Thursday, July 15, 2010

Setitik Kehadirannya

Pagi yang cerah ini disambut oleh burung-burung dengan kicauan nadanya yang merdu. Aktifitas di kota ini pun berjalan dengan lancar seperti biasa. Ada satu anak manusia yang memulai aktifitas barunya mulai hari ini. Senyum merekah terukir jelas di wajahnya yang ayu. Dengan semangat, dia melangkahkan kaki keluar rumah, menuju tempat baru yang mulai hari ini akan ia habiskan selama setengah hari, dari hari Senin hingga Jum’at pastinya, diantar oleh sopir andalannya .
Keadaan jalan raya yang mulai ramai, ditambah suara mesinnya yang menderu, membuat anak manusia a.k.a gadis itu seperti keheranan. Ia sangat senang melihat keadaan ramai seperti itu. Juga pengemis-pengemis yang mulai meminta-minta, mengetuk kaca-kaca kendaraan yang tengah berhenti atahu terjebak macet, sekedar meminta sepeser atahu dua peser,membuat gadis itu bergitu iba. Dirogohnya saku bajunya, ia memberikan uang selembaran Rp. 5000,- kepada pengemis itu seraya tersenyum. Si pengemis tak hentinya mengucapkan terimakasih dan di jawab dengan anggukan kecil gadis itu. Sopirnya tersenyum melihat kelakuan majikan kecilnya.
Akhirnya dia pun sampai ditempat tujuannya, si sopir sebenarnya sudah menawarakan diri untuk mengantarnya masuk, tapi dia menolak dan menyuruh sopirnya pulang. Alhasil kini dia sendiri menyusuri koridor, mencari ruangan yang sedari tadi dia ingat-ingat, ruangan yang disampaikan oleh Bundanya tadi di rumah. Setelah menempuh satu lorong koridor, akhirnya ruangan itupun ketemu. Dia mengetuk perlahan pintu ruangan itu, setelah ada suara menyahut memberi perintah masuk, dia masuk dan duduk di kursi berhadapan dengan orang yang tadi memberi perintah ‘masuk’.
“Kamu murid baru itu yah?” tanya orang itu, tepatnya ibu-ibu paruh baya yang terlihat sangat ramah. Namanya Bu Ira.
“Iya bu.” jawab gadis itu, lalu tersenyum.
“Baik. Sekarang mari ibu antar kamu ke kelas kamu. Bell masuk 5 menit lagi.” tutur Bu Ira manis lalu beranjak dari kursinya menuju luar ruangan. Gadis itu mengekor di belakang, sampai langkah Bu Ira berhenti di suatu kelas. Bu Ira memasuki kelas itu, setelah sebelumnya menoleh pada anak itu, memberi isyarat untuk ikut masuk. Anak-anak dalam kelas itu seketika langsung kembali ke tempat duduknya masing-masing, tertib.
“Pagi anak-anak.” seru Bu Ira dari depan kelas yang dijawab dengan kooran anak-anak. Gadis yang sedari tadi mengekor itu berdiri disebelah Bu Ira dengan keadaan kepala ditundukan. “Hari ini kalian mendapatkan teman baru.” lanjutnya lalu menoleh ke arah gadis disebelahnya, gadis itu mengangkat wajah dan tersenyum, “silahkan perkenalkan diri kamu, nak.”
“Nama saya Sivia Azizah, cukup panggil saya Via. Mohon bantuannya.” ternyata nama gadis itu Via, dengan lantang dan penuh percaya diri dia memperkenalkan namanya. Ibu Ira tersenyum lalu mengangguk.
“Sekarang kamu duduk dengan Ify yah, disitu.” perintah Bu Ira, menunjuk bangku disebelah gadis berdagu lancip itu, Via menganngguk lalu melangkahkan kaki menuju tempatnya. Setelah memastikan Via berhasil duduk, Ibu Ira pun pergi.
“Hey.” sapa Ify ramah setelah Via duduk disebelahnya.
Via mengangkat wajahnya dan melihat wajah Ify, “Hey.”
“Nama gue Alyssa, tapi cukup panggil gue Ify.” Ify mengulurkan tangannya, memperkenalkan diri.
Via menjabat tangan Ify ramah, “Via.”jawabnya.
“Lo pindahan dari mana?” tanya Ify.
“Hah?” Via seperti gelagapan ditanyai itu, Ify mengernyitkan dahinya, “Oh, gue dari dulu home schooling, baru kali ini gue sekolah di sekolah umum.” jelas Via tanpa terbata. Ify mengangguk. Tak lama bell berbunyi, tapi guru jam pertama kelas mereka dinyatakan tidak hadir karena ada urusan, alhasil mereka hanya diberikan tugas sederhana.
Saat jam isitirahat, Via di ajak oleh Ify menuju kafetaria. Dia pun tak menolak ajakan Ify. Dia penasaran bagaimana kondisi dan suasana kafetaria pada sekolah umumnya. Selama perjalanan menuju kafetaria, semua mata menuju padanya, sadar akan dirinya adalah orang baru dilingkungan ini. Tak ingin dibilang orang baru yang ‘tidak sopan’ , dia menyunggingkan senyum kepada semua yang menatapnya. Ify tidak menghiraukan itu.
“Mau makan apa Vi?” tanya Ify setelah mereka mendapatkan meja di kafetaria ini. Letakya dekat tukang bakso andalan sekolah.
“Samain sama lo aja deh Fy.” jawab Via lalu mengamati setiap aktifitas di kafetaria ini. Ify beranjak menuju tukang bakso dan berbincang sebentar, setelah itu dia kembali ke tempatnya bersama Via. Via masih tersenyum melihat kafetaria yang ramai ini, pemandangan barunya.
“Lo kenapa?” tanya Ify, ganjil akan kelakuan Via yang sepertinya senang melihat kondisi seperti ini.
Via menoleh ke arah Ify, “ini pertama kalinya gue ke kafetaria.” jawabnya polos.
Ify tersenyum sedikit, lalu terbahak, Via menatapnya heran, “Wahahahaha gue kira kenapa. Iya iya gue inget, sebelumnya lo kan home schooling.” seru Ify setelah berhasil meredam tawanya. Via mengangguk pasti, “tapi lo jangan ngeliatin kayak gitu, bisa dianggep norak.” lanjut Ify.
Via menurut dan tidak lagi menatapi seluruh pengunjung kafetaria. Tak lama bakso pesanan pun datang, Ify dan Via dengan semangat memakannya. Saat sedang menikmati suapan bakso terakhirnya, matanya tersangkut satu pemandangan. Via melihat satu lelaki yang membuatnya tidak berkedip. Aha! Via baru ingat, lelaki itu yang duduk di dekat mejanya, sekelas dengannya. Diam-diam Via tersenyum. Si lelaki itu bersama ketiga temannya duduk di meja sebelah tempat Via berada. Sadar seseorang yang sedari tadi Via perhatikan tak suka dengan tatapan Via, Via kembali konsen dengan baksonya.
“Hey Fy.” sapa salah satu dari ketiga teman si lelaki itu dari mejanya.
Ify mendongak lalu tersenyum, “Hey Yo.”
“Itu siapa?” tanya seseorang yang barusan menyapa Ify, namanya Rio.
Ify menoleh ke arah Via lalu kembali menatap Rio, “Ini Via murid baru di kelas gue sama Kiki.” Ternyata si lelaki itu bernama Kiki, batin Via senang. Lalu Via mengangkat wajahnya dan melempar senyum kepada empat pria yang duduk di sebelah tempatnya.
“Hey.” sapa Rio ramah sambil melambaikan tangannya, ”gue Rio, ini Kiki, ini Iel dan ini Alvin.” Rio memperkenalkan semua temannya sembari menunjuk satu-satu.
Via mengangguk lagi, “Hey, gue Via.”

