Cicitan burung sudah mulai berbunyi, nyaring. Menyambut terbitnya sang Matahari yang gagah, yang akan menemani aktifitas seluruh umat. Semua orang pasti berharap, hari ini akan lebih baik dari hari kemarin. Ini adalah hari yang dinanti oleh Ify dan Via, karena hari ini adalah pengumuman kelolosan test mereka. Awalnya mereka sempat ragu, karena mereka pesimis untuk mendapat keberhasilan. Tapi, mereka berusaha untuk se optimis mungkin.
Via menggeliat di atas tempat tidurnya. Diraihnya ponsel yang tergeletak di meja sebelah ranjangnya, sekedar melihat jam, sudah jam 6…gumamnya dalam hati. Pelan-pelan dia mendudukan posisi tubuhnya. Lalu sedikit memuta-mutar lehernya, melemaskan. Dengan lunglai, dia berjalan keluar kamar, menuju kamar mandi. Untuk sikat gigi dan mengambil wudhu, menjalankan sholat subuh.
Via baru saja selesai melipat mukenanya. Telah selesai menunaikan seruan dari Tuhan. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya sebentar, lalu mulai melangkah keluar dari Musholla yang letaknya berada di pojok lantai atas rumahnya, menuju lantai bawah. Menemui Mamah Tirinya. Baru saja dia menginjakkan kakinya di anak tangga paling bawah, Mamahnya melewat, sepertinya menuju dapur. Dengan cepat Via mencegatnya.
“Mah…” serunya, nadanya cukup keras. Mamahnya kontan menghentikan langkahnya dan menatap Via.
“Kenapa Vi? Tumben udah keluar kamar. Mau ke sekolah? kan sekarang sabtu. Bukannya libur?” tanya Mamahnya bertubi-tubi, heran. Alisnya sedikit terangkat.
Via berjalan agar lebih dekat dengan Mamahnya, kini ia sudah berdiri di samping Mamahnya, “Hari ini ke SMA tiga yah, ngambil pengumuman test. Sama orang tua.” jawab Via, raut wajahnya sedikit memohon.
Mamahnya sedikit menghela nafas, berat, “jam berapa?”
“Jam 8 Mah.”
“Yaudah. Sekarang masih jam 6 lewat ini.” kata Mamahnya, akhirnya setuju. Tidak biasanya. Mungkin Mamah tirinya itu sudah benar-benar ingin Via menjadi tanggung jawabnya, tidak lagi terbagi dua untuk Mamah kandungnya. Sedikit kejam memang. Tapi maksudnya bukan untuk memisahkan, hanya untuk lebih bertanggung jawab. Sampai saat ini Via masih di bebasi bertemu untuk Mamahnya.
Via mengangguk lalu tersenyum , “Makasih Mah.” ujarnya lalu meninggalkan Mamahnya, yang juga melanjutkan langkahnya menuju dapur. Via berjalan menuju ruang TV, dimana Kak Zahra sedang berduduk santai disitu, seraya terus-menerus memencet tombol remote, mengubah-ubah saluran TV.
“Jangan gossip ah.” kata Via setelah berhasil melandaskan (?) pantatnya di tempat kosong sebelah kak Zahra duduk, di sofa yang sama.
“Mau apa? Berita? Udah deh ini aja, si Ariel masuk penjara.” Jawab Kak Zahra lalu menaruh -lebih tepatnya menyembunyikan- remote di sebelah pantatnya, hampir di duduki. Karena di tahu, Via lebih suka menonton berita atau kartun dibanding gossip.
Via melengos, kesal. Lalu pasrah menonton apa yang disuguhkann acara TV di depannya kini.
“Eh NEM lo berapa?” tanya Kak Zahra, tanpa mengalihkan pandangannya dari TV -yang sedang asik membahas masalah Ariel-.
“37 koma-an.” jawab Via sedikit malas. Malas mendengar respon dari kakaknya.
“Murni hasil lo? Matematika lo berapa?” tuh kan, betul saja dugaan Via, kakaknya mencemoohnya.
“Iyalah. Masa lo yang ngerjain? Mate 9,6 . kenapa?” tanyanya, nadanya sedikit sinis.
Kak Zahra sedikit tidak percaya, terlihat dari ekspresinya yang sedikit memasang wajah sinis, “serius? Tumben lo pinter.” komentarnya, pedas. Via berdecak, sedikit menghentakkan kakinya pelan ke lantai. “Pengumuman test SMA 3 kapan?” lanjut kak Zahra.
“hari ini.lo jaga rumah yah sama si bibi berdua. Mamah nemenin gue.” jawab Via seadanya. Dia lalu bangkit dan berjalan menuju dapur.
