Monday, June 7, 2010

Diary Sivia season 4 (LAST PART!)

Akhirnya Alvin telah usai membaca seluruh isi Diary Via. Semua curahan hati Via tertuang di dalamnya yang tak jauh membuat Alvin
semakin kehilangan sosok gadis manis itu. Sampai halaman terakhir yang Via isi.
Yang ia isi dengan aliran darah segar yang keluar dari hidungnya menetes
perlahan ke dalam diary tersebut. Bagaimana kelanjutannya?


***


Alvin menyadari air mata telah amat sangat membanjiri matanya dan berjatuhan ke Diary Sivia. Dipeluknya diary itu erat-erat. Seolah dia bisa menemukan kedamaian. Rasa sesal, sedih, marah,
segalanya berkecamuk di dalam batinnya. Dengan enggan dia melangkahkan kaki
keluar kamar. Dia baru sadar sekarang sudah larut malam. Tadi dia masuk kamar
pukul 11 siang. Dia langsung mandi dan berganti baju. Tak ada niat untuk makan.
Dia terlalu lelah karena seharian menangis.
Dia merebahkan badannya lagi. Kondisi badannya sudah lebih segar. Ia
taruh diary Sivia di mejanya. Lama kelamaan dia terjaga dalam tidurnya yang
lelap.


***


Iel melamun di balkon kamarnya. Biasanya dari sini dia bisa melihat Via yang sedang berbalas senyum dengannya. Walau jarak kedua balkon amat jauh, tapi ia masih
selalu bisa melihat senyum gadis itu. Kini yang ia pandang hanya balkon kosong.
Kamar gadis itu pun gelap bertanda sudah tak berpenghuni. Rumah gadis itu pun
sudah sepi, keluarga mereka juga kelelahan. Ditatapnya langit, seolah dilangit
dia akan mendapati Via sedang tersenyum padanya. Yang ia dapat hanya bintang.
Bintang yang amat terang. Ia ingin menjadi bintang, kapanpun dan dimanapun ia
berada akan selalu terang dan menemami semua orang.

Iel meraih HP nya dan melihat walpaper HP nya. Foto ia sedang bersama Via ketika sedang di taman. Ia menahan laju air matanya walau ia sadar air matanya sudah
tak dapat lagi ia bendung. Tapi ia berusaha menahannya, takut-takut gadis itu
mendapati ia sedang menangisi dirinya.


***


Ify tak tahu bagaimana perasaannya sekarang. Sedih. Sesal. Dia merasa bukan sahabat yang baik untuk Via. Pantaskah ia disebut sebagai sahabat jika ia sendiri tak
pernah menyadari keadaan si sahabat? Dia merasa telah gagal menjadi manusia
yang baik. Yang telah Tuhan titipkan seorang sahabat.

“Vi, maafin gue gak pernah ada disaat lo butuh gue. Maafin gue yang secara gak langsung suka ngegagalin rencana lo sama Alvin
buat jalan, tapi demi Tuhan semua itu tanpa gue sengaja Vi. Kenapa lo nggak
marah sama gue? Gue ngerasa bersalah Vi kalau kayak gini, terlebih kenyataan lo
sekarang udah nggak ada. Maafin gue yah Vi gue juga gak ada disaat lo dalam
masa-masa kritis. Disini gue cuma bisa doain yang terbaik buat lo. Makasih
banyak atas selama ini yang lo lakuin buat gue, dan kita semua.”ucap Ify
sembari menatapi fotonya bersama Via.

***


Keesokan harinya Alvin bangun dari tidurnya. Matanya masih sembab. Dia berusaha untuk tidak menangis
lagi hari ini. Dia juga sadar bagaimana keadaan si sahabat jika mendapati
sahabatnya itu sedang menangis. Dia mandi dan bersiap-siap untuk ke rumah Iel.
Dia bertekad untuk memperlihatkan Diary Via kepada Iel dan Ify. Mereka semua
juga berhak tau. Sebelumnya ia memberi tahu Ify dulu agar ke rumah Iel.