***

Matahari seakan menyambut bangunnya gadis manis ini. Via. Tak ada rasa malas sedikit pun seperti kebanyakan pelajar lainnya untuk berangkat sekolah. Apalagi untuk memulai pelajaran. Dia sudah menyiapkan semuanya matang-matang. Buku pelajaran yang kemarin Sion , sang Ketua Kelas, berikan sudah ia masukan ke dalam tas berdasarkan mata pelajaran yang Ify beri tahu kemarin.
Via duduk di meja makan bersama kedua orang tuanya. Dia anak tunggal dari salah satu keluarga sangat berada. Dengan semangat dia mengambil beberapa potong roti kemudian dia oleskan dengan selai cokelat, kesukaannya.
“Gimana sekolahnya Vi?” tanya Ayahnya, lalu meminum teh yang sengaja disiapkan untuknya.
Via baru saja melahap gigitan pertama rotinya, “seru banget Yah.” jawab Via, isi mulutnya masih penuh dengan roti yang baru setengahnya ia kunyah.
“Telen dulu rotinya, baru makan.” Bunda Via memperingati anaknya itu sembari mengolesi roti miliknya dengan selai stroberry.
Via menelan rotinya lalu meneguk susunya, “seru banget. Seneng banget deh aku punya banyak temen. Apa lagi suasana kafetaria. Rame banget!” tutur Via semangat 45. bunda dah Ayah Via hanya geleng-geleng kepala mendengar celotehan anaknya itu. Sebenarnya, baru kali ini Via sebegitu semangatnya untuk bangun pagi.
“Sekarang kamu abisin dulu sarapannya. Baru berangkat yah. Santai aja.” ucap Bundanya yang sedang menikmati sarapannya. Via hanya mengangguk seraya terus melahap rotinya. Tak lama kemudian rotinya pun habis, segelas susu untuknya pun ludes diminum
“Via berangkat yah.” pamit Via lalu menyalami kedua orang tuanya. Orang tuanya hanya bisa tersenyum.

***

“Tap ta tap……” desis Via setiap kakinya melangkah di lantai koridor. Dia berjalan santai menyusuri koridor sekolah menuju kelasnya. Sesampainya di depan kelas, perlahan dia menyembulkan kepalanya, melihat kondisi kelas. Ditemukannya Ify yang sudah duduk disitu seraya memakan rotinya. Tanpa fikir panjang, Via pun menghampiri Ify.
“Hey Vi…..” sapa Ify setelah Via duduk di bangku sebelahnya.
“Hey.” jawab Via lalu membenarkan posisi duduknya agar bisa mengobrol lebih enak dengan Ify.
Ify menggigit rotinya, mengunyah, lalu menelannya, “Lo kayaknya niat banget yah ke sekolah?” tanyanya.
“Loh? Bukannya kalau sekolah harus niat?” kata Via dengan keadaan dahi berkerut, heran.
“Ya……gue yakin cuma 10% murid yang bener-bener niat sekolah buat belajar, termasuk lo. Yang lainnya paling cuma buat main atau ketemu temen-temen.” jelas Ify santai, lalu melahap potongan roti terakhirnya. Sebentar dia mengusap telapak tangannya ke rok seragamnya.
“Sekolah tuh buat belajar , bukan buat ngumpul.” elak Via.
“Well…emang sebelumnya lo belum pernah sekolah di sekolah umum? Selalu home schooling, gitu?” Ify bertanya, lebih tepatnya menyelidiki.
Via mengangguk, “Iya.” jawabnya santai, “kenapa emang? Emang aneh yah gue selalu home schooling?” lanjutnya, bingung.
“Emang kenapa lo gak sekolah di sekolah umum? Orang tua lo gak ngebiarin lo kelayapan, gitu? Terus kok baru sekarang lo sekolah di sekolah umum?”
Via sedikit gelagapan, pertanyaan Ify membuat dadanya sedikit sesak. Dia menggigit bibir bawahnya, lalu menunduk, berusaha memikirkan jawaban dari pertanyaan Ify. Pelan-pelan dia mengangkat wajahnya , “Gue juga gak tahu Fy, yang pasti bokap gue over protective dan…gue gak tahu apa penyebabnya, ini pun gue dapet maksa buat sekolah di sekolahan umum.” ujarnya, berusaha santai. Tapi nada gugup masih sedikit menempel.
Ify tidak menanggapi lebih. Hanya sekedar mengangguk. Tak lama bell masuk pun berbunyi. Mereka semua memulai pelajaran. Via sedikit tertolong karena Ify tidak lagi menanyakannya hal yang macam-macam lagi.

***

Via berjalan sendirian di koridor sekolah. koridor yang berada di sisi lapangan basket. Ify sedang ada rapat OSIS, jabatannya memang sekertaris OSIS. Karena Via belum mempunyai teman lainnya, jadilah Via kini hanya sendirian. Dia sendiri tidak ada niatan untuk makan di kafetaria
Via mulai duduk di bangku yang terletak di pinggiran koridor. Bangku yang juga menghadap lapangan. Via menyenderkan kepalanya ke tembok yang berada di sisi bangku itu. Dia sedang mengamati para lelaki yang sedang bermain basket. Ada Rio, Iel, Kiki, dan satu lagi yang tidak Via tahu namanya, melihatnya saja baru kali ini. Alvin, teman mereka tidak ikut, karena jabatannya sebagai ketua OSIS membuatnya harus mengurusi rapat seperti Ify.
Satu. Hanya satu yang Via benar-benar perhatikan. Sosoknya yang lebih pendiam dari teman-temannya, membuat Via tertarik. Terlebih mereka juga sekelas. Kiki. Sosok itu yang membuat Via pertama kalinya merasakan jatuh cinta. Entahlah, apakah ini jatuh cinta atau bukan, yang pasti Via merasakan energi yang berbeda jika melihat senyuman dari sosok Kiki.
“DOR!!!!!!!!!!” seseorang menepuk kasar pundak Via dari belakang, mengangetkan. Via sedikit terlonjak lalu berbalik, melihat pelaku. Si pelaku hanya terkekeh. Via sedikit manyun , “Hehe sorry deh Vi, lagian lo serius banget ngeliatin yang main basket. Liatin siapa sih? Rio? Aduh dia punya gue yah! Hem….Iel? boleh Vi dia single, Riko? Dia udah punyanya Shilla…apa…Kiki…wah jangan…..” ceroscos seseorang itu, yang tak lain adalah Ify, yang kini sudah duduk di samping Via.
Via tersenyum lalu menatap Ify ketika mendengar nama Kiki di sebut, “kenapa jangan Kiki?” tanyanya polos, bibirnya sudah tidak lagi membentuk sebuah lengkungan.
“Hah? Jangan bilang lo suka sama Kiki!!!!!!!! Dia pacarnya Zahra, anak penyumbang dana terbesar di sekolah ini. Wah….gak ada yang berani sama dia.” jawab Ify, panik, menatap Via.
“Loh….suka-suka gue dong suka sama siapa aja.” kata Via lagi, masih santai. Seraya mengangkat kedua bahunya.
Ify melengos lalu menepuk pelan pundak Via, “cari aman Vi, lo anak baru disini, jangan bikin masalah.” ucap Ify, memperingati. Via tidak mengubris. Dia kembali menikmati permain 5 lelaki, yang sudah di tambah Alvin, bermain basket. Keren. Terutama Kiki…batin Via