“jangan nangis yah kalau hasilnya bener kata dugaan gue.” seru kak Zahra, yang masih duduk di sofa, kepada Via yang tidak menghiraukannya. Via berusaha tidak menanggapi. Dia lalu mulai membuat segelas susu, untuknya.
***
Via yengah berdiri di koridor SMA 3, sendiri. Orang tua para peserta test sedang diberi sedikit penjelasan mengenai system penerimaan murid. Menjelaskan kepada mereka bahwa peserta yang lolos benar-benar siswa yang unggul dan yang gagal pun tidak sedikit. Bisa berbanding 1 : 4, yang diterima dengan yang di tolak. Di maksudkan agar orang tua tidak memarahi atau merendahkan anaknya jika anaknya itu tidak lolos dalam test.
Penyuluhan pun usai. Kini semuanya, beserta para orang tua atau wali, tengah mengantri, di lokernya masing-masing. Berdsarkan nomer peserta. Via merasakan keringat dingin mulai mengucur, bergemetar. Tegang. Dia hanya menunduk. Akhirnya tiba lah bagian Via untuk menerima Surat Pengumuman itu.
Kini di tangan Via telah terdapat surat pengumuman itu. Tidak bohong, bagaikan gempa, tangan dan surat yang beramplop berwarna coklat itupun ikutan bergetar.
“Via, gimana? Keterima gak?” seru seseorang yang baru saja menghampiri Via.
Via menoleh lalu tersenyum ,”belum gue buka Va, takut.”
“Buka dong.” kata Irva seraya tersenyum.
Via menatap Mamahnya yang ada di hadapannya, yang tengah diam saja, “mah, bukain nih. Via takut.” ujar Via seraya menyodorkan surat itu. Mamah Via pun menerimanya, “lo keterima Va?” tanya Via seraya menoleh ke arah Irva.
Air muka Irva berubah sendu, bibirnya ia lengkungkan ke bawah, “Engga Vi, kurang 0,5 huhuhuh.” ujarnya, sedih.
Reflek Via memeluk Irva, menenangkannya “Sabar yah Va, bukan jodoh lo kali. Masih ada sekolah lain.” katanya, seraya melepaskan pelukannya.
“Iya thanks yah. Eh buka dong tante.” jawab Irva sembari menoleh ke arah Mamah tirinya Via.
Mamah tirinya Via yang sedari tadi terus berdiam ahirnya perlahan membuka amplop itu. Jantung Via sudah berdetak hebat. Darahnya berdesir kencang. Dia menutup matanya dengan jemarinya. Tak sanggup melihat atau membaca apa yang tertulis dalam surat itu.
Mamah tirinya Via membukanya, perlahan. Agar lebih menegangkan. Setelah terbuka, dia menarik kertas di dalam amplop itu, membukanya. Hingga benar-benar terbuka. Matanya sedikit ia besarkan, untuk memastikan apa yang ia baca tidak salah, “Alhamdulillah Vi keterima.” serunya seraya memeluk Via.
Via yang sedari tadi masih menutup matanya akhirnya melepaskan jermarinya dan balas memeluk mamahnya. Perasaannya sangat senang. Tidak percaya bahwa kata-kata yang sangat ia impikan akhirnya terdengar. “AAAAAH AKHIRNYA MAH!!!!!” seru Via yang masih memeluk Mamahnya.
“Selamat yah, kamu bisa nunjukin ke Mamah kalau kamu bisa.” ujar Mamahnya seraya melepaskan pelukannya. Via mengangguk lalu tersenyum.
“Gue keterima Irvaaaaaaaa!!!” seru Via, girang, lalu memeluk Irva yang masih berdiri di sisinya.
“Selamat yah Vi….gue tau lo pasti bisa.” Irva mengelus rambut Via perlahan. Ikut merasakan kesenangan salah satu teman terbaiknya.
***
Ify tengah duduk di bangku yang berada di sisi koridor SMAN 1. bukan hanya Ify yang duduk disitu. Semua peserta test SMAN1 juga tengah duduk disitu. Menunggu para orang tua mengakhiri penyuluhan yang lalu akan di bagikan amplop berisikan surat pengumuman. Ify terus menerus meremas tangan Gita, teman sekelasnya yang juga mengikuti test di SMA ini. Tidak jauh dengan Via, jantungnya berdetak cepat.
“Gitaa…gue takut gak keterima.” seru Ify , tertahan. Seraya menatap Gita yang duduk di sisi kanannya.
“Gue juga Fy, pengen nangis.” timpal Gita yang tanpa menoleh ke arah Ify.