Sejam kemudian mereka bertiga sudah berkumpul di balkon rumah Iel. Biasanya mereka juga suka berkumpul, dengan Via pastinya. Wajah mereka berempat sebenarnya
sangat tidak memadai untuk diperlihatkan kehadapan orang-orang karena faktanya
wajah mereka sangat sembab dan kumel.

“Jadi?”ucap Ify membuat suasana hening itu lenyap. Mereka sudah sekitar 15 menit saling berdiaman dan berkutat dengan fikirannya masing-masing. Iel dan
Alvin
memandangi Ify.

Alvin mengeluarkan sebuah buku, Diary Via, dari dalam tas pinggangnya, “Nih.”kata Alvin sembari menyodorkan buku itu. Iel dan Ify saling berpandangan, heran.

“Itu diary Via yang waktu itu gue kasih kan?”Tanya Ify memastikan. Dia ingat betul diary itu. Alvin mengangguk, “Kok bisa sama lo
Vin?”tanyanya lagi.

“Waktu kemarin gue buka laci dia, gue nemuin ini……”jawab Alvin lirih. Dia tertunduk.

Belum sempat Alvin menyelesaikan ucapannya, Iel sudah tau, “lo baca semuanya Vin?”Tanya Iel
sembari menggeleng-gelengkan kepala. Sekali lagi, Alvin mengangguk, “Gila lo….”

“Tapi gue baca surat di depan diary itu.”kelak Alvin
tak mau dituduh macam-macam oleh sahabatnya itu. Dia membuka halaman awal diary
Via dan menemukan surat
itu, “Nih.”ucapnya seraya menyodorkan surat
itu. Iel dan Ify membaca bergantian lalu mengangguk.

“Jadi lo mau kita ikut baca?”Tanya Ify yang sekarang sudah mengerti.

“Iya. Tapi gue mohon, kalian bacanya sendiri-sendiri dan jangan pake emosi.”jelas Alvin, Iel dan Ify mengangguk.

“Gue yang baca duluan yah Fy?”pinta Iel sembari menatap Ify dengan tatapan memohon, Ify mengangguk.

“Satu lagi, jangan marah sama siapapun setelah lo baca diary itu.”ingat Alvin, Iel mengacungkan jempol. Akhirnya mereka pun berpamitan pulang.


***


Entah benar atau tidak keputusan yang telah ia lakukan. Keputusan untuk meminta sahabatnya yang lain terlibat untuk membaca diary Via itu. Ahhhh…… Alvin membanting tubuhnya
ke kasur. Dia malas untuk menangis lagi. Menangisi kepergian Via. Akhirnya
seharian ini dia habiskan untuk menonton film-film yang ia punya.

***


Iel merebahkan tubuhnya di kasur. Bersiap-siap untuk membaca peninggalan terakhir sang kekasih yang sudah damai disana. Dia menarik nafas dalam-dalam, lalu ia
mengubah posisinya yang tadinya tertidur menjadi duduk. Dia menegakkan
duduknya. Belum ia membuka laman pertama diary itu, tangannya sudah bergemetar.
Dia tarik nafas lagi, lalu ia hembuskan perlahan. Dengan yakin ia buka diary
itu dan mulai membaca.

2 jam kemudian Iel sudah selesai membaca diary itu. Diary yang sukses membuat dia menangis. Menangis histeris yang tak pantas dilakukan oleh lelaki sejati. Tapi,
apakah itu masih penting jika keadaan sudah seperti ini? Kini posisi iel sudah
terduduk di lantai. Di sebelah ranjangnya. Dia memeluk lututnya. Wajahnya pucat
pasi matanya tak kalah lembab seperti mata Alvin kemarin. Diary Via kini hanya tergoler
lemah di sebelah Iel. Iel hanya memandangi Diary Via dengan tatapan kosong.
Seandainya dia tahu sedari dulu akan perasaan Via… tapi…. Percuma juga
menyesal. Semua tak akan kembali. Rasa sesal terus menghantui dan yang ada
hanya membuat kita semakin terpuruk. Iel mencoba membuang fikiran negative yang
sempat menghampiri otaknya. Fikiran akan bodohnya dia telah mempercayai Via
untuk menjadi kekasihnya. Begonya dia yang telah menyayangi seorang gadis yang
jelas-jelas tak ada perasaan lebih kepadanya. Padahal sebelumnya dia tahu itu,
tapi dia hapuskan karena dia tak mau berfikiran yang tidak-tidak. Tapi ternyata
apa yang ia kira benar, nyata. Dia juga marah pada Via, mengapa Via tega padanya?
Tega tak membalas perasaannya ini? Tapi semua ia hilangkan, karena semua
tertutup dengan rasa ibanya kepada sang kekasihnya itu.