***

“Silahkan kalian isi, nanti siang langsung dikumpulkan ke ruang OSIS sendiri-sendiri saja.” Seru seorang guru, Pak Duta. Mengakhiri pemberitahuannya. Pak Duta, guru yang berperawakan kurus itupun kembali melanjutkan pelajarannya. Selang beberapa menit, bell yang terasa seperti alunan musik di surga itu pun berbunyi. Tanda isitirahat.
“Baiklah anak-anak. Sampai disini materi yang kita pelajari hari ini. Sampai jumpa minggu depan.” Seru Pak Duta lagi. Lalu ia pun merapikan barang-barangnya dan pergi meninggalkan kelas.
“Vi, lo mau ikut ekskul apa?” tanya Ify, saat dia dan Via mengisi formulir yang tadi di bagikan oleh Pak Duta. Formulir tentang ekskul apa saja yang akan diikuti oleh murid di sekolah ini.
“Basket.” jawab Via, tanpa menoleh ke arah Ify. Dia terus mengisi formuir itu.
“Jangan bilang lo ikut basket karena ada Kiki?” kata Ify, setengah berbisik. Takut ada yang mendengar. Ify pun hanya tiggal memberi titik pada kalimat terakhir yang ia tulis.
Via menoleh, lalu tersenyum, “itu tahu.” jawabnya enteng. Lalu merapikan pulpen dan buku-bukunya yang sedikit berantakan di atas meja.
Ify berdecak, “lo suka sama Kiki? Serius? Aduh Vi, please deh gak usah nyari masalah. Apa lagi sama Zahra.” ucap Ify, gemas, mengingatkan Via.
“Udah deh santai aja. Lo sendiri ekskul apa?”
“Gue vocal sama cheers.” jawab ify, menatap Via. “Lo cuma ikutan satu ekskul aja?”
Via mengangguk, “emang harus 2?” tanyanya.
“Enggak sih. Yaudah yuk ke kafetaria. Gue laper.” ajak Ify kemudian. Via pun mengangguk. Setelah menaruh formulir itu di laci meja, karena akan mengumpulkannya sepulang sekolah, mereka pun beriringan jalan menuju kafetaria.

***

Hari-hari berjalan seperti biasa. Tidak terasa lebih lama atau lebih cepat. Via terus mengikuti latihan ekskul basket yang dilaksankan setiap hari Kamis dan Sabtu. Walaupun terkadang dia harus berhadapan dengan Zahra, ketua ekskul basket putri. Karena diam-diam, ketika sedang latihan, tidak jarang Via mencuri-curi pandang untuk menatap Kiki. Dan itu membuat Zahra sedikit geram. Kiki sangat merasakan itu, tapi dia berusaha sebiasa mungkin.
Via sendiri terkadang jika di kelas selalu mengajak Kiki bicara, walaupun Kiki tidak menanggap lebih. Via bisa dibilang terlalu menunjukan perasaannya kepada Kiki. Pernah suatu hari Via memberi Kiki sebuah gelang. Tapi naas, Kiki menolaknya mentah-mentah. Tapi itu tidak menyurutkan tekad Via. Dia masih selalu mengajak Kiki bicara dan kadang dia suka mengirimi Kiki pesan -yang dia dapat nomornya melalui teman sekelas lainnya- melalui ponselnya

***

“Heh, lo Sivia kan?” tanya seseorang yang tiba-tiba sudah ada di hadapan Via sekarang. Di kafetaria.
Via menggangguk lalu menegadah wajahnya. Posisinya yang duduk dan lawan bicaranya yang berdiri membuat dia sedikit harus mengangkat wajahnya, “Iya, kenapa? Lo siapa?” kata Via santai.
Ify yang di sebelah Via hanya mampu menutup mukanya sendiri. Berdoa tidak jelas, berharap tidak terjadi apa-apa antara Zahra dan Via. Tidak sedikit pengunjung kafetaria yang menengok ke arah meja dimana adanya Via dan Zahra.
“Gue Zahra. Pacar Kiki.” Jawab Zahra, lancang, seraya mendekatkan wajahnya ke hadapan Via.
“Oh….iya….ada apa lo nyamperin gue?” ujar Via, masih santai. Dia lalu mendirikan posisinya yang semula duduk. Agar dengan mudah bertatapan dengan Zahra.
“Gue ingetin yah, Kiki itu cowok gue. Jadi gak usah sok kegenitan sama cowok orang. Pake sms-sms tiap malem lagi. Nyadar dong, Kiki juga ga pernah ngeladenin lo!!!” sungut Zahra, tajam. Seraya menunjuk-nunjuk wajah Via dengan telunjuk tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya berkacak pinggang. Kafetaria menjadi sunyi. Seolah tidak mau ketinggalan adu mulut kedua wanita ini. Ify hanya diam, berharap Kiki atau siapapun datang. Menghentikan semuanya.
“Suka-suka gue dong. Mau gue cium Kiki nya juga gak apa-apa kali. Toh dia bukan punya lo kan? Lo tuh cuma pacarnya, bukan pemiliknya. Gak lebih . oke? Dan lo gak bisa ngatur gue seenak lo!!!” Via membalas ucapan Zahra tidak kalah emosi. Memang kesannya seperti tidak tahu diri, Via pun mengetahui itu.
“Lo tuh yah! Punya harga diri gak sih?? Sekali lagi gue ingetin, jangan pernah ganggu Kiki. Oke??” kata Zahra, yang langsung ngeloyor pergi, tanpa memedulikan para pengunjung kafetaria yang seolah seperti wartawan, ingin menanyakan banyak hal mengenai hal ini.
“Lo gila yah?” komentar Ify, setelah Via kembali duduk di sebelahnya.
Via menoleh kearah Ify lalu mengerutkan dahinya, “gue ? gila? Atas dasar apa lo ngatain gue gila?”
“Yaiyalah. Omongan lo semua tadi tuh salah besar. Ya jelas lah Zahra marah kalau lo ngedeketin Kiki kayak gitu. Zahra kan pacarnya, gimana kalau lo ada di posisi Zahra? Gak mungkin kan lo rela Kiki di deketin sama cewek lain? Apa lagi tadi lo bilang apa? Lo mau cium Kiki juga gak masalah? Ya masalah lah. posisi Zahra sebagai cewek Kiki ya sama dengan orang ketiga yang milikin Kiki, setelah orang tuanya.” jelas Ify panjang lebar. Yang ia harap ucapannya sama sekali tidak menyinggung Via. Ify menggigit bibir bawahnya, takut salah ngomong.
Mau tidak mau Via mengakui ucapan Ify benar secara telak. Dan dialah yang berada di posisi salah. Tapi Via mempunyai alasan tersendiri mengapa ia melakukan ini. Akhirnya Via pun hanya menoleh dan tersenyum ke arah Ify. Kembali ke kelas, berjalan dengan gontai.