“kalau gak keterima gimana dong?” kata Ify, yang sedikit pesimis.
“Optimis dulu ah.” kata Gita, tak mau memikirkan yang membuat mentalnya down. Ify hanya menagngguk.
***
Ify kini tengah memegang amplop itu. amplop yang seolah berisikan takdir hidupnya. Dia mendudukan tubuhnya di bangku yang berada di sisi lapangan SMAN1. dia menghembuskan nafasnya, kencang. Tangannya bergemetar.
“Maah aja deh yang buka.” kata Ify, mengangsurkan amplop itu kepada Mamahnya yang duduk di samping kirinya.
“Ye kamu. Buka ginian doang gak berani.” Jawab mamahnya, menerima amplop itu dan membukanya perlahan.
“Ih… ify takut.” kata Ify, nadanya sedikit manja.
Mamah Ify tidak menanggapi. Dia membuka dan membaca amplop itu. Ify sedikt berharap bahwa ekspresi Mamahnya itu mengatakan sesuatu kegemberiaan. Dan benar saja, tepat saat itu, Mamah Ify memeluk Ify.
“keterima Fy Alhamdulillah.” Katanya, mengucap syukur.
Ify sedikit merasakan sesak di dadanya. Perasaannya sedikit tidak percaya. Tapi ternyata itulah kenyataan. Tanpa disadari dia menitikan air mata, terharu. Dan membalas erat pelukan Mamahnya.
“Iya Mah Alhamdulillah akhirnya Ify bisa bikin mamah bangga sama Ify.”
“Mamah bangga sama kamu Fy…..” ujar Mamah Ify, seraya melepaskan pelukannya dari Ify. Mereka berdua tersenyum. Mengembang. Tak henti-hentinya mengucapkan syulur.
***
Rasa bahagia itu menyelimuti mereka berdua. Ke-empat sahabatnya yang lain pun ikut merasakan kebahagian yang mereka rasakan. Bukan hanya hal itu mereka senang, juga karena Riko akan segera sembuh dari penyakitnya. Bertambah sudah kegembiraan yang semakin membuncah di hati mereka.
Hari ini adalah jadwalnya Ify khemo. Seperti biasa, dengan setia Rio menemaninya khemoteraphy. Ify dan Rio kini tengah melangkah di koridor rumah sakit. Berjalan menuju ruang khemoteraphy. rasa gemetar menyerang Ify. Dia menggenggam erat lengan Rio, perlahan mengurangi rasa gemetarnya.
Khemoteraphy yang berlangsung selama 90 menit itu terasa sangat lama. Tak jarang Ify meronta-ronta, menahan sakit. Rio sendiri tidak tega melihat pacarnya kesakitan seperti itu. dengan setia, dia menghapus peluh yang mengaliri pelipis Ify.
Suster membantu Ify mendudukan posisinya yang semula berbaring. Walau khemoteraphy sudah selesai sekitar 15 menit yang lalu, tubuhnya masih merasakan sakit itu. pegal-pegal pun menyerang persendian Ify. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya. Perlahan Ify memijat pelipisnya menggunakan jarinya sendiri. Rio, yang berdiri di sebelah ranjang dimana Ify duduk memijit pelan bahu Ify.
“Ify……penyakit kamu sudah semakin membaik. Jika begini, kamu bisa melakukan operasi untuk benar-benar menyembuhkan penyakit kamu. Rumah sakit ini bisa melakukan operasi ini, dokter yang di menangani pun di datangkan langsung dari German, kamu mau ikut operasi itu?” tutur si Dokter, kala itu Ify dan Rio sudah duduk di hadapan Dokter.
Ify sendiri masih sedikit pusing. Samar-samar dia mendengarkan penjelasan dokter Danang. Yang pasti, dia yakin, bahwa dokter mengatakan bahwa dia akan segera sembuh, “Dokter yakin saya bisa sembuh?” tanya ify. Jemarinya masih memijat pelipisnya sendiri.
Dokter Danang mengangguk, “InsyaAllah kamu sembuh.”
Ify dan Rio berpandangan. Rasa senang, pastinya, menyelimuti perasaannya. Bukan hanya Riko, kini Ify pun akan segera sembuh dari penyakitnya.
“Kalau kamu mau mengikuti operasinya, silahkan orang tua kamu menemui saya besok.” tambah Dokter Danang.
Ify menatap Dokter Danang lalu mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyum. “terimakasih Dok.” kata Ify.
Kali ini Dokter danang yang mengangguk dan tersenyum. Dia juga turut bahagia atas kebahagian pasiennya.
No comments:
Post a Comment