***

Kali ini giliran Ify. Iel telah mengantarkan sendiri diary ini ke rumahnya. Sama seperti Iel, rasa gemetar melandanya. Dia tepis peasaan itu. Yang ia butuhkan hanya
keberanian untuk membca diary peninggalan itu.

Kali ini butuh waktu 3 jam untuk menamatkan membaca diary itu. Mengapa lebih lama? Tangis Ify lebih dari segala tangis akan diary ini. Rasa sesal karena tak
menjadi sahabat yang baik terus membebani fikirannya. Kini ia hanya memeluk
diary itu dengan mengucapkan beribu-ribu maaf kepada si empunya. Berharap si
empunya mendengar maafnya. Seandainya dia tau perasaan Via terhadap Alvin, apakah rasa sesal ini
akan melandanya? Tidak. Tentu. Jika itu terjadi rasa bahagia yang akan
melandanya tetapi tetap saja, dia akan merasa sakit hati karena orang tersayang
telah dimiliki sahabatnya yang lain.

Ya, itulah perasaan Via saat itu. Ify mengerti. Dia tidak egois. Dia berjanji pada Via untuk selalu menjaga lelaki yang paling Via sayang. Berjanji untuk menjaga Alvin, untuk Via,
selamanya.


***



Setahun telah berlalu. Sekarang ketiga sahabatnya itu telah ikhlas sepenuhnya akan kepergia sahabatnya yang lain. Mereka bertiga juga masih bersahabat dengan
baik. Demi yang telah pergi tentunya. Kini mereka bertiga telah memposisikan
tubuhnya setengah duduk di samping makam sang sahabat. Mereka telah pandai
menahan laju emosinya.

“Vi, apa kabar? Maaf yah kita jarang kesini.”ujar Ify membuka percakapan sembari mengelus nisan yang menuliskan nama si sahabat, Sivia Azizah, “Kita sibuk Vi, sesuai
janji gue ke lo, sampai sekarang gue masih jagain Alvin buat lo Vi.”lanjutnya sembari melirik Alvin, terlihat Alvin
tersenyum ke arahnya, lalu Ify mengembalikan pandangannya ke nisan Via, “gue
juga jagain Iel kok. Kita bertiga masih sahabatan.”

“Vi, gue yakin lo tenang disana. Kita disini sudah ikhlas seutuhnya akan kepergian lo. Baik-baik yah Vi disana. Tuhan pasti udah bilang kan ke lo kalau kita sayang banget sama
lo?”masih Ify yang bersuara. Suara yang semakin lama semakin bergemetar, dia
menangis, menangis kembali setelah lama tak pernah menangisi sahabatnya.

“Via…”kali ini Iel yang sudah mulai bersuara. Dia pandangi makam di depannya ini. “Maaf, aku belum nemuin pengganti kamu. Mungkin kamu terlalu baik buat aku sampai
kiranya aku susah nyari wanita yang sama kayak kamu. Tapi bukan maksud aku buat
membandingi atau pelarian. Aku Cuma mau menuhin permintaan kamu itu. Suatu saat
putri buat aku akan datang. Dan itu yang bakalan jagain aku kan? Doain aku yah Vi supaya aku selalu
terjaga.”ucap Iel. Dia tersenyum. Tak ada rasa sedikit pun untuk ingin
menangis. Dia sadar, Via tak mau melihatnya menangis saat ini.