***

4 bulan bersekolah di SMA Mandiri membuat Via sedikit puas. Akhirnya dia mengetahui bagaimana rasanya memiliki banyak teman, makan di kafetaria, hangout bersama, berlatih ekskul, dan yang lainnya, yang memang biasa dilakukan pelajar di sekolah umum. Dia menikmati masa-masa ini, yang menurutnya suatu bagian terindah dalam hidupnya.
Bulan ini akan diadakan pertandingan basket antar sekolah di kota ini. SMA Mandiri pun turut serta dalam tournament ini. Baik tim putra maupun putri sudah 2 minggu belakangan ini lebih mengkonsentrasikan latihannya. Bahkan intensitas latihan pun ditambah. Guna mendapat hasil yang memuaskan dalam tuornament. Via yang sudah menjadi tim inti, merasa sangat senang, karena akhirnya dia akan merasakan bagaimana mengikuti tournament seperti ini. Dengan giat dia selalu mengikuti latihan.
Zahra yang awalnya sempat kesal karena Via masuk dalam tim inti, harus menghilangkan sementara rasa bencinya terhadap gadis itu. Pasalnya, sampai detik ini Via masih selalu mengirimi Kiki pesan atau sekedar mengajak bicara. Seperti yang lalu-lalu. Seolah ancaman Via di kafetaria beberapa minggu silam itu hanyalah angin lalu.
Pernah suatu hari Via memberi Kiki sebatang coklat, yang ia beri pita berwarna merah hati. Via memberikannya sehabis latihan basket. Alhasil Zahra melihatnya. Ingin rasanya saat itu juga Zahra memakan mentah-mentah atau sekedar menampar Via, tapi Kiki menenangkannnya, dan langsung membuang coklat itu saat itu juga. Zahra tersenyum puas, sedangkan Via malah memungut kembali coklat itu dan memberikannya kepada Iel, Alvin, dan Rio.
Bukan hanya Zahra, teman-teman sekelas Via pun tidak menyukai Via. karena Via terlalu cari muka di hadapan guru. Pernah waktu itu, hampir semua anak-anak dikelasnya lupa mengerjakan PR. Akhirnya mereka pun bersama-sama menyalin PR kepada temannya yang sudah mengerjakan PR. Dan memang entah apa yang membuat Via setega tu, dia mengadukan itu kepada guru tersebut. Jadilah teman-teman sekelas Via diberi hukuman, kecuali Kiki,Ify, dan dia tentunya, karena memang dasarnya mereka tidak pernah mencontekan atau menyontek PR. Dan itu bukan hanya sekali, berulang kali.
Ada yang pernah memarahi ia masalah ini, dengan santainya Via menjawab, “lo tahu gak PR itu apa? Pekerjaan rumah! Kerjain di rumah dong bukan di sekolah. emang lo ngapain aja dirumah? Males banget sih.” Dan akhirnya, secara bersamaan seluruh teman sekelasnya memusuhinya.
Hari ini adalah final dari tournament basket. Tim dari SMA Mandiri sendiri akhirnya sampai menuju final. Tidak sia-sia mereka melakukan latihan yang ekstra keras. Iel yang merupakan kapten basket lelaki sendiri memang paling jago untuk mengatur posisi pemain. Zahra pun begitu. Walaupun dia suka menjadi malas jika menemui Via di dalam timnya, yang mau tidak mau harus bekerja sama dengannya bila sudah berada di dalam lapangan.
Tim basket putri sudah berhasil mengalahkan SMA Mulia. Berarti dengan bergitu tim putri SMA Mandiri menjadi pemenang telak tournament ini. Tinggal para lelakinya. Dan kini para lelaki sedang mempertaruhkan piala tournament ini. Skor sedari tadi masih berkejar-kejaran, hanya beda 4 atau 6 point. Terkadang SMA Mandiri yang unggul tapi kadang juga SMA Budi Luhur yang unggul.
Secara tiba-tiba seorang pemain yang sedang asik mendribel bola terjatuh. Kakinya keseleo, tapi keadaannya pun langsung terbaring, menahan pingsan. Bodohnya, Via yang sedang menonton basket dari sisi lapangan langsung masuk ke areal permainan dan menolong si kapten basket SMA Budi Luhur, yang bernama Cakka itu. Dan itu membuat semua orang yang berada di dalam stadium menatapnya dengan heran. Bagaimana tidak? Via malah membantu musuh utama sekolahnya sendiri. Musuh. Utama. Sekolahnya. Sendiri. Oke. Kurang sinting apa dia? Jelas-jelas dia tahu bahawa Cakka adalah musuh sekolahnya, dan dia pun adalah tim inti dari tim basket putri. Mengapa dia melakukan hal konyol, yang melebihi batas konyol ini?
Seisi stadium hening melihat apa yang ada di sisi lapangan. Entah kagum, geram atau heran. Para lelaki yang semula sedang bermain basket pun terdiam. Ehm..tepatnya diam di tempat. Tidak mengerti.
“ADUH! PANGGILIN MEDIS DONG! NIH IDUNG CAKKA KELUAR DARAH TERUS!!!!” Via tiba-tiba berteriak, memecah keheningan. Dia membantu Cakka mengelap darah segar menggunakan cardigannya, yang terus mengucur.
Para pelatih yang juga ikut kaget melihat apa yang mereka sasikan pun ikut tersadar dengan teriakan Via. cepat-cepat mereka memanggil tim medis dan segera menggotong Cakka hingga ke tempat perawatan untuk yang mengalami kecelakaan yang berada dibelakang stadium.
“Sudah sudah. Ayo kita lanjutkan!” seru wasit setelah Cakka dipastikan telah diamankan. Wasit pun meniupkan peluit. Permainan pun dilanjutkan, walaupun terasa kurang tanpa kehadiran Cakka. karena Cakka adalah salah satu pemain yang sangat tidak diragukan keahliannya.
Sebenarnya para pemain basket lelaki, dan juga wanitanya, bahkan seluruhnya, masih terbingung-bingung apa maksud dan tujuan Via? apakah dia tidak mengerti CAKKA ITU MUSUH UTAMA SEKOLAHNYA? Oke, mungkin dia belum mengetahui itu, apalagi mengerti. Setidaknya dia tahulah, Cakka adalah lawan sekolahnya. Lawan. Mereka berusaha menghapuskan rasa penasaran itu, kembali menfokuskan fikiran kedalam permainan. Toh besok di sekolah pasti sudah tersebar berita tentang ini, beserta penjelasannya.
Via tengah duduk di samping ranjang dimana Cakka ditidurkan. Cakka sendiri sudah tidak mimisan lagi. Tapi kakinya masih sulit di gerakan dan kepalanya masih pening. Dia terus memijat pelipisnya menggunakan jarinya sendiri. Dia mencoba membangkitkan posisinya, dan menyenderkan tubuhnya ke kepala ranjang.
“Lo siapa?” tanya Cakka, melihat Via dengan heran.
“Gue Via, keadaan lo gimana? Udah enakan?” jawab Via, tersenyum. “Nih minum dulu, dari tadi lo belum minum.” lanjutnya seraya menyodorkan secangkir teh hangat, yang tadi diberikan oleh perawat disini.
“Via? kayaknya gue gak kenal lo deh. Gak mungkin kan efek mimisan gue jadi amnesia?” kata Cakka, terus menerus memijat pelipisnya sendiri. Lalu dia pun mengambil cangkir yang Via sodorkan, meneguknya hingga setengah habis.
Via tersenyum, “Enggak Kok, gue juga baru liat lo. Gue anak SMA Mandiri.”
Cakka sedikit tersedak, mulutnya sedikit ternganga, “serius lo anak Mandiri? Lo ngapain disini? Kita kan lawan.”
“Lawan bukan berarti musuh kan? Masa iya tadi lo jatoh gue gak nyamperin? Tega amat gue? Gue kan yang emang posisinya paling deket sama lo. Tadi kan lo jatoh pas banget di sisi kiri.” jelas Via, enteng. Bibirnya masih membentuk suatu lengkungan.
Cakka menaruh cangkir yang berisikan teh itu ke meja sebelah ranjang yang ia duduki, “tapi… oh Tuhan. Lo gak takut anak-anak sekolah lo jadi gimana gitu ke lo?” katanya, yang masih menatap ke arah Via, yang duduk di samping kanannya.
Via menggeleng, “Aduh. udah deh. Yang penting gue udah nolongin lo kan?”
“Bukan…bukan gitu…gue cuma gak enak aja. Gue sadar banget sekolah kita itu musuh besar dalam hal basket. Dan…..masa lo nolongin musuh lo sendiri? Dan tadi lo bilang apa? Lawan bukan berarti musuh? Tapi kita itu musuh!” Cakka sekali lagi menjelaskan kepada Via, geregetan.
“Diem. Oke. Gue yang bakal nanggung. Kalau lo kenapa-kenapa lo bilang aja ke gue. Samperin gue di Mandiri. Oke? Sekarang gue cabut yah.” Tanpa menunggu jawaban dari Cakka, Via bangun dan segera pergi. Seolah tadi hanyalah percakapan antar teman biasa. Cakka hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya, heran dengan jalan fikiran Via. Dia lalu kembali memijat pelipisnya dan sedikit menggerak-gerakkan kakinya. Beruntung, tak lama seorang perawat datang dan menanganinya.

