat. Perasaannya benar-benar kaget. Tak menyangka akan seperti ini. Cakka menggeleng-gelengkan kepalanya, “jadi…lo suka gak Siv
sama Gabriel? Selama ini jadi……” Cakka menggantungkan ucapannya. Tak tahu harus
mengatakan apalagi.

Sivia masih terisak. Dia melepaskan tubuhnya dari rengkuhan Alvin. Perlahan menghapus air matanya sendiri. Walaupun isakan masih menemaninya. “Gue
sendiri gak tau Cak. Gue nyaman dengan adanya dia di sisi gue. Tapi gue rasa
gue sekedar nyaman sebagai sahabat. Tapi kadang gue juga nyaman dengan dia
sebagai….orang yang gue sayang.” Ucap Sivia jujur, menatap lantai yang ada di
hadapannya. Tak mampu menatap Alvin
maupun Cakka. Alvin
hanya melipat tangannya di dada seraya sesekali mengurut pelan dahinya. Pusing.

“Jadi lo milih Gabriel atau Alvin?” tanya Cakka, lebih tegas.

“Gue milih Alvin Cak…gue udah lebih lama sama dia. Dia yang selama ini ada buat gue. Dia maafin gue saat gue lagi khilaf kayak kemarin. Dan gue emang lebih sreg sama Alvin Cak….” Air
matanya mulai menetes lagi. Pedih dihatinya perlahan mulai menyeruak kembali,
walaupun perasaan lega benar-benar nyata.

“Jadi……Gabriel……gimana Vi?” Cakka heran, dia bertanya seraya memainkan tangannya.

“Awal gue deket sama Gabriel gue sebenernya pengen ngaku kalau gue udah punya cowok. Tapi yah namanya manusia, gue ngaku gue salah. Gue salah banget disitu. Dan akhirnya
malah keterusan. Gue nyaman sama dia sama kayak yang gue bilang tadi……tapi gue
milih Alvin….”
Kata Sivia, yang sudah mulai berani menatap lawan bicaranya.

“Bukan karena kondisi Gabriel kayak gini kan?”

Sivia menggeleng cepat dan tegas, “Gue baru tau ini tadi Cak……sesudah keputusan gue bener-bener bulet. Dan gue…pengen minta maaf sama lo dan Gabriel.”

Cakka hanya megangguk seraya menghela nafas. Tak tahu apa yang harus diucapkannya lagi. Dia tidak bisa berbuat banyak untuk masalah ini. Gabriel pun masih belum sadarkan diri.
Kini Cakka hanya berdoa, agar Gabriel sadar dan mengerti apa yang diucapkan Sivia.

Sivia menyenderkan tubuhnya di senderan sofa. Menghela nafas yang terasa amat berat itu. dia menoleh ke sebelah kirinya, dimana Alvin
berada. Tersenyum sesaat lalu mengangguk. Alvin
balas mengangguk. Dalam hati mereka bertiga, terpanjat doa yang benar-benar
tulus. Meminta kesembuhan atas Gabriel.


***


Pemakaman sudah selesai. Para pelayat pun satu persatu sudah mulai pergi. Rumah duka masih diselimuti perasaan kehilangan yang mendalam. Cakka tengah duduk di halaman belakang rumah Gabriel. Dimana biasanya disini ia dan Gabriel bermain basket. Disini pertama
kali Cakka belajar bermain basket. Disini kenangan itu menyatu. Cakka
menghelakan nafasnya. Harus merelakan sahabat satu-satunya itu pergi untuk
abadi.

Sivia duduk di bangku yang berada ditaman depan rumah Gabriel. Pandangannya kosong. Menerawang. Rasa sesal memenuhi benaknya. Dia belum sempat meminta maaf kepada Gabriel. Tak ada lagi
air mata yang menetes. Tak ada lagi yang harus ditangisi. Semua sudah
terlambat. Alvin
hanya bisa mengenggam erat tangan Sivia yang terkulai lemas. Berusaha mengerti
perasaan kekasih walaupun sedikit rasa cemburu meliar dalam hatinya.

“Non, ini surat Bibi temuin di laci kamar Den Gabriel. Non namanya Non Sivia kan?” tanya Bibi, yang muncul dari arah belakang, seraya menyodorkan secarik surat kepada Sivia.

Sivia mengangguk, tersenyum, seraya meraih surat itu, “makasih Bi.” Ucapnya. Bibi tersenyum lalu pergi meninggalkan Sivia dan Alvin di sebelahnya.
Dengan tangan yang mulai bergetar, Sivia membuka surat itu. bersiap-siap dengan segala
kemungkinan yang akan terjadi.


“Gue udah tahu semuanya. Gak perlu tanya gue tau dari mana. Langgeng yah sama cowok lo. Gue juga udah maafin lo. Malah gue yang harusnya minta maaf. Jangan nangisin gue. Jadiin ini
bagian hidup lo yang paling berharga. With love.”


***


Wanna ask something about this? Mention me in twitter @dhitals or meet me in FaceBook Dhita Liawaty Saputri


Peaceloveandgaul

@dhitals

No comments:

Post a Comment