“Vi maafin gue buat selama ini. Maaf atas segala sikap gue ke lo. Makasih lo udah jadi sahabat terbaik buat gue dan kita semua. Lo udah ngasih warna terindah di hidup
kita Vi, warna yang gak akan pernah pudar oleh apapun. Maafin atas segala semua
sikap kita ke lo ya Vi. Kita akan selalu ngenang lo dan sayang sama lo.”ujar Alvin bijak yang
sebelumnya telah menyiapkan mental untuk berkata seperti ini.

Setelah berdiaman di sebelah makam Via, dan memanjatkan doa untuk Via, mereka semua sudah bisa kembali tersenyum lega. Lega. Sangat lega telah menengok sahabatnya
itu. Kini mereka pun sedang dalam perjalanan pulang. Dia dalam mobil hanya
suara sunyi yang tercipta. Tak ada kata apapun yang terlontar. Masih sibuk
dengan fikiranya masing-masing. Yang pasti mereka memikirkan satu hal yang
sama, mereka akan selalu bersahabat selamanya. Demi Via. Akan saling
melindungi, melengkapi dan menyayangi. Ini semua demi Via. Sahabat tersayang
mereka..


***


Malam yang pekat membuat ketiga makhluk Tuhan terjaga dalam tidurnya. Tidur yang lelap akan letih yang sedari tadi menerpanya. Kini ketiganya sedang merasakan
keanehan. Keganjalan. Mereka tiba-tiba dikumpulkan di suatu tempat yang sama
sekali tak disangka oleh siapapun. Mereka lalu berdekatan, saling memandang,
mereka juga saling mengangkat bahu. Salah satu dari ketiga makhluk Tuhan itu
mengedarkan pandangnya ke seluruh tempat. Tiba-tiba pandagannya terhenti
setelah memandang seseorang. Seseorang yang berjalan dengan pasti mendekat
menuju kepadanya dan kedua makhluk Tuhan lainnya.

“Hey.”sapa seseorang itu. Kini dia telah berdiri di depan ketiga makhluk Tuhan lainnya.

“Ini….kamu?”Tanya seorang lelaki tak percaya. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya, memastikan ini bukan khayalan.

“Iya Yel, ini aku……”jawab seseorang itu kepada yang bertanya, yang tak lain adalah Iel. Tiba-tiba seseorang itu melangkah menuju bangku yang sudah lengkap beserta mejanya. Pas
untuk 4 orang. Dia duduk disitu, ketiga makhluk Tuhan yang lainnya mengikuti.
Iel duduk disebelah seseorang itu, sedangkan yang lainnya di depannya. “Kaget
yah ada aku disini?”ucap seseorang itu lagi sembari tersenyum. Dia memandang
ketiga yang lainnya dengan penuh kehangatan.

“Kita kangen banget sama lo Vi……”ujar salah satu lagi dari makhluk Tuhan yang laionnya kepada seseorang itu, Via.

“Gue juga kangen banget sama kalian, sama lo apa lagi Fy.”jawab Via seraya menahan haru.

“Vi, maafin gue yaaaaa………”ujar Alvin, makhluk Tuhan yang tersisa, yang baru diketahui namanya. Dia menunduk sembari
menggigit bibir bawahnya, dia gugup, dia senang
tetapi rasa sedih kembali menerpanya.

“Apa yang perlu diminta maafin lagi Vin? Gue udah lupa sama semua kesalahan lo dan kalian.”jawab Via enteng, dia terus menatap Alvin yang belum juga mengangkat wajahnya.

“Maafin kesalahan gue Vi, selalu ngingkarin janji…..”belum selesai Alvin berbicara Via telah memotongnya.

“Gue udah denger semua ini kira-kira 50 kali loh Vin. Udah lah, apa lo gak capek minta maaf terus. Walau kita udah beda dunia gue masih selalu denger dan
ngawasin kalian. Tuhan baik sama gue. Gue juga udah nyampein salam lo ke nyokap
lo.”tutur Via tanpa beban. Dia tersenyum lalu mengangkat wajah Alvin. Dilihatnya mata Alvin
yang sedikit basah, Via tertawa lalu mendorong pelan bahu Alvin yang notabene duduk di depannya.
“Cengeng lo. Cowok juga. Iel aja gak nangis.”lanjut Via lalu melirik ke arah
Iel yang sedang menatap Via heran. Senyum kecut terukir jelas di wajah Iel.