***
Sepertinya memang benar dugaan Cakka, setelah insiden tournament itu semua murid di SMA Mandiri sepertinya memandang jiji Via. mereka menatap sinis Via jika ia sedang berjalan di koridor sekolah. mereka membicarakan Via saat ia sedang duduk bersama Ify di kafetaria. Mereka menjauhkan Via saat ia berada di dalam kelas. Semua menjauh. Semakin. Sebelum ini saja, Via sudah diajuhi oleh teman sekelasnya. Dan sekarang, satu sekolahpun menjauhinya. Bahkan kabarnya, Zahra mengeluarkan Via dari tim basket. For your info, SMA Mandiri menjadi juara telak di tournament itu.
Hari ini adalah jadwal latihan basket. Sebenarnya sedikit ada yang kurang karena Via tidak ada disini. Biasanya, Via yang memberi mereka minum atau tissue, untuk pemain yang tidak membawa handuk. Tapi sosok itu telah hilang. Walau bagaimanapun, Via telah menyumbang skor dalam tournament yang lalu. Semua perasaan kekurangan atau bisa dibilang kehilangan sosok Via terhapuskan jika mengingat kelakuan Via saat di lapangan itu. Menolong. Musuh. Utama.
“Kiki, apa keputusan mengeluarkan Zahra dari tim basket kita adalah suatu keputusan yang tepat?” tanya Pak Joe, pelatih basket SMA Mandiri. Dia dan Kiki tengah beristirahat dan duduk di bawah pohon yang berada di sisi lapangan.
Kiki tidak menatap pak Joe, pandangannya masih lurus. Menerawang. “Kalau saya lihat dia berbakat dalam bermain bakset. Tapi kelakuannya sudah di atas batas normal.”
Pak Joe kali ini tidak manatap Kiki, dia juga ikut manatap lurus, ikut menerawang. “Tournament kemarin dia menyumbang 14 point, dia yang paling sering ngerebut bola dari lawan.” kata Pak Joe. “Kayaknya kita terlalu melebihkan masalah itu deh.”
Kiki kini menoleh ke arah pak Joe “Bapak mau masukin Via lagi ke tim?” tanyanya. keningnya sedikit berkerut.
Pak Joe balas menatap Kiki. Tersenyum, dia mengangkat kedua bahunya, “Kalau dia di masukin lagi, Bapak takutnya yang lain jadi gak semangat latihan. Bapak dan semua guru memerhatikan, semenjak tournament itu siswa di sekolah menjauhi Via. mungkin kecuali Ify. Bahkan Rio Iel dan Alvin yang asalnya lumayan akrab dengan Via pun sekarang menjaga jarak.” jawab Pak Joe, nadanya datar, tapi penuh kenyataan.
Kiki menghela nafas, kencang. Dia kembali menatap lurus kedepan. Melihat anak-anak wanita yang kini berlatih basket, di pimpin oleh Zahra dan Pak Wawan, pelatihnya. “Kalau saya sih terserah Bapak. Kan Bapak pelatihnya. Kenapa Bapak gak ngomongin ini sama Zahra atau Iel? Saya kan bukan kapten pak.” katanya. sedikit heran. Betul juga. Posisi Kiki kan sama seperti Rio, Riko dan yang lainnya. Hanya pemain inti.
Pak Joe mengerling sesaat, “Bapak denger semuanya. Bapak merhatiin kalau lagi latihan Via sering ngedeketin kamu. Memang bukan cuma kamu yang dia perhatiin, tapi dia memang lebih mendekati kamu. Tatapannya pun beda. Kadang Bapak juga suka ngeliat kalau kamu lagi main dia suka ngeliatin kamu sambil senyum-senum.” jelas Pak Joe lalu terkekeh.
Kiki menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal. “Iya Pak, saya juga bukannya GR, saya juga ngerasa. Memang bukan lebih mendekati. Dia memang mendekati saya. Dia sering ngasih saya coklat, padahal selalu saya tolak. Setiap malem dia mengirimi saya SMS, padahal sudah saya bilang jangan pernah ngirimin saya SMS lagi. Tapi sampai malam tadi pun sama pak. Yang saya heran juga, walaupun banyak yang gak suka sama dia, dia masih selalu bersikap ramah, tidak peduli tanggapan orang lain. Padahal sebenarnya dia juga tahu jelas orang-orang gak suka sama kelakuan dia.” ujar Kiki. Panjang. Sedikit curhat juga. Pandangannya menerawang, perlahan mengingat gadis itu. Gadis yang mempunyai lesung itu.
Pak Joe mengangguk. “Kamu gak tertarik sama dia?” tanya Pak Joe lebih jauh, menoleh ke Kiki sesaat.
Kiki terkekeh. “Dia aneh Pak, gak bia ditebak. Kadang dia suka ngaduin anak-anak sekelas ke guru kalau kita ngerjain PR di kelas, kadang juga dia malah ngasihin PR nya buat dicontek dan gak ngaduin. Bener-bener gak bisa ditebak.” sahut Kiki, masih terus menerawang. Perlahan bibirnya membentuk suatu lengkungan, mengingat sosok Via.
“Tapi dia cantik loh. Cantik banget malah.” timpal Pak Joe sambil tersenyum jahil.
“Menurut saya yang paling cantik tetep Zahra pak.” kata Kiki dengan tegas. Pak Joe hanya terkekeh mendengarnya. Memang sudah sangat sering mereka berdua berbincang seperti ini. Tetapi semenjak latihan-latihan ekstra menghadapi tournament itu, mereka tidak lagi berbagi seperti ini. Lagian, ini pertama kalinya mereka membiacarakan seseorang seperti ini. yang biasanya mereka bicarakan tentang lawan, pemain, atau pelajaran.

***
Detik terus bergerak, jam terus berputar, hari terus berganti, bulan pun terus bergulir. Sudah 2 bulan semenjak kejadian tournament itu. 2 bulan juga Via mendapat perlakuan yang sangat tidak mengenakkan. Sebenarnya Ify sudah malas berteman dengan Via. Tapi mengingat sisi lain dari sosok Via yang juga sangat asik dan baik tidak membuat dia menjauhi Via. Toh dia tidak mendapatkan dampak negative dari statusnya yang menjadi satu-satunya teman Via. Rio pun tidak memperdulikan itu. Dia tidak peduli Ify berteman dengan siapapun, asal tidak mengangguk hubungan mereka. Biar Via dijauhi oleh seluruh murid sekolah, Ify tidak mengalaminya.
“Via! Di panggil Bu Ira” seru Sion, si ketua kelas. Dari depan kelas. Sebenarnya jika Sion memilih, dia lebih memilih memakan kecoak hidup dari pada sekedar memanggil Via. menjijikan, serunya dalam hati jika melihat Via. Via pun terpaksa menyudahi percakapannya dengan Ify.
“Gue dipanggil Bu Ira?” tanya Via memastikan, setelah ia sudah berdiri di hadapan Sion. Sion hanya mengangguk malas. Via pun berjalan sendirian menuju kantor kepala sekolah. koridor sangat sepi, semua sedang ada pelajaran, kelas Via sendiri sedang pelajaran kosong.
“Ibu manggil saya?” kata Via, setelah berdiri di ambang pintu ruang kepala sekolah.
Bu Ira menoleh lalu mengangguk, “sini masuk. Duduk.” katanya seraya tersenyum. Via pun menurut. “Ehm,ibu mau nanya, kamu mau gak ikut olimpiade IPA?” kata Bu Ira, menjelaskan tujuannya memanggil Via.
Via mengernyitkan keningnya, heran. Dia baru satu semester menjadi siswa di sekolah ini, tapi mengapa dia yang di ikutkan olmpiade? “kok saya bu?” tanyanya, polos.
“Saya melihat nilai-nilai kamu saat home schooling dulu dan itu sangat di atas nilai rata-rata. Saya yakin kamu bisa. Apalagi dengar-dengar kamu paling suka menyukai pelajaran IPA kan?” jelas Bu Ira, yang masih tersenyum .”tadinya saya mau pakai Alvin, tapi dia sibuk dengan OSIS.” lanjutnya. “bagaimana? Kamu mau? Lombanya di laksanakan 2 bulan lagi. Saya yakin kamu bisa.”
Via bigung. Harusah dia menolak tawaran yang sebegitu menggiurkan ini? Ini adalah salah satu keinginan Via, mengikuti olimpiade IPA. Akhirnya dengan berani Via tersenyum .”Baik Bu, saya bersedia. Sebisa mungkin saya akan membuat sekolah kita menjadi juara.”
Bu Ira tersenyum puas. “terimakasih Sivia.”

***

Selama 2 bulan belakangan ini, Via semakin giat belajar. Waktu belajarnya di rumah pun bertambah drastis. Di sekolah pun saat isitirahat dia lebih memilih membaca buku di perpustakaan dibanding pergi dengan Ify ke kafetaria. Ify sih tidak masalah. Tidak masalah sama sekali malah. Dengan tidak adanya Via disisinya, Ify bisa gabung dengan Rio. Pasalnya, jika Ify gabung dengan Via, Rio tidak mau bergabung dengan ify. Ya, karena Via.
Setiap minggu pun Via di beri bimbingan dalam memantapkan materi yang dia pelajari. Dia benar-benar bertekad bulat untuk memenangkan olimpiade ini. Ia tidak ingin mengecewakan siapapun. Lagian, ini salah satu jalan untuk meraih salah satu cita-citanya, menjuarai olimpiade ternama.
Hari itu tiba. Hari dimana olimpiade itu dilaksanakan. Olimpiade yang diselenggarakan di Bandung selama 3 hari itu berjalan sukses. Tidak ada yang main belakang. Semua murni. Para peserta pun benar-benar dipilih dengan cermat oleh para juri. Maka yang akan menjadi pemenang dalam olimpiade tingkat provinsi ini pun benar-benar murid yang terbaik.
Bu Ira dan Bu Winda lebih tegang dari pada Via, yang notabene pesertanya sendiri. Memang bukan hanya Via yang di wakilkan dari sekolah. ada juga Angel yang mengikuti matematika. Tapi Angel pun merasakan gemetar yang sangat hebat.
Selain berusaha semaksimal mungkin, mereka semua pun tak lupa berdoa. Untuk diberi kemudahan dan yang terbaik.

***

Sepertinya hari itu hari terindah untuk Via. bukan hanya Via, untuk Bu Ira dan Bu Winda pun begitu. Pasalnya Via telah berhasil memenangkan olimpiade ini. Olimpiade tingkat provinsi ini. Mulanya Via tidak percaya, tetapi setelah 4 kali juri memanggil namanya sebagai pemenang, Via benar-benar yakin, dialah pemenangnya. Rasa gembira membuncah, menyelimuti hatinya. Rasanya dia seperti berada di surga tingkat 9. kerja kerasnya selama 2 bulan belakangan ini benar-benar tidak mengecewakan.
Sayangnya, nasib Angel tidak seberuntung Via, Angel gagal dalam olimpiade ini. Tapi hasilnya tidak terlalu mengecewakan. Dia menjadi juara harapan. Walau tidak menjadi juara umum seperti Via, Angel pun bersyukur. Bu Ira dan Bu Winda sangat bangga terhadap anak didiknya itu. selama pembagian piala dan trophy itu baik Via, Angel dan Bu Ira Bu Winda tidak hentinya tersenyum lebar.

***

Kemana dia? Apakah dia di telan bumi? Apakah dia di culik makhluk luar angkasa? Apa jangan-jangan dia bunuh diri? Oh…dia mati mungkin?
Mungkin bergitulah kasak kusuk yang terdengar hari ini di seluruh penjuru sekolah. Mulai dari gerbang utama hingga ujung kafetaria. Hampir semua membicarakan itu. Ify, yang saat itu baru masuk kembali dari sekolah, setelah izin dari sekolah selama 4 hari untuk pergi ke Bandung menengok Neneknya, datang hanya menatap bingung wajah teman-temannya. Dia menatap heran bangku sebelahnya, masih kosong. Akhirnya dia memilih untuk keluar, menemui Rio. 4 hari tidak bertemu dengan kekasihnya itu membuatnya rindu.
“Ada apa sih Yo? Kok ribut banget?”tanya Ify. Dia, Rio, Iel, Alvin, dan Kiki tengah duduk di bangku yang berada di sisi koridor sekolah. bangku yang menghadap ke lapangan basket.
Rio menoleh, “Kamu belum tahu? Tanya tuh ke si Kiki.” kata Rio seraya menunjuk Kiki, yang duduk di samping kiri Ify, menggunakan dagunya.
Ify yang asalnya menatap ke arah kanan mengalihkan kepalanya ke kiri, untuk menatap Kiki, “ada apa sih Ki?”
Kiki mengangkat bahu , “gak tahu, emang kenapa?”
Iel yang duduk di sebelah kiri Kiki meneloyor kepalanya, “bego! Maksud Ify tuh kenapa keadaan sekolah masih kayak begini. Udah 3 hari juga.” seru Iel. Kiki meringis. Alvin hanya menatap temannya dengan acuh, seraya mendengarkan iPodnya, Rio terkekeh, tangan kirinya terkait di bahu Ify.
“Lah kok nanya ke gue? Ya tanya orang-orang lah.” kata Kiki polos. Tak mau di salahkan. Dulu, Kiki memang bergabung dengan Rio, Alvin dan Iel. Ify juga selalu gabung dengan mereka, tetapi semenjak Ify dekat dengan Via, Kiki jadi sedikit malas dan lebih memilih gabung bersama Zahra atau bila perlu menyendiri di perpustakaan. Tapi setelah Rio, Iel, dan Alvin yang juga agak jarak dengan Via, dia jadi kembali gabung dengan mereka.
“Yah kan orang yang mereka omongin berkaitan dengan elo.” timpal Rio. Ify melongo, tidak mengerti.
“Hah? Via? kok gue?” kata Kiki. Seperti benar-benar tidak tahu.
“Via kenapa?” tanya Ify, kaget mendengar nama Via di bawa-bawa. Masa iya Via yang mereka bicarakan.
“Pada bego nih gue punya temen.” ujar Iel seraya meneloyor lagi kepala Kiki. Kali ini Kiki membalasnya. Mereka berdua sama-sama meringis. Ify memandang kedua lelaki itu gemas. “Jadi, Via tuh kan menang olimpiade, nah waktu kemarin pas upacara buat pengumuman kalau dia menang, sama Angel juga sih. Eh tapi Angel cuma harapan. Eh Via malah gak dateng. Bukan cuma itu aja. Udah 3 hari dia gak sekolah. tanpa keterangan. Guru-guru ke rumahnya pun sepi katanya. Memang banyak kemungkinan sih, tapi yah memang anak sekolah ini aja yang lebay.”
Ify mengangguk, paham. “Terus, Via kemana?”
Kali ini Kiki meneloyor kepala Ify, gemas. “Yo! Lo punya bini bego amat! Ya mana kita tahu. Tuh anak belum dateng.” timpal Kiki geram. Ify balas memukuli lengan Kiki pelan. Rio meneloyor balik Kiki.
“Yah gue kira kan semuanya udah terjawab sekarang.” kata Ify, polos. Bibirnya sedikit di majukan.
“Belum lah. gue juga penasaran dia kemana. Gak ada dia 3 hari di sekolah aja berasa ada yang beda. Gak ada yang sok ramah. Gak ada yang bisa kita ledekin. Hahahaha.” ucap Iel, menerawang, lalu terkekeh.
“Lo naksir sama dia?” tanya Kiki seraya mengerling kepada Iel.
“Ngaco lo.” jawab Iel, mendorong pelan bahu Kiki. Ify dan Rio kompak terkekeh. “Lo emang gak dikirimin SMS sama dia Ki?”
Kiki mengerutkan dhinya, lalu menggeleng pelan. “udah seminggu engga tuh. Biasanya dia yang paling pertama muncul di hp gue tiap pagi dan selalu ngucapin selamat malam ke gue. Zahra aja kalau sms paling cuma ‘gue tidur yah. Bye’ atau ‘udah ah cape’ lah Via? panjang banget.” Kata Kiki seraya menirukan ucapan Zahra, tetapi tatapannya menerawang. Mengingat-ngingat kehadiran Via di hidupnya belakangan ini, yang mau tidak mau Kiki harus mengakui bahwa sedikit-sedikit dia mulai nyaman dengan kehadiran Via. walaupun Via sibuk belajar untuk menghadapi olimpiade itu, setiap minggu dia tidak pernah absent memberi Kiki coklat. Yang walau hasilnya sama, selalu ditolak dan kembali berada di kantong Via.
“Jangan bilang lo lagi Ki yang suka sama dia.” ceplos Iel balas dendam.
“Buset! Ngga! Dihati gue ada Zahra seorang.” jawab Kiki, sedikit munafik. Hah? Munafik? Engga….batin Kiki seraya menggeleng cepat. Ify , Rio, dan Iel ikutan menggelengkan kepala melihat Kiki. Sedangkan Alvin masih asik dengan iPodnya.