“Berarti lo juga udah denger semua permintaan maaf gue ke lo Vi? Lo juga tau kalau kita semua baca diary lo? Lo maafin gue Vi?”Tanya Ify bertubi-tubi sembari mengepal
tangannya sendiri.

Via mengangguk lalu tersenyum, “Gue tau kalian baca diary gue, gue ngerasa sedikit demi sedikit beban gue sendiri hilang karena setidaknya kalian tau apa isi hati
gue. Malah gue juga harus minta maaf sama lo Fy. apa lagi sama kamu Yel.” Jawab
Via lirih lalu memandang Iel yang lalu mengangguk. Kini Iel tersenyum.”gue udah
pergi. Jangan bikin kepergian gue suatu beban buat kalian karena kalian mikir
gue belum maafin kalian. Jauh sebelum kalian minta maaf gue udah maafin
kalian.”jelas Via panjang lebar. Ify tak lagi kuat membendung rasa harunya pada
Via, perlahan dia menitikan air mata,deras, seakan membuat sungai di pipinya
yang bening. Via menarik tangan Ify pelan, lalu ia genggam, “jangan nangis Fy,
kalian harus kuat yah.”lanjut Via lalu mendelik ke arah Alvin, seperti memberi kode. Alvin menarik pelan kepala Ify, lalu ia
senderkan dibahunya.

“Kamu baik-baik aja kan Vi selama kamu pergi?”Iel akhirnya bersuara. Dia bertanya penuh hati-hati.

Via menoleh kearah Iel lalu melepaskan genggamanannya dari Ify menuju tangan Iel. “Aku bik-baik aja. Tapi aku akan lebih baik-baik aja kalau kamu nemuin
pengganti buat aku.” Bisik Via pelan sembari tersenyum jahil.”Kapan kamu mau
nyari pengganti aku? Kamu ganteng loh Yel. Tapi, maafin aku yah Yel atas semua
perasaan aku ke kamu…” Lanjutnya yang tak lagi berbisik. Iel menggeleng kuat
lalu mengusap lembut rambut Via. Via tersenyum.

“Banyak banget loh Vi yang ngejar-ngejar dia, tapi gak dia tanggepin.”timpal Alvin yang kini sudah bisa menetralkan persaannya. Begitu pula dengan Ify.

Via menoleh pada Alvin, “yang bener? Cerita dong pengalaman kalian selama setahun ini. Walau gue
ngawasin kalian dari atas, gue gak sepenuhnya tau loh. Tapi jangan ngebahas isi
siary gue. Gue gak mau. Yang ada malah acara nangis-nangisan”pinta Via sedikit
bercanda lalu terkekeh pelan.

Lalu mereka pun saling bercerita satu sama lain. Kadang mereka terlibat akan pembicaraan yang serius ketika membicarakan posisi Alvin yang kini ketua Futsal, sedangkan Ify sebagai
wakil ketua OSIS, dan Iel, kapten basket. Mereka juga bersenda gurau jika
sedang membicarakan para guru beserta wanita-wanita tidak jelas yang
mengejar-ngejar Iel. Mereka melepas rindu satu sama lain. Sudah tak ada beban
kali ini.

“Udah lama nih, gue pamit yah. Inget loh, kalian harus saling melindungi. Gak boleh musuhan. Kalau musuhan gue marah! Kalian gak boleh main rahasia-rahasiaan.
Harus saling terbuka dan jujur. Alvin
jagain Ify yang bener, langka tuh cewek. Ify juga jagain Alvin. Iel, buruan yang cari cewek, aku gak
mau kamu dijagain sama Alvin Ify mulu, cari cewek yang bisa jagain kamu. Oke?
Inget loh, kita semua sahabat. Walau gue udah gak ada kita semua masih sahabat kan? Tau kan kalau istilah itu, ‘Sahabat
adalah saudara yang lupa Tuhan beri kepada kita’.?”tutur Via panjang lebar
dengan wajah serius, tetapi senyum tetap bertengger diwajahnya. Ketiganya
mengangguk. Mereka pun saling berpelukan. Ini adalah suatu perpisahan yang amat
berat. Tetapi lebih indah dari pada perpisahan dengan Via yang dulu, yang
sangat tiba-tiba. Mereka sudah bisa menguatkan diri mereka. Via berjalan menjauh
dari meja itu, dan menaiki kuda putih yang mengantarnya dari tempatnya selama
ini. Setelah menaiki kuda putih itu, dia masih terus melambaikan tangan untuk
ketiga sahabat terbaiknya di dunia. Sahabat yang tak pernah digantikan
posisinya. Kini Iel, Ify, dan Alvin
telah terhilang dari beban salama ini.