***

Sudah 2 bulan Via tidak masuk. Kabarnya dia sakit. Tapi tidak ada yang tahu pasti dia sakit apa. Hanya saja waktu minggu lalu sepucuk surat datang dari tukang pos. Bu Ira yang membacanya. Dia langsung mengumumkan melalui speaker sekolah bahwa Via sakit. Tidak di jelaskan Via sakit apa. Tidak diberi tahu pula Via di rawat dimana.
Jujur, Ify dan Kiki adalah 2 sosok yang sangat merindukan sosok Via. sosok yang diam-diam menajdi bagian hidupnya dengan tingkah anehnya. Yang membuat mereka tersenyum melihat tingkah konyol yang Via buat. Ketika mendengar Via sakit, mereka berdualah yang paling kaget. Apa selama 2 bulan ini Via sakit? Sakit apa? Selama itukah?
Ternyata anak-anak sekolah pun diam-diam merindukan sosok Via. gadis aneh itu yang tidak pernah bisa ditebak. Gadis yang juga menjadi bahan pembicaraan. Tetapi sekarang, gadis itu tidak ada, sakit, tidak tahu sakit apa.
Hari ini, sehabis jam isitirahat ada seorang ibu-ibu menggunakan kerudung yang tiba-tiba mengetuk pintu kelas yang di tempati Ify dan Kiki, beserta Via tentunya. Bu Winda yang tengah menerangkan pelajaran dengan terpaksa harus menoleh.
“Cari siapa Bu?” tanyanya, berjalan menuju ambang pintu.
“Saya mau ketemu Kiki dan Ify, bisa?” jawab Ibu itu. Seluruh siswa mulai saling berbisik. Kasak kusuk. Kiki dan Ify berpandangan, heran namanya disebut. Dengan kompak, mereka angkat bahu.
“Ada apa yah Bu?” tanya Bu Winda, yang juga heran. Pasalnya ibu ini bukan guru di sekolah ini.
“Saya Ibunya Via. nama saya Ibu Mia. Saya ada perlu sama mereka berdua. Kalau boleh, saya mau ijin buat bawa mereka. Gak akan saya apa-apain.” jawab Ibu itu, yang ternyata Ibunya Via, Ibu Mia. Seluruh murid tambah berbisk-bisik. Semakin ribut.
Akhirnya Bu Winda mengagguk seraya tersenyum, “Ify, Kiki, kemasi barang-barang kalian.” seru Bu Winda lantang, masih dari ambang pintu. Menatap Kiki dan Ify bergantian. Ify dan Kiki bingung, tapi akhirnya menurut saja.