***


Ketika cinta datang

Datang dan langsung membuyarkan lamunanku

Lamunan akan asa yang mengganjali hati

Ketika itu rasa kikuk menghampiriku

Kikuk akan datangya perasaan yang amat sensitive ini

Perasaan yang teramat sakral

Perasaan yang juga sudah digarisi oleh sang Khalik

Aku tahu, cinta itu indah

Tapi, apa masih bisa dibilang indah jika cinta itu sendiri bertepuk sebelah tangan?

Cinta datang ketika kita tak siap untuk menerima kehadirannya.

Itulah anugerah Tuhan.

Anugrah yang harus kita jaga kesuciannya

Kini aku berfikir….

Mengapa cinta tak harus saling memiliki?

Mengapa? Jika demikian bukankah lebih baik perasaan ini tak usah menhampiri?

Ya ya ya… aku mengerti

Dengan adanya teori itu, bukankah kita belajar untuk ikhlas?

Untuk merelakan orang yang tercinta bahagia dengan pilihannya

Bukankah itu bukti ketulusan cinta?

Munafik.

Munafik sekali aku jika aku ikhlas

Aku tak rela membiarkannya bahagia dengan orang lain selain aku

Walau aku tahu itu munkin yang terbaik untuknya

Itukah cinta?

Dengan kata lain cinta adalah perasaan saling manyakiti?

Rumit. Sangat.

Aku malas ketika mendapati diriku harus berhubungan dengan ‘penyakit’ hati ini.

‘penyakit’ yang pasti melanda semua insan di bumi.

Dan juga ‘penyakit’ yang seketika bisa teramat menyakitkan

Aku tak yakin dapat menjaga anugerah ini dengan baik.

Anugerah yang terlalu berat untuk aku pikul dan terlalu terjal untuk aku lalui.

Anugerah yangsangat indah jika kedua insan saling mencintai

Aku harus lebih banyak belajar dalam teori cinta ini.

Eh…bukan hanya teori tetapi juga prakteknya bahwa cinta tak harus memiliki.

Tapi Hey…..

Bagaimana jika seseorang mencintai orang lain yang jelas orang lain itu mencintai yang lainnya? Paham?

Apakah orang yang ‘dicinta’ harus menerima cinta dari yang ‘mencinta’ ?

Bukankah itu suatu kedustaan atas anugerah ini?

Dengan begitu kita sudah mengotori anugerah yang sakral itu bukan?

Tapi sesaat aku berfikir,

Selama itu bisa membuat orang lain tersenyum mengapa tidak?

Bukankah cinta juga harus rela berkorban?

Rumit, sangat rumit.

Aku lelah menggeluti dunia dan permasalahan akan ‘penyakit’ hati ini.

Terlalu indah…. Tapi, seketika bisa sebegitu……pahit.

Hingga akhirnya aku benci terkena ‘penyakit’ atau sudah layak disebut ‘virus’ ini.

Tapi aku yakin, serumit apapun itu semua sudah ada jalannya

Jalan yang terbaik yang sudah ditetapkan dan digariskan oleh sang khalik.

Jauh sebelum uhan menciptakan semuanya.

Kita hanya menjalani perjalanan ini bukan?

Menjalani sebaik-baiknya tanpa ada rasa sesal nantinya.

Rasa sesal ketika hal itu sudah menghilang, bukankah rasa kehilangan baru terasa jika kita sudah ditinggalkan?

Aku tak mau merasakan pahitnya cinta.

Yang aku harap, cinta yang indah segera menghampiriku.

No comments:

Post a Comment