***

Ify dan Kiki sama-sama di selimuti perasaan heran. Gemetar. Takutnya ternyata mereka diculik. Tapi bodohnya mereka terus mengikuti langkah kaki Bu Mia, menelusuri lorong rumah sakit. Ify dan Kiki mengangguk paham. Menemui Via.
Ify menutup mulutnya menggunakan tangan kirinya. Kiki membesarkan bola matanya. Mereka berdua sama-sama kaget dengan apa yang mereka lihat sekarang. Via tengah berbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Selang menempel dimana-mana. Di sebelahnya terdapat monitor yang menunjukan detak jantung Via, lemah.
Ify memberanikan diri duduk di samping ranjang Via. tidak tega melihat Via seperti ini. Kiki sendiri malah duduk di sofa. Membenamkan kedua wajahnya kedalam kedua tepak tangannya. Di sebelahnya, Bu Mia tengah duduk, menahan tangisnya. Suara isakan mulai terdengar. Kiki melepaskan kedua tangannya dan dengan kompak bersama Ify menoleh ke arah Bu Mia. Bu Mia hanya tersenyum. Ify menarik bangkunya, untuk duduk di hadapan Bu Mia.
“Bu, Via sakit apa?” tanya Ify langsung. Menatap Bu Mia,wajah Ibu itu sendu. Matanya pun sembab, Ify sendiri sedikit menyesal menanyakan hal ini.
Bu Mia menatap Kiki dan Ify bergantian, mulai melengkungkan senyum dari kedua bibirnya. Dia menarik nafas, menghembuskannya perlahan, “Via terjangkit leukemia. Penyakitnya memang sudah akut. Pertama kali dia tahu umurnya tinggal satu tahun, dia maksa-maksa saya sama ayahnya buat ngijinin dia sekolah. kondisinya memang sudah lemah dari kecil. Makanya kami gak pernah ngijinin dia buat sekolah di sekolah umum. Dia terus maksa kami buat ngijinin dia sekolah di sekolah umum, akhirnya kami leleh. Kami gak tega setiap dia bilang kalau itu permintaan terakhirnya. Dan ternyata memang benar, itu permintaan terkahirnya sampai saat ini. Dia gak pernah minta apa-apa lagi ke kami.”jelas Bu Mia, air mata mulai menganak sungai di pipinya. Mengalir deras. Dia mengusap air matanya, pelan. Kiki dan Ify sangat kaget mendengar berita ini. Sama sekali tidak menyangka. Mereka berdua mengusap pelan punggung Bu Mia. “Tujuan dia sekolah di sekolahan umum buat bikin novel. Cita-citanya emang jadi penulis. Dia selalu ngetik semua pengalamannya di sekolah kedalam project nya itu. makanya dia ngelakuin hal konyol sampai hal yang harus diacungin jempol. Dia pengen ngerasain itu semua. Dia pengen ngerasain jadi anak aneh, bandel, jadi anak teladan. dan ternyata sampai detik ini Via udah ngewujudin semua itu. dia cerita ke saya gimana perlakuan teman-temannya ke dia. Bukan bikin dia marah, dia malah seneng, karena dia bia ngerasain sesuatu yang beda. Terus dia cerita gimana persahabatan dia dengan kamu Fy, gimana dia suka sama Kiki. Dia cerita semua. Gak punya beban sama sakali. Dia malah seneng………” tangisnya makin meledak. Badan Bu Mia bergetar hebat. Di depannya, Ify tak kalah histeris. Bening itu dengan deras mengaliri pipinya. Sedangkan Kiki, terus menahan bening itu, yang sudah berada di sudut matanya.
“Dari tadi pagi Via manggilin nama kalian…. Jadi ibu mutusin buat bawa kalian kesini. Ibu juga pengen kalian tahu mengenai Via yang sebenarnya. Sudah saatnya kalian tahu. Ibu sendiri gak tega Via harus dianggep cewek aneh di sekolah….” lanjut Bu Mia, perlahan dia mulai bisa mengontrol emosinya.
“Maafin saya ya Bu, saya juga udah nyakitin Via secara gak langsung.” kata Kiki, tulus.
Bu Mia menoleh lalu menggeleng, “Via ga pernah cerita kalau ia ngerasa sakit sama semuanya. Dia enjoy. Dia pengen berterima kasih sama semuanya, semua yang bikin hidup dia beda, yang baru, yang udah ngasih dia inspirasi buat bikin novel perdananya. Walaupun tinggal endingnya yang belum dia kerjain. Dia terlanjur sakit dan sampai akhirnya koma. Sampai sekarang dia belum sadar total.”
“Ibu yang sabar yah. Semua pasti ada jalannya Bu, semua pasti yang terbaik. Tuhan gak mungkin ngasih cobaan ke hambanya yang ada di luar batasnya.” kata Kiki diplomatis sembari mengelus punggung Bu Mia. Bu Mia tersenyum dan mengangguk.
“Bun…. Bunda…….” kata Via lirih, yang langsung membuat Kiki, Via dan Bu Mia mendekati ranjangnya. Dengan cepat Ify menekan bell yang barada di atas kepala ranjang Via.
“Kamu udah sadar Vi?” ujar Bu Mia yang tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
“Bun…Kiki….Ify……” gumam Via masih lirih. Bu Mia kembali menitikkan air mata. Sedetik kemudian, dokter beserta para susternya datang, dan menyuruh Ify, Kiki dan Bu Mia menunggu diluar. Karena Via akan segera diperiksa.
Diluar, perasaan mereka semua resah. Tetapi rasa kabahagian akan sadarnya Via pun tertanam jelas. Di kursi, Ify merangkul Bu Mia yang tengah duduk di sampingnya. Sedangkan Kiki berdiri, menyendekan punggungnya di dinding samping pintu kamar Via.

***
Bi Mia mendekati ranjang Via, sendiri. Ify dan Kiki mengerti, mereka duduk di sofa yang ada disitu.
“Bun….ma…afinVia…yah….Via sayang…sa…ma…Bunda…” kata Via, terbata-bata.
Air mata Bu Mia bertambah deras, dia mengecup kening Via, hangat. Tulus. “Bunda sayang sama Via, sayang banget… Via yang kuat yah…bunda udah maafin semua kesalahan Via daru dulu…tanpa Via minta Bunda selalu maafin Via…buah hati Bunda….” ujar Bu Mia seraya mengelus rambut Via, lembut.
“Via cape…cape…Bun…Via gak kuat….”
“Via harus berjuang demi Bunda yah……semuanya udah Bunda certain ke Kiki dan Ify..” ujar Bu Mia seraya tersenyum.
Via mengangguk, “Via mau ngomong Bun sama mereka….” ucap Via, Bu Mia pun mengangguk dan berjalan menuju Kiki dan Ify.
“Ify…. Thanks yah…cu…ma…lo yang seti…a jadi temen..gue…” ujar Via, terbata-bata. Ketika itu Kiki dan Ify sudah berada di sisi ranjang Via, mengelilingi.
“Udah Vi…jangan banyak omong dulu…istirahat. Lo baru aja sadar…” kata Ify, seraya mengelus tangan kanan Via.
“Ngga….gue takut gak ada waktu buat bilang makasih…ke elo.” Ucapan Via kini tidak lagi terbata. Ia sudah mampu menormalkan semuanya, walau dadanya masih sedikit sesak.
“Jangan ngomong gitu Vi…gue yakin lo sembuh. Lo harus berjuang demi kita….” Ify terus mengelus lengan Via, pipinya mulai dialiri oleh bening yang hangat itu. deras.
Via menggeleng, lalu menoleh ke arah Kiki, yang berada di sisi kirinya, “Ki…maafin gue yah….”katanya seraya tersenyum. Manis. Kiki baru menyadari senyuman Via saat seperti ini pun sangatlah manis.
Kiki menggeleng, “gue yang harusnya minta maaf Vi.” jawab Kiki, diiringi dengan sebuah senyuman.
Via menggeleng lagi, pelan. “Maaf gue udah ngeganggu hidup lo. Bunda gue udah cerita semuanya kan?”
Kiki mengangguk lalu tersenum, “lo jangan mikirin ini Vi, gue minta maaf yah sama lo karena kelakuan gue yang secara gak sadar udah nyakitin lo banget.”
Via menitikan air matanya, terharu. Detik-detik kehidupannya akhirnya ada 2 orang teman yang sangat ia sayangi. Via menatap Kiki dan Ify bergantian, “bilangin maaf gue ke semua anak-anak sekolah yah. Maaf gue yang sebsesar-besarnya. Biar gue tenang kalau gue udah pergi…”
“Vi…please jangan ngomong kayak gitu.” kata Ify dengan air matanya.
“Ini kenyataan Fy...”jawab Via, perlahan mengangkat tangan kirinya, menghapus air mata sahabatnya itu. “Gue sayang sama kalian. Sayang banget.” lanjutnya, kembali menatap Kiki dan Ify bergantian.
“Gue juga sayang banget Vi sama lo. Sayang banget…..” sahut Ify yang kini sudah berusaha menghentikan tangisnya. Via menatapnya lalu tersenyum.
“Gue juga…..sayang sama lo Fy.” timpal Kiki, tiba-tiba. Mungkin ini sebuah pengakuan terbesarnya. Jauh di lubuk hatinya, dia memendam rasa itu untuk seorang Via. walaupn rasa sayang untuk seorang teman. Spesial.
Via tersenyum ke dua orang itu, “Thanks. Buat novel yang udah gue bikin…biarin tanpa ending yah……jangan bikin endingnya kayak gue…”
Itulah kata-kata terakhir Via. Sejurus kemudian, monitor yang menunjukan detak jantung Via berubah lurus. Tangan Via langsung lemas. Matanya terpejam. Senyuman kecil terbentuk dari kedua bibirnya. Dia pergi dengan damai.

***

Eh beres. Udah yah. Hahaha maaf kalau ngaco atau jelek. Mungkin ini ada satu scene yang di ambil dari buku stargirl, tapi serius deh, beda kok. Yang lainnya juga beda banget. Ini hanya ide yang muncul tiba-tiba. Proyek dari 2 bulan yang lalu selalu saya tunda dan akhirnya beres juga hehehe. Mohon komentarnya (:

peaceloveandgaul
@dhitals …

No comments:

Post a